Jangan Bangga Akan Masa Lalu

Satu kalimat judul di atas saya dengar dari dua orang yang berbeda dalam waktu dekat ini. Pertama, saya dapatkan dari Masruhan Mufid seorang guru dan youtuber. Beliau berkata bahwa jangan pernah merasa puas dengan prestasi masa lalu, karena bisa jadi prestasi itu hanyalah syarat di masa kini.

Mas Mufid kemudian mencontohkan, kita mungkin pernah berbangga saat bisa mengetik dengan 10 jari di depan komputer. Tapi kini? Sudah lumrah ditemui.

Pernyataan kedua saya dapatkan dari Anies Baswedan. Hal senada diungkapkan beliau dalam sebuah video singkat yang dikirim via WA oleh salah seorang teman. Gubernur DKI tersebut mengatakan bahwa sekolah jangan pernah berbangga dengan prestasi terdahulu. Kita harus pikirkan masa depan dengan berkaca di masa kini.

Saya pikir, ini bisa dikaitkan dengan hal-hal di luar prestasi. Maknanya sungguh bisa meluas. Materi misalnya. Kita mungkin pernah berbangga saat memiliki telepon genggam. Tapi lihatlah kini. Bahkan tukang jamu dan tukang becak pun memilikinya.

Apa yang dianggap hebat saat ini, belum tentu hebat di masa depan. Tampaknya kalimat “Jangan bangga akan masa lalu” bisa menjadi sebuah rem untuk kita agar tidak cepat merasa puas. Agar tidak lekas berbangga hati. Lebih besar lagi, agar tidak muncul setitik pun rasa sombong.

Bangga menurut KBBI adalah: besar hati; merasa gagah (karena mempunyai keunggulan). Sementara sombong dimaknai sebagai menghargai diri secara berlebihan; congkak; pongah.

Sombong, merupakan salah satu penyakit hati yang sulit dideteksi pada kadar yang sangat kecil. Padahal, Rasulullah saw pernah bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang dalam hatinya terdapat kesombongan walau sebesar biji zarrah.” (HR. Muslim)
Tak hanya hadits. Banyak ayat Al Quran yang membahasnya. Saya memang bukan ahli agama, tapi tengoklah salah satu ayat berikut :

Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. Al-Isra : 37)

Di kalangan manusia, sudah banyak artikel/buku yang membahasnya. Ribuan, jutaan, bahkan mungkin miliaran jumlahnya. Mulai dari yang membahas sombong lahir dan batin. Sombong kepada Allah, Rasul dan manusia. Faktor penyebab dan cara menghindarinya.

Orang kaya bisa sombong dengan kekayaannya. Orang miskin pun bisa sombong dengan kemiskinannya. Bahkan seorang penulis pun, bisa sombong dengan tulisannya.

Senang yang berbuah kesombongan

Saat menulis, saat berkarya, lalu muncul pujian. Sedetik saja merasa hebat. Sungguh itu adalah kesombongan. Saya mengatakan ini, bukan berarti sudah mampu menghindarinya. Saya manusia biasa, toh? (Nah, jangan-jangan ini pun bentuk kesombongan. Astaghfirullah).

Pujian memang seperti buah simalakama. Kita mungkin bisa menjadikannya dasar untuk menjadi lebih baik. Menjadi pemicu semangat untuk terus berkarya. Sekaligus … bisa menjadi racun yang menanam benih kesombongan bila kita tidak berhati-hati. Memberi rasa senang yang berbuah kesombongan karena merasa hebat. Ingat, “sekecil apa pun” itu, merasa hebat adalah sebuah kesombongan.

Saya sendiri terkadang merasa was-was saat mendapat pujian. Khawatir tergelincir tanpa disadari. Oleh karena itu, saya merasa lebih lega bila dalam berkarya masih ada orang yang mau mengomentari dengan jujur.

Menerima masukan atas apa yang kurang atau mesti saya perbaiki bisa jadi hal yang tidak mengenakkan. Sakit saat kenyataan tak sesuai harapan. Sudah berusaha, namun masih terdapat cela. Tapi, pada akhirnya patut kita sadari bahwa hal itu bisa jadi baik bagi kita. Bukankah sempurna hanya milik-Nya?

Meski kritikan dapat membenamkan sifat sombong yang mungkin muncul. Tidak setiap orang mampu menyampaikan dengan baik. Oleh karena itu, beberapa ada yang lebih memilih tidak menyampaikan kekurangan yang dilihatnya. Alih-alih, ia hanya mengucapkan kebaikan. Menghargai proses.

Ah, mengapa jadi membahas kritikan? Maaf karena akhir-akhir ini kata kritis dan kritik sedang berseliweran di layar hp saya. Hehe. Berjumpa dengan orang-orang kritis, berbicara mengenai kritikan yang kritis. Bukankah kritis merupakan salah satu keterampilan abad 21? Lalu, siapa yang tak siap dikritik secara kritis berarti … ?

Nasihat ulama

Saya pernah berbincang dengan sahabat. Kami sepakat bahwa pada hakikatnya, setiap penulis menulis untuk dirinya sendiri. Seperti saat ini. Saya menulis untuk mengingatkan diri sendiri. Syukur-syukur bila bermanfaat juga bagi pembaca sekalian yang budiman. Oleh karena itu, tulisan ini dipublikasikan.

Masih berkaitan dengan sifat sombong. Menganggap orang lain lebih baik daripada kita, pun sepertinya ampuh untuk menekan rasa ini. Sebagaimana nasihat Imam Ghazali :

  1. Jika berjumpa dengan anak-anak, anggap mereka lebih mulia karena belum banyak melakukan dosa.
  2. Bila bertemu dengan orang tua, anggap ia lebih mulia karena sudah lama beribadah.
  3. Saat berjumpa dengan orang alim, anggaplah dia lebih mulia dari kita karena mereka telah mempelajari dan mengetahui banyak ilmu.
  4. Jika melihat orang bodoh, anggaplah mereka lebih mulia karena mereka melakukan dosa dalam kebodohan, sedangkan kita melakukan dosa dalam keadaan mengetahui.
  5. Apabila melihat orang jahat, jangan anggap kita lebih mulia karena mungkin suatu hari nanti dia akan bertobat atas kesalahannya.
  6. Bila bertemu dengan orang kafir, katakan di dalam hati bahwa mungkin suatu hari nanti mereka akan mendapatkan hidayah dan diampuni dosanya.

Selalu berbenah diri. Menata hati dan niat. Mengembalikan segala pada Sang Pencipta. Terus menerus tiada jemu dan lelah. Kita harus berjuang setiap saat agar terhindar dari sifat sombong.

Tak berbangga dengan prestasi masa lalu, karena kita tak kan pernah tau apa yang akan terjadi di masa depan. Tidak pula menghakimi seseorang karena masa lalunya, karena bisa jadi ialah yang terbaik di masa depan.

Mari kita tutup tulisan ini dengan berdoa :

“Ya Allah, Engkau lebih mengetahui keadaan diriku daripada diriku sendiri dan aku lebih mengetahui keadaan diriku daripada mereka yang memujiku. Ya Allah, jadikanlah diriku lebih baik dari yang mereka sangkakan, ampunilah aku terhadap apa yang mereka tidak ketahui dariku, dan janganlah menyiksaku dengan perkataan mereka.” (Doa Abu Bakr ash Shiddiq tatkala dipuji)

Ditta Widya Utami, S.Pd.

NPA. 10162000676

Tinggalkan Balasan

6 komentar