Matt Paten: “Gayung Bersambut”

28. Gayung Bersambut

“Kaget gak mas melihat aku datang? Rumahku hanya sepelemparan baru dari rumah ini. Aku bawakan mas kopi dan cemilan.” ujar Laras sembari menyerahkan kopi dan cemilan untuk Matt Paten.

“Wah! Ini benar-benar kejutan Laras, saya tidak menduga kalau kamu tinggal di desa ini. Terima kasih ya sudah mau repot buatkan saya kopi.”

“Saya jadi tidak enak pada bu Laras, seharusnya sebagai tuan rumah saya yang menyediakan itu.”

“Tidak apa-apa pak Sumirat, mas Matt Paten ini adalah guru spiritual aku.”

Matt Paten menghirup kopi dalam sebuah termos kecil dari Laras, dan menyantap cemilan yang ada di dalam taperwear.

“Kopinya enak sekali Laras, pasti saat meraciknya ingat saya.” canda Matt Paten.

Di tembak secara langsung seperti itu, Laras segera menimpali, “Benar mas, aku meracik kopi itu sembari membayangkan wajah mas.” ucap Laras dengan menyunggingkan senyuman pada Matt Paten.

Matt Paten mengalihkan pembicaraan tentang abangnya pak Sumirat,
“Tadi setelah saya periksa, abang pak Sumirat bukanlah kerasukan arwah leluhurnya. Tapi, mahluk yang ada di tubuhnya butuh sesajen.”

“Oow gitu, terus bagaimana mengobatinya mas?”

“Saya harus melawan dan mengusir mahluk yang ada di dalam tubuhnya, Laras. Dan itu agak berat perjuangan saya.”

Pak Sumirat menanyakan pada Matt Paten, “Kapan itu mas bisa lakukan?

“Belum bisa hari ini pak, saya harus tirakat dulu nanti malam. Besok saya akan datang untuk membuang mahluk yang bersarang di tubuh abang bapak.” jelas Matt Paten.

“Terus, kalau sudah tidak ada yang dilakukan di rumah ini, mas mau kemana lagi?” Laras ingin tahu.

“Mau pulang Laras, kamu ada perlu dengan saya? “ tanya Matt Paten.

“Kalau mas berkenan mampir ke rumah saya, gimana ada waktu gak?” Laras balik bertanya.

“Sangat berkenan, karena saya juga harus tahu rumah kamu, Laras, mumpung sedang berada di sini.”

Matt Paten pamit pada pak Sumirat, dan berjanji akan datang besok pagi, “Pak Sumirat, saya mohon pamit dulu ya, sekalian mau mampir ke rumah Laras.”

“Tapi mas, abang saya akan mengganggu tidak? Saya tahan kalau melihat dia ngamuk di kamar.”

“In Shaa Allah, sekarang dia sudah tenang pak. Semoga saja tidak kambuhan.”

“Pak Sumirat, saya bawa mas Matt Paten ke rumah dulu ya, kalau ada apa-apa kabari saya saja.” Laras pun berpamitan pada pak Sumirat.

Berboncengan motor dengan Matt Paten, Laras sangat menikmatinya. Dia tidak berani memeluk pinggang Matt Paten, karena dia merasa bukan muhrimnya.

Jarak rumah pak Sumirat dengan rumah Laras tidaklah jauh, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi, karena Laras ingin merasakan berboncengan dengan Matt Paten, dia pun dibonceng oleh Matt Paten.

Sampai di depan rumah Laras, Matt Paten terkagum-kagum dengan sosok bangunan rumahnya,

“Rumah kamu megah sekali, Laras, apa tidak riskan kamu tinggal di desa dengan rumah seperti ini?” tanya Matt Paten saat menghentikan motornya di depan rumah Laras.

“Ada yang salah dengan bangunan rumah ini, Mas?” tanya Laras sembari turun dari motor.

“Tidak ada yang salah Laras, hanya saja sangat mencolok jika dibandingkan dengan bangunan di sekitarnya.”

Apa yang dikatakan Matt Paten itu sangat masuk di akal Laras, dan dia sangat menyadarinya.

“Tadinya aku tidak berpikir seperti itu mas, aku hanya ingin memperlihatkan kesuksesan aku kepada penduduk di sekitar sini.”

Mereka sudah sampai di teras depan rumah Laras, Matt Paten memarkirkan motornya.

“Kita ngobrol di dalam saja yuk mas!” ajak Laras.

“Sebaiknya kita ngobrol di teras saja Laras, lain soal kalau di rumah ini ada orang lain selain kamu.”

“Di dalam ada ibu dan ayahku kok mas, bukan Cuma aku sendiri.”
Matt Paten tetap bersikukuh untuk berbicara di teras depan rumah Laras.

“Yaudah mas, kalau gitu aku masuk dulu ya.” Laras meninggalkan Matt Paten sendirian di teras depan rumahnya.

Matt Paten masih terkagum-kagum dengan megahnya rumah Laras. Dari segi arsitekturnya pun sangat moderen, dan jauh berbeda dengan rumah-rumah yang ada di desa itu.

Laras muncul dari dalam dengan membawa secangkir teh dan cemilan, “Yuk! Mas di minum dan di makan cemilannya.” pinta Laras.

“Minuman dan cemilan yang tadi saja belum habis, Laras.”

“Udah mas, yang itu jangan di minum lagi, minum saja yang ini mumpung masih anget.” Laras duduk di kursi yang ada di samping Matt Paten.

“Oh ya mas, kita lanjutkan pembicaraan soal rumah ini. Aku kepikiran dengan ucapan mas tadi.”

“Kalau tujuan kamu membangun rumah ini hanya untuk memperlihatkan kesuksesan kamu, itu namanya ‘riya’ Laras.” nasihat Matt Paten.

“Emang agama melarang perbuatan itu ya mas?”

“Tidak ada yang patut kita pamerkan, karena pemilik sesungguhnya bukan kita Laras. Kan sudah di firmankan, lakukanlah sesuatu hanya karena Allah.”

“Tapi, rumah inikan sudah jadi mas? Gimana dong? Aku baru tahu kalau perbuatan itu dilarang agama.”

“Lain kali kalau kamu mau melakukan apa pun, niatkanlah di hati aku semata karena Allah, bukan karena yang lainnya.”

“Baik mas, sekarang kita membahas soal yang lain ya. Mas nyaman gak sih dijodohkan Suci dengan aku?” Laras ingin tahu perasaan Matt Paten.

Matt Paten tersenyum pada Laras, “Sekarang saya balik pertanyaannya, Laras. Kamu sendiri nyaman gak dijodohkan Suci dengan saya?”

Laras menghela napas sejenak. Pertanyaan Matt Paten itu membuatnya serba salah, “Kalau aku sih jelas senang mas, karena aku sangat mengagumi mas.”

“Apa yang membuat kamu kagum pada saya? Kamu kan tahu saya ini hanya pemuda kampung, dan tidak punya profesi yang mentereng seperti pemuda kota.”

Laras memberikan alasan pada Matt Paten, bahwa dia tidak lagi silau dengan status sosial seorang lelaki. Dia lebih melihat kepribadian dan akhlak Matt Paten.

“Itulah yang menjadi alasan aku kenapa tertarik dengan mas. Dan itu aku ceritakan pada Suci. Aku minta maaf kalau mas tidak nyaman dengan pengakuan aku ini.”

“Saya sama sekali tidak terganggu dengan apa yang dilakukan Suci, Laras. Bagi saya, soal jodoh itu sepenuhnya hak prerogatif Allah.” Matt Paten memberikan jawaban secara diplomatis.

“Jadi, kalau ditakdirkan Allah aku berjodoh dengan mas, mas tidak menolak?”

“Siapa manusia di dunia ini berani menolak kehendak Allah, Laras? Itu sama artinya dia tidak beriman kepada Allah.”

Meskipun Matt Paten menjawab selalu secara diplomatis. Namun, Laras bisa menangkap apa yang dikatakan Matt Paten, hatinya sangat senang. Ternyata, apa yang ada di hatinya, sesuai dengan kenyataan.

“Tunggulah takdir Allah itu datang Laras, tidak perlu kita mendahului Takdir-Nya.”

“Kalau seandainya kita tidak ditakdirkan Tuhan berjodoh, aku tetap senang mas. Bagi aku bisa mengetahui bagaimana perasaan mas pada aku, aku sudah sangat bahagia.”

Bersambung.

Tinggalkan Balasan