Selesai salat Asyar, bu Rumi mengingatkan sang suami tentang tugas sore ini. Guru Eko yang merasa diingatkan segera bergegas mengambil kunci Spacy dan mengeluarkan motor yang telah setia menemaninya selama 11 tahun.
“Siap, ayo!” ajak Guru Eko.
Sejurus kemudian, mereka berjalan menyusuri jalan kampung menuju ke kota. Cuaca cukup mendukung. Mentari yang bersinar sangat terik mulai meredup. Sang Penguasa Alam bertitah agar awan berjalan berarak menghalangi terik sang Surya. Angin yang kencang bertiup menambah kesejukan, meskipun membuat kedua orang itu was-was. Mereka khawatir hujan turun.
Sebelum melanjutkan perjalanan, Guru Eko membelokkan kendaraannya di sebuah Pertashop untuk mengisi bahan bakar. Tangki motor ia isi dengan Pertamax sebanyak 30 ribu rupiah. Setelah itu, ia memacu motornya dengan kencang. Bu Rumi yang duduk di belakang menambah berat beban motor. Namun, laju motor menjadi stabil ketimbang dikendarai satu orang. Itulah alasan Guru Eko selalu mengajak istrinya jika keluar kota dengan bersepeda motor.
“Asyik ya, Pak Guru duaan terus,” gurau Bik Ning, tetangganya, di luar gang kampung tadi.
“Ssss…t,” jawab Guru Eko sambil memberi kode jari telunjuk di depan mulut, “biar lebih mesrah!”
Yang bertanya dan yang ditanya pun tertawa terbahak-bahak.
Satu kilometer lagi mereka memasuki jalan lintas Sumatera. Guru Eko menjawil ujung lutut istrinya.
“Kita beli takjil dulu, ya!”
“Apa, yah?” tukas bu Rumi. Ia tidak mendengar suara suaminya akibat angin yang deras akibat kencangnya motor melaju.
Sadar suaranya tidak didengar, Guru eko menutup mulut dengan telapak tangan dan membuka pada bagian jari. Dengan demikian suara yang keluar dari mulutnya dipantulkan telapak tangan dan dapat ditangkap oleh istrinya yang dibonceng di belakang.
“Kita beli takjil, dulu!”
“Kan memang itu tujuan kita, yah?” jawab istrinya. Guru Eko tersenyum kecut.
Setelah melawati lampu merah, terlihat sebuah meja penuh dengan penganan dan aneka jajan. Tuas rem ia tarik ke belakang, perlahan motor melambat dan berhenti tepat di depan penjual takjil.
“Mang, berapaan satu?” Guru Eko menanyakan harga makanan.
“Seribuan, kecuali bubur kacang ijo, tekwan, rujak tahu, dan yang ada dalam bungkusan. Pilihlah!” jawab Mamang penjual makanan.
Bu Rumi turun. Dengan cekatan ia memilih jajanan yang akan mereka antar ke masjid belakang rumahnya.
Hari Kamis lalu, pengurus Aisyah memberinya surat. Isinya, jadwal pemberian bantuan takjil untuk berbuka pada hari Sabtu sore. Nama mereka selalu tercantum sebagai salah satu donatur.
Setelah memilih dan membungkus makanan untuk teman-teman yang biasa berbuka di masjid Al Jihad, mereka pun segera pulang. Sepanjang jalan dipenuhi penjual makanan kecil. Aneka takjil dijajakan. Lemang, lemper, kue basah, gorengan, dan makanan berkuah dijajakan oleh pedagang musiman. Banyaknya pedagang berbanding lurus dengan banyaknya pembeli yang seakan tiada habisnya.
Sampai di rumah, kedua suami istri itu istirahat dan duduk santai di kursi panjang depan warung kecinya.
“Yah, ngomong-omong mau menu apa berbuka nanti, mumpung masih ada waktu untuk memasak?” tanya bu Rumi.
“Kamu nanya, e … kamu nanya?” jawab Guru Eko dengan mimik lucu menirukan kalimat viral yang mulai usang itu.
“Ish … Ayah, nih. Ibu nanya bener, kok. Dasar genit,” jawab bu Rumi dengan wajah pura-pura kesal.
“Oke, bagaimana kalau menunya … menua bersamamu?” jawab Guru Eko genit sambil mencolek dagu tua sang istri.
“Malu!” ia pun berlari ke dapur.
Cinta kita memang tidak semudah yang dibayangkan
Dulu kita saling menyakiti dan hampir menyerah
Tapi kini kita ada ‘tuk saling menyempurnakan
‘Ku berdoa untuk bisa hidup dan menua bersamamu
(Nukilan lagu “Menua Bersamamu” Cover: Tri Suaka)
Musi Rawas, 25 Maret 2023
PakDSus
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Menu Berbuka”
https://www.kompasiana.com/susantogombong/641ed222d3aa0f22bd0f0712/menu-berbuka
Kreator: Susanto
#KMAC-09 #KMAC #YPTD #KisahRamadan