26. Meluruskan

Begitu pintu terbuka, terlihat Matt Paten berdiri diambang pintu, “Ooo Matt Paten rupanya, masuk Matt!” ajak Armaya.

Mendengar Matt Paten yang datang, Rani menjadi serba salah duduknya. Umi menggoda Rani,

“Tuh! Matt Paten datang, Rani, pasti dia mau bicara dengan kamu.” Matt Paten dan Armaya menghampiri Rani dan Umi, dan duduk di ruang tengah.

“Kamu mau bicara dengan saya, atau dengan Rani, Matt?”

“Saya hanya ingin silaturahmi saja pak, saya mau cerita sedikit tentang mantan pasien saya.”

“Ada apa dengan mantan pasien kamu, Matt?”

Matt Paten menceritakan, kalau mantan pasiennya—Laras, ingin mewakafkan sebuah sekolahan untuk desa mereka.

“Laras ini dulunya seorang artis yang senang dengan pesugihan pak, setelah sembuh dari pengobatan dia hijrah.”

Rani mendengarkan cerita Matt Paten dengan antusias, karena dia ingin tahu siapa Laras yang sebenarnya.

“Kenapa dia tertarik mewakafkan sekolahan tersebut di desa ini Matt? Dia tinggal di daerah sini juga?”

“Laras itu pasti cantik ya Matt? Mantan artis ya kan?” Umi menyela pembicaraan.

“Iya Umi, mantan artis pastilah cantik.” Matt Paten sengaja menekankan hal itu.

Rani hanya bisa misuh-misuh mendengar cerita Matt Paten. Dia merasa kalau dirinya tidaklah terlalu cantik.

“Dia tertarik mendirikan sekolahan di desa ini, karena merasa dari desa inilah membuat dia bisa ber-hijrah. Kebetulan dia tinggal di desa sebelah, Pak.”

Matt Paten juga menceritakan bahwa, dia sudah mewakafkan sebidang tanahnya untuk pembangunan sekolahan tersebut. Dan Laras membiayai pembangunannya.

“Subhannallah Matt, mulia sekali budi baik kamu yang bersedia mewakafkan tanah untuk kepentingan orang banyak.”

“Pak, tanah tersebut titipan Allah, saya hanya menjaga amanah tersebut. Sekarang, tanah itu ada yang membutuhkan, sangat wajar saya memberikannya untuk kemaslahatan orang banyak.”

Armaya terkagum-kagum dengan Matt Paten, dia mencoba membuka pikiran Rani,

“Rani, kamu menyimak cerita Matt Paten? Apa yang kamu ragu kan lagi dari dirinya?”

Rani hanya bergeming, tidak ada satu patah kata pun yang keluar dari mulutnya. Tangannya memilih ujung hijabnya, pertanda rasa serba salahnya.

“Apa yang kamu lakukan itu membuka mata saya Matt. Itulah yang tidak saya lakukan selama ini. Seharusnya, sebagai Bupati saya melakukan apa yang sudah kamu lakukan itu.”

“Belum terlambat, Pak, masih banyak waktu jika bapak berkenan melakukan hal yang sama.”

“Jujur saja, saya malu sebagai pemimpin di kampung ini, karena saya tidak berbuat banyak untuk kepentingan masyarakat di kampung ini.”

Matt Paten tidak ingin memperpanjang apa yang disampaikan Armaya. Baginya, adanya kesadaran Armaya tentang kelemahannya adalah sebuah Rahmat Allah.

“Saya mau minta izin berbicara berdua dengan Rani, Pak” Matt Paten mengutarakan niatnya pada Armaya.

“Silahkan Matt, semoga terbuka pikiran Rani, dan mau mengakui kesalahfahamannya.”

Matt Paten mengajak Rani berbicara di halaman samping rumah Armaya, tempat dimana mereka biasa ngobrol berdua. Armaya dan isterinya seperti biasa mengintip dari jendela kamarnya.

Rani masih terdiam seribu bahasa saat mereka sudah duduk di bangku yang ada di taman halaman samping rumah Armaya.

Matt Paten membuka pembicaraan, “Rani, kamu kecewa melihat ada Laras di rumah saya?”

Lama Rani terdiam, pikirannya berkecamuk antara kecewa dan kekaguman yang tak pernah habis pada Matt Paten.

“Laras itu cantik sekali mas, aku kalah cantik dibandingkan dia.” cuma itu yang keluar dari mulut Rani.

Matt Paten menghela napas sejenak, dia berusaha memahami apa yang dikatakan Rani.

“Rani, kecantikan itu relatif, bukanlah sesuatu yang utama. Seorang muslimah itu utamanya adalah akhlaknya. Cantik tidak mempunyai akhlak, hanya akan menjadi puntung neraka.”

Rani terkesiap mendengar ucapan Matt Paten, dia menaikkan dagunya menatap Matt Paten,

“Tapi, Laras juga berhijab mas, artinya dia sudah menjadi muslimah yang berakhlak baik.”

“Akhlak seorang muslimah itu tidak dinilai dari hijabnya, Rani. Tapi, dari perilakunya sehari-hari, bagaimana dia memperlakukan sesama manusia.”

Matt Paten menjelaskan pada Rani, bahwa banyak wanita yang berdandan ala muslimah, tapi perilakunya jauh dari adab dan akhlak seorang muslimah.

“Antara saya dan Laras tidak ada hubungan apa-apa, hanya sebatas hubungan mantan pasien dan yang mengobatinya. Sama seperti hubungan saya dengan kamu.”

Agaknya, ucapan Matt Paten itu sangat menohok jantungnya. Dia tersadarkan kalau hubungannya dengan Matt Paten hanya sebatas hubungan mantan pasien dan yang mengobatinya.

“Maaf mas, saya merasa salah sudah cemburu melihat mas dengan Laras. Seharusnya, tidak ada alasan saya cemburu, karena kita tidak punya hubungan apa-apa.”

“Tidak masalah, Rani, kadang soal perasaan memang sulit untuk dibendung. Tapi, saya senang kamu sudah mempunyai perasaan cemburu.” Matt Paten menatap kedua bola mata Rani.

Sejenak Rani membalas tatapan Matt Paten. Tapi, lalu tersipu malu,
“Aku baru tahu kalau mas senang dicemburui,”

“Seseorang yang mempunyai perasaan cemburu, biasanya dia menyimpan rasa cintanya, Rani. Apa kamu seperti itu juga?”

Seketika kulit wajah Rani yang kuning langsat memerah. Dia merasa Matt Paten mengetahui isi hatinya.

Armaya dan isterinya masih terus memandang ke arah Matt Paten dan Rani, mereka begitu bahagia melihat Rani yang tersipu-sipu dihadapan Matt Paten.

“Umi lihat sikap Rani? Sebetulnya, dia suka dengan Matt Paten. Hanya saja dia tidak bisa jujur dengan perasaannya.” ujar Armaya.

Sekilas Rani melihat Abah dan Uminya mengintip dari jendela kamar, dia sengaja ingin menggoda Abah dan Uminya,

“Mas, tangan aku kok agak keram ya yang sebelah kanan.” ujar Rani sembari memperlihatkan tangannya yang keram.

Matt Paten mengambil tangan Rani dan memegangnya,
“Ini hanya karena peredaran darahnya tidak lancar Rani. Mungkin saat tidur tertindih tubuh kamu.” Matt Paten mengusap-usap tangan Rani, Rani pun sangat menikmatinya.

“Umi, lihat tuh! Matt Paten pegang tangan Rani. Sepertinya Rani senang tangannya di usap-usap Matt Paten.”

“Wah! Iya bah, semoga Rani mau menerima Matt Paten ya bah.”

Rani sadar betul kalau Abah dan Uminya masih berada di jendela kamar, dia biarkan tangannya terus diusap Matt Paten.

“Gimana Rani? Masih keram tangannya?”

“Udah berkurang mas, Alhamdullillah sudah bisa digerakkan lagi jarinya.”

“Hari ini saya masih akan mengobati kamu, membuka pikiran kamu yang masih menyimpan banyak hal negatif.”

“Apakah rasa cemburu itu karena pikiran negatif mas?”

“Sebagian iya, sebagian lagi adalah rasa cinta yang berlebihan Rani.”

DEG!
Jantung Rani kembali mengena, “Ya Allah, apakah aku sudah jatuh cinta secara berlebihan pada Matt Paten?” bisik hati Rani.

“Kalau Kecemburuan kamu itu lebih kepada pikiran negatif Rani, bukan karena rasa cinta. Soalnya kamu kan tidak pernah mencintai saya.”

Lagi-lagi ucapan Matt Paten itu menghujam jantung Rani, Matt Paten tidak tahu apa yang ada di hati Rani.

“Ya Allah, apakah aku harus jujur pada perasaan aku sendiri? Kenapa begitu sulit aku mengakui perasaanku pada Matt Paten.” bisik hati Rani sembari menundukkan kepala tanpa ada keberanian menatap Matt Paten.
Bersambung

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan