Lamunanku terkacaukan ketika tangan kecil menarik paksa ujung jilbabku, ya Allah ternyata aku sudah mengabaikannya.
Senyumku akhirnya terpaksa aku keluarkan ketika melihat wajah marah yang memonyongkan bibir kecil yang selalu mengundang tawa ketika melihatnya.
Seandainya aku dalam keadaan sehat, tentu aku akan tertawa terbahak – bahak melihat aksinya marah padaku.
Tapi hatiku lagi sakit, jadi hanya senyum yang tak enak dipandang mata saja yang terlihat jelas menandakan hatiku dalam keadaan tidak sehat.
“Sayang mau apa?” ucapku sambil menyangkat dirinya dalam gendonganku.
Menimang dirinya memberikan kepuasan tersendiri, akhirnya rasa sakit di hatiku berkurang walaupun hanya sebentar.
“Ma ma ma.” Suara yang memberi warna tersendiri dalam hidupku sejak kehadiranya dalam kehidupanku.
Kadang aku berpikir, dia yang kami tunggu selama lebih lima tahun dalam kehidupan rumah tangga kami hanya label kalau dirinya sempurna tapi bukan menyempurnakan keluarga kami.
Lihat saja makin bertambah usia buah cinta kami, ya buah cinta kami tapi hanya aku yang selalu ada untuk buah cinta kami sedangkan dirinya selalu hilang dengan satu kata terpaksa mencari rezeki untuk kebutuhan kami, itu katanya tapi nyatanya aku selalu dapat memenuhi kebutuhan rumah tangga kami dari rezeki yang diterima darinya.
***
Nanar mataku menatap kue bertambahnya usia buah hati kami yang tertata apik di meja makan kami, memang kami tidak merayakannya secara besar – besaran tapi aku sangat mengharapkan dirnya, suamiku, Bang Faizan hadir dipertambahan usia buah cinta kami.
“Bang jangan pulang telat, hari ini Fauzan ulang tahun.” Chatku tadi siang untuk mengingatkan suamiku
“Ya, Abang usahakan.” Itu balasan yang sebenarnya aku tidak usah berharap untuk Bang Faizan pulang tepat waktu seperti yang aku inginkan.
Akhirnya aku membiarkan buah hati kami menyendok kuenya sesuka hati setelah lelah aku menghalanginya untuk tidak membuat kuenya menjadi tidak berbentuk.
Tapi yang namanya menunggu lebih dari dua jam bukan waktu yang membuat mereka sabar, dan akhirnya aku membiarkan buah hati kami mengacak kuenya setelah melalui seremoni tiup lilin serta berdoa, ya hanya aku yang doa semoga buah cinta kami sehat dan menjadi anak yang sholeh berguna untuk agama, serta menjadi kebanggaaku kelak.
Jangan tanya kenapa aku tidak menangis, sudah tidak ada air bening untuk menangisi keadaan yang sudah membuatku lelah untuk menangis.
Melihat anakku yang sudah mengantuk, aku meraihnya dalam dekapanku membawanya untuk dibersihkan sebelum buah hatiku menjemput mimpinya.
Semoga mimpi indah menyambangimu buah hati Bunda, batinku sambil mencium pucuk kepala buah hatiku.
Setelah memastikan anakku tidur dalam keadaan nyaman, dan memposisikan letak tidurnya aku melangkah keluar kamar untuk membersihkan meja makan yang tadi sempat menjadi arena tarung buah hatiku karena aku membiarkan dirinya untuk memgacak kue ulang tahunya.
Aku mendengar suara kendaran yang selalu digunakan suamiku, tidak ada niatku untuk menyusul dirinya seperti biasanya.
Langkah berat sudah berada di dapur tempat diriku berjibaku membersihkan kekacauan yang dibuat buah hatiku.
“Maaf.” Hanya itu yang terkeluar dari mulut Bang Fiazan.
Langkah menjauh dari dapur membuatku menghela napas, hanya sebuah kata tanpa memberitahu kenapa sampai pulang terlambat. Aku mengelap tanganku setelah semua pekerjaanku selesai.(Bersambung)