Entahlah aku hatiku masih belum bisa melupakan apa yang pernah terjadi dulu, waktu belum cukup lama untuk menghapus semua luka yang masih mengeluarkan darah.
“Abang dan Ara tidak akan pernah menjadi kita, maafkan jika sikap Abang salah Ara artikan.” Ucapan Bang Ilham membuat netraku membulat belum lagi mulutku yang mengangga dengan segara aku tutup karena tidak percaya dengan apa yang diucapkannya.
Dua tahun setelah apa yang aku korbankan ternyata hanya batas adik kata Bang Ilham, memang Bang ilham tidak pernah menyatakan perasaannya, tapi perhatian yang diberikan cukup membuat siapa saja mengatakan bahwa dirinya tidak menganggap aku sebatas Adik.
Jangan katanya karena kehadiran Intan membuat semuanya berubah, aku memang tidak sesempurna Intan.
Batasan dengan segala aturan agama dan norma menjadi panutan yang sudah di tanamkan sejak aku kecil.
Setiap pertemuan kami selalu ada orang ketiga, bagaimana tidak Bang Ilham selalu bertandang kerumah katanya untuk menemui Abangku Khalid, tapi pada kenyataanya bukan hanya Bang Khalid yang ditemuinya tapi ada Aku dan Abah Emak juga terlibat Dengan percakapan seperti percakapan keluarga saja.
Emak selalu bertanya bagaimana perasaanku kepada Bang Ilham yang kata Emak Abangku diminta Bang Ilham untuk menanyakannya kepadaku.
Rasanya aku tidak pernah mengatakan tidak kepada Emak, tapi mengapa Bang Ilham mengatakan Aku dan dirinya tidak akan pernah menjadi Kita dan membuat luka tak berdarah tapi sangat menyakitkan, dan butuh waktu lama dan sampai sekarangpun luka itu masih ada di hatiku, bagaimana Bang Ilham meminta kami Kembali seperti dulu sebelum luka itu ditancapkannya pada hatiku.
“Ara… ara… ara?” lamunanku berkecai netraku menatap Bang Ilham.
Seandainya semua bisa kembali seperti sebelum hati ini hancur mungkin aku akan sangat bahagia mendengar Bang Ilham mengatakan aku akan menjadi yang terakhir untuknya.
“Tidak ada Ara dan Abang menjadi kita jangan lupakan itu Bang.” Ucapku sambil berdiri dan berlalu meninggalkan Bang Ilham di ruang tamu.
Berjalan menuju jendela kamar, setelah mengkunci pintu, aku yakin Emak akan masuk ke kamarku bukankah selama ini mak sudah sangat menyukai Bang Ilham, aku tidak pernah menceritakan lukaku kepada mereka, sehingga Bang Ilham selalu berkunjung dan aku selalu menghindar untuk berinteraksi dengan berbagai alasan.
Ketukkan dipintu kamar ku abaikan, memilih tetap menatap air yang turun dari langit yang turun, sesedih hatiku mengingat luka yang belum sembuh.
***
“Ilham ingin meminang Ara, bagaimana menurut Abang?” perkataan Mak membuat nasi yang baru masuk ke mulutku seakan tidak tertelan.
Semua netra menatapku, membuatku merasa diadili untuk hukuman mati saja. Ada yang menyentak hatiku sehingga luka yang hampir tertutup seakan robek karenanya.
“Abah tak keberatan, asal Ara Bahagia.” Sesak dadaku mendengar Abah dan senyum semua keluarga bahagia dengan pinangan Bang Ilham
Seandainya aku tidak diajarkan untuk lebih mementingkan kebahagian orang banyak tentu aku akan menjerit sekuat tenaga menolak pinangan Bang Ilham.
“Bagaimana Zahara Binti Yahya, sudah siap menjadi seorang istri.” Oleh Abangku yang paling bahagia jika aku menjadi pendamping sahabatnya.
Seandainya dirinya tahu bahwa Sahabatnya sudah menabur luka tentu tidak akan dibiarkan adik semata wayangnya terluka.
***
Suara kompang bergema semakin dekat, aku melihat sepintas ke arah cermin melihat semua yang terpasang indah di wajah dan badanku, entah rasa apa yang sekarang ada di dadaku.
Berusaha menyamakan persepsiku dan persepsi Bang Ilham bahwa aku bukan yang pertama baginya tapi akan menjadi yang terakhir untuknya, aku berharap seperti berharap pada pelangi yang selalu muncul setelah hujan.
Melupakan semua luka dan berharap bahagia akan menyongsong, seandainya benar pelangi datang setelah hujan, maka aku berharap pernikahan ini akan membawa bahagia untuk hidupku tentunya.
Merapal doa panjan sepanjang perjalanan pernikahan yang sebentar lagi menjadi lahan untuk mencari bahagia tentunya.***