Beriman dan “Meyakini”

Filosofi16 Dilihat

Untuk mempercayai sesuatu, meyakininya, tentulah harus memastikan keberadaannya. Itulah sebuah proses dari tidak yakin menjadi yakin, dari tidak percaya hingga mempercayai. Disinilah fungsi nalar dan logika. Mempercayai tandanya mengimani. Tuntunan dalam proses tersebut juga adalah pengetahuan.

Meyakini keberadaan Gusti Allah juga memerlukan sebuah proses kontemplatif, agar yakin dan percaya terhadap-Nya bukan karena dikasih tahu orang lain, atau sebab-sebab yang tidak masuk akal. Gusti Allah sendiri Juga menginginkan kita meyakininya seyakin-yakinnya tanpa ada keraguan, sadar akan ketiadaan diri tanpa diadakan-Nya.

Bagaimana mungkin kita bisa berdoa kepada-Nya, memohon ampunan kepada-Nya, tanpa pernah meyakini keberadaan-Nya. Semesta alam tempat kita berpijak bukanlah sesuatu yang tiba-tiba ada tanpa ada yang menciptakan. Selalu sadar dan terasa saat doa dikabulkan-Nya, lalu bersyukur kepada-Nya. Dari proses itu tentu kita yakin bahwa ada Sang Maha Penolong tersebut.

Begitulah proses akal mencerna keberadaannya, untuk mempertemukan keyakinan, agar kita merasa benar-benar beriman kepada-Nya, tidak ada selain DIA yang patut diimani. Tapi suatu ketika kita bisa lupa segalanya, hanya karena ada seseorang yang berbuat baik kepada kita, dan menjadikan kita Taqlik kepadanya, padahal orang tersebut hanyalah perantara kasih sayangnya.

Dianugerahi Kekuasaan dan jabatan membuat kita lupa, kita mempertahankan jabatan dan Kekuasaan tersebut, ketimbang menghiraukan yang Menitipkan Jabatan dan Kekuasaan yang kita terima. Itulah selemah-lemahnya keimanan, hanya karena Kekuasaan dan jabatan, kita menjadi lupa terhadap Kekuasaan-Nya atas dunia semesta.

Ketika jabatan dan Kekuasaan tersebut diambil oleh Sang Maha Pemilik, barulah sadar, barulah menghadap-Nya, memohon ampunan-Nya. Inilah kelemahan manusia, beriman tanpa keyakinan. Hidup hanya melihat dunia, tidak pernah mau mengetahui siapa sesungguhnya Pemiliknya. Hidup hanya bertuhan pada kebendaan, tanpa pernah mau menyadari bahwa benda tersebut ada yang menciptakannya.

Kita tidak pernah ada kalau tidak ada yang mengadakan. Yang mengadakan kita keduania ini tentulah dengan segala rencananya. Kita bisa jadi apa pun dan menjadi siapa, adalah atas Kehendak dan rencananya. Fitrah manusia berupaya mencapai apa yang dikehendakinya. Setiap kekurangan yang kita miliki, DIA sudah siapkan kelebihannya.

Beriman hanya sebatas ucapan, bukan dengan keyakinan. Sudah dengan yakin pun tapi masih tidak mempercayai, bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini, tidak terlepas dari campur tangan Tuhan. Antara pikiran dan keyakinan tidak pernah sejalan, karena diantaranya masih terselip bisikan setan.

Beriman dengan penuh kejumawaan, seakan-akan sudah mencium pintu surga. Padahal masuk atau tidaknya seseorang ke surga, sepenuhnya hak Yang Maha Berkuasa atas manusia. Ahli Ibadah sekalipun, kalau dalam hatinya terselip kesombongan, belumlah tentu memperoleh surga, karena Tuhan tidak menyukai kesombongan, terlebih lagi kesombongan dalam beragama.

“Tidak akan masuk kedalam surga orang yang dihatinya ada kesombongan meskipun seberat biji sawi. Lalu ada yang bertanya : sesungguhnya seseorang itu sangat senang kepada baju dan sandal yang bagus ? maka beliau berkata : sesungguhnya Allah Maha Indah dan mencintai keindahan. Sombong itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia”. HR Muslim.

Beriman bukanlah sebatas lisan, tanpa menyakini apa yang diimani. Mengimani ke Mahakuasaan-Nya, tapi tidak meyakini bahwa segala yang terjadi dimuka bumi ini, tidak terlepas dari campur tangan-Nya. Tidak bisa menerima ketika ditimpa musibah, tapi lupa ketika menerima Nikmat-Nya. Padahal Musibah atau pun Nikmat, adalah anugerah Yang Maha Kuasa. Semua atas rencana-Nya, dan kita diminta berprasangka baik terhadap rencana-Nya.

Tinggalkan Balasan

2 komentar