Membesarkan Anak pada Era Digital
Oleh Erry Yulia Siahaan
Salah satu masalah besar bagi para orangtua dewasa ini adalah membagi waktu secara seimbang antara pekerjaan dan kehidupan keluarga. Di satu sisi, mereka harus terus mencari nafkah, memperhatikan karir atau pekerjaan, untuk menjamin finansial dan masa depan keluarga. Di sisi lain, mereka juga harus memperhatikan relasi dalam keluarga, terutama dengan anak-anak, agar usaha mereka yang notabene untuk anak-anak tidak menjadi sia-sia.
Isu terkait anak yang cukup serius hari-hari ini adalah bagaimana anak bisa bertumbuh dan berkembang dengan baik di era digital. Orangtua perlu memfasilitasi kebutuhan digital bagi pembelajaran anak, tetapi juga tetap mengawasi sampai anak benar-benar dapat berteknologi dengan bijaksana.
Kemajuan teknologi dan informasi terjadi begitu pesat. Selain bermanfaat, kemajuan ini membawa risiko, misalnya bahaya online berupa cyberbullying; berseliwerannya konten yang tidak pantas, khususnya bagi anak-anak; pencurian identitas; dan sebagainya.
Begitu pesat kemajuan teknologi, hingga kita sekarang ini tidak terheran-heran bila melihat ada seorang anak, bahkan bayi, sudah biasa memegang handphone (HP) misalnya. Ada orangtua yang menjadikan HP seperti mainan untuk meredakan kerewelan anak.
“Ah, yang penting nggak rewel,” begitu pandangan sebagian orangtua. Tentunya pandangan ini keliru. Namun, mereka juga tidak mau disalahkan sepenuhnya, terutama karena harus bekerja.
Di banyak sekolah, perangkat digital sudah menjadi kebutuhan pokok dan menjadi keharusan. Bukan lagi sekadar penunjang. Di rumah, mau tidak mau, keluarga mengupayakan juga kebutuhan digital anak agar syarat belajar terpenuhi optimal.
Ini menjadi semacam dilema bagi orangtua. Keamanan finansial dan keamanan digital sama-sama penting. Lantas, bagaimana menyikapinya?
Perangkat digital dan meluasnya penggunaan media sosial memang tidak terhindarkan. Ini adalah dunia yang harus dikenal oleh anak-anak, jika mereka tidak mau tergilas oleh persaingan zaman.
Perangkat digital dan media sosial sebenarnya merupakan sarana belajar yang baik dan bukan untuk dihindari. Sama ketika buku-buku mulai membanjiri sekolah dan rumah-rumah, menggantikan pelan-pelan ceramah bapak-ibu guru di depan kelas yang kala itu menjadi sumber belajar teramat penting karena buku bacaan masih serba terbatas.
Murid-murid menggunakan batu tulis dan kekuatan menghafal sebagai media belajar. Guru memberikan satu materi. Murid-murid mencatat dengan kapur di atas batu tulis, lalu selekasnya dan sekuatnya mereka menghafal yang ditulis, sebelum batu itu dibersihkan lagi untuk memuat materi belajar yang lain.
Pada suatu ketika, kehadiran buku-buku tidak terhindari, namun bukan tanpa risiko. Konten-konten tidak mendidik bagi anak tetap bisa muncul sebagai risiko melalui buku. Namun, melihat perkembangan zaman dan kebutuhannya, buku menjadi keharusan.
Zaman berubah, media dan sumber belajar ikut berubah. Teknologi digital sudah menjadi kebutuhan. Orangtua tidak mungkin meniadakan kebutuhan itu, apalagi ketika teknologi itu sudah menjadi media belajar wajib di sekolah. Anak-anak diharapkan dapat belajar dan berkreasi semaksimal mungkin melalui media tersebut. Tugas orangtua memastikan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak tetap bisa maksimal dan aman.
Sama dengan perangkat digital dan media sosial, sebenarnya buku-buku dan media belajar yang lain juga bisa berisiko terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Hanya saja, kecepatan dan besar dampak dari teknologi digital jauh lebih dahsyat. Laju kemajuannya begitu cepat. Arus informasi begitu deras. Sementara kemampuan mengawasi relatif lebih sulit, apalagi bagi orangtua yang belum atau baru melek teknologi.
Setiap anak sekarang ini sangat mungkin sudah memiliki HP dan komputer portabel sendiri. Di kamar, kita tidak tahu apa yang mereka akses, kecuali kita mengawasinya 24 jam, sesuatu yang mustahil dilakukan, apalagi oleh orangtua yang bekerja.
Karena tidak mungkin meniadakan kebutuhan digital anak, tetapi juga keamanan berdigital tetap harus diperhatikan, orangtua perlu menyusun strategi yang baik agar manfaat digital bisa diperoleh secara maksimal, begitu pula tumbuh-kembang anak-anak mereka.
Sepuluh Tips
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan saya, berikut ini beberapa tips yang bisa dilakukan oleh orangtua untuk menjawab tantangan tersebut:
Pertama, orangtua perlu memahami perkembangan teknologi digital itu sendiri dan mengenali manfaat dan dampaknya. Orangtua perlu mengikuti tren dan aplikasi terbaru agar bijaksana dalam mengambil keputusan terkait teknologi.
Kedua, berdasarkan pemahaman itu, orangtua perlu tetap intens menjalin relasi/komunikasi dengan anak-anak, untuk memberitahukan risiko dan manfaat teknologi, serta menetapkan pedoman yang jelas dalam penggunaannya. Orangtua juga perlu menjajaki sejauh mana keterlibatan mereka pada teknologi ini dan sebesar apa pemahaman mereka mengenai untung-rugi dari penggunaannya.
Ketiga, orangtua perlu menetapkan batasan penggunaan teknologi digital ini, khususnya bagi anak-anak di bawah umur. Misalnya, dengan menetapkan jam belajar dalam penggunaan perangkat digital. Kalau perlu, orangtua mendampingi ketika anak-anak mengakses teknologi tersebut. Menampingi anak akan membuat anak tidak merasa sedang dimata-matai. Mereka juga akan mempunyai lebih banyak kenangan manis bersama keluarga yang bakal berpengaruh baik bagi perkembangan jatidiri.
Bagi yang remaja dan dewasa, kebutuhan teknologi digital relatif lebih intens. Pembatasan jam pemakaian hampir tidak mungkin dilakukan. Orangtua bisa menerapkan langkah keempat.
Keempat, orangtua perlu membuat “kontrak media” di tengah keluarga, terkait jam penggunaan dan keterbukaan mengakses perangkat tersebut. Orangtua perlu memastikan bahwa mereka bisa mengakses teknologi itu kapan saja, untuk memeriksa jika dianggap perlu mengenai riwayat penggunaan teknologi tersebut. Orangtua perlu memantau aktivitas online anak, apakah sesuai dengan usia mereka. Kalau perlu, orangtua menetapkan batasan usia untuk konten pada penggunaan perangkat. Saat ini sudah tersedia beberapa aplikasi yang bisa dimanfaatkan oleh orangtua untuk membatasi dan mengawasi konten digital yang diakses oleh anak.
Kelima, orangtua harus bisa menjadi role-model dalam kebiasaan menggunakan teknologi secara sehat. Misalnya, lebih fokus pada keluarga, bukan pada HP atau gadget, ketika berada di rumah. Mereka juga harus menjadi contoh dalam penggunaan perangkat digital pada jam-jam tertentu. Anak akan melihat bahwa orangtua mereka ternyata juga tidak sembarangan dalam menggunakan teknologi digital.
Keenam, orangtua perlu mulai mengajarkan pengelolaan uang sejak dini pada anak-anak, mencakup perencanaan keuangan serta disiplin dan bertanggungjawab dalam penggunaan uang. Dimulai dari hal sederhana, misalnya dengan membiasakan menabung dan hidup berhemat, memberi contoh untuk tidak konsumtif dalam membeli barang-barang, membeli barang berdasarkan fungsinya dan bukan gengsinya, membeli barang karena dibutuhkan dan bukan karena sekadar diinginkan, dan sebagainya.
Ini merupakan bagian penting bagi setiap orangtua agar realistis dalam kehidupan, mengenai kesanggupan belanjanya dan kebutuhan yang ada di rumah. Orangtua perlu menetapkan tujuan dan memiliki prioritas yang jelas.
Dengan melatih anak soal pengelolaan keuangan, orangtua sebenarnya telah memulai mengambil langkah untuk mengurangi beban dari tuntutan anak yang tidak perlu. Semakin anak mengerti, semakin mereka tidak rewel dan membuat orangtua stres jika mereka menginginkan sesuatu.
Anak-anak menjadi lebih mengerti ketika misalnya keinginan mereka untuk membeli gadget baru tidak dikabulkan. Mereka lebih bisa menghargai barang-barang yang dimiliki dan lebih bertanggungjawab dalam menggunakannya.
Ketujuh, sebagai pemimpin di tengah keluarga, orangtua perlu melatih kerjasama dengan anak-anak, misalnya dengan pendelegasian beberapa tugas rumah. Bagi orangtua, pembagian tugas akan meringankan beban dan memberikan alokasi waktu lebih banyak untuk tugas yang lain. Bagi anak, pembagian tugas merupakan pengalihan sejenak dari keinginan mengakses teknologi sekaligus melatih anak lebih mandiri dalam berbagai pekerjaan.
Kedelapan, orangtua perlu menjalin relasi dengan komunitas khusus terkait masalah ini, termasuk komite orangtua di sekolah anak. Kemitraan dengan sesama orangtua akan membantu dalam hal meng-update informasi dan berbagi pengalaman.
Kesembilan, orangtua perlu bersikap sabar, tenang, disiplin, dan berpikir positif mengenai segala sesuatunya. Karakter demikian akan berguna ketika berkomunikasi dengan anak dan merespon setiap persoalan, sehingga komunikasi berjalan efektif dan tepat sasaran.
Kesepuluh, orangtua perlu menjadi imam dalam keluarga dan contoh dalam iman. Kedekatan relasi keluarga dengan Tuhan akan memudahkan keluarga untuk mencari solusi ketika terjadi masalah. Keluarga tidak mudah panik, bisa tetap fokus dan tenang, sehingga setiap solusi benar-benar berdasarkan pertimbangan yang bijaksana dan matang. ***