Matt Paten: “Menggugah Perasaan”

12. Menggugah Perasaan

“Dulu sewaktu masih kuliah, saya pernah dengar Tausyiah soal ini, bahwa tidak satupun yang terjadi di muka bumi ini tanpa campur tangan Allah.”

Matt Paten terkesima mendengar ucapan Rani, “Kamu benar, Rani. Memang, semua itu tidak lepas dari campur tangan Allah.”

Matt Paten mencoba mengingatkan kembali perasaan cinta Rani, yang pernah di alaminya. Dalam penglihatan Matt Paten, Rani masih menyimpan perasaan itu, meskipun sudah dua tahun berlalu.

“Boleh saya memegang bagian kepala kamu?” tanya Matt Paten.

Rani menganggukkan kepala sebagai tanda dia menyetujui, “Karena saya harus mengembalikan memori kamu terhadap masa lalu kamu.” lanjut Matt Paten.

Sambil memegang kepala Rani, Matt Paten mengingatkan, “Nanti kamu mengalami kesedihan yang sangat menggugah perasaan kamu, dan kamu akan cerita tentang peristiwa itu. Kamu bersedia?”

Rani lama berpikir sebelum dia menyetujuinya, “Saya akan buka semua rahasia saya gitu?” tanya Rani.

“Ya terutama peristiwa yang membuat kamu bersedih, sampai berlarut-larut, gimana? Kamu mau lanjutkan?” Matt Paten balik bertanya.

Rani menganggukkan kepala, dia minta terus di lanjutkan. Matt Paten memulai aksinya, dia terus memegang kepala Rani.

Kurang lebih lima belas menit setelah itu, airmata Rani mulai membasahi pelupuk mata dan pipinya. Dia mulai menceritakan apa yang dialaminya,

“Lelaki itu sebetulnya tidak terlalu mencintai aku, dia hanya ingin menikahi aku dan ikut keyakinannya. Sedangkan aku sangat mencintainya, tapi Abah tidak setuju aku menikah dengannya.” cerita Rani di tengah kesedihannya.

“Seperti apa kamu mencintai dia? Apa yang membuat kamu jatuh cinta sama dia?” pancing Matt Paten.

Tanpa di sadari Rani, dia kembali menceritakan apa yang ada di dalam perasaannya,
“Aku mencintainya segenap hati dan perasaanku, dan aku sangat takut kehilangan dia. Aku jatuh cinta pada dia, sehingga aku rela menyerahkan mahkota kehormatanku.”

Matt Paten mengakhiri pertanyaannya, dan tangannya tidak lagi di kepala Rani. Matt Paten duduk di hadapan Rani, dan Rani sudah kembali sadar seperti sediakala.

“Ada yang salah dari proses percintaan kamu Rani. Kamu terlalu mabuk dalam mencintai. Sehingga kamu lupa kalau mahkota paling berharga, yang kamu miliki dilepaskan begitu saja” ujar Matt Paten.

Ada perubahan ekspresi wajah Rani, saat Matt Paten mengatakan apa yang sudah di alaminya,
“Aku mengaku salah soal itu, dia sangat tahu kalau aku sangat mencintainya. Sehingga saat dia meminta itu, aku hanya bisa menuruti keinginannya.” Rani mengakui.

“Tidak semua lelaki bisa menerima wanita yang sudah tidak suci lagi, hanya laki-laki yang mecintai kamu dengan tulus yang bisa menerima keadaan itu.” jelas Matt Paten.

Rani memandang Matt Paten, dia menatap mata Matt Paten, dan Matt Paten membalas tatapan Rani.

“Kamu sudah tahu kalau Abah menjodohkan saya dengan kamu? Saya tidak bisa menerima begitu saja keinginan Abah kamu, kamulah yang berhak memutuskannya.” ujar Matt Paten.

“Tapi, mas mencintai saya?” tanya Rani.

“Sejak pertama kali melihat kamu, saya mengagumi kecantikan kamu. Tapi, saya tidak berani lebih dari itu, karena saya bukanlah siapa-siapa.” jawab Matt Paten.

“Apa yang di katakan Abah sama mas?” tanya Rani dengan nada suara yang mulai lembut.

“Abah kamu bilang, kalau saya berhasil menyembuhkan kamu, dia akan menikahkan kamu dengan saya. Saya tidak peduli dengan ucapan Abah kamu, kewajiban saya menyembuhkan kamu. Soal jodoh, saya serahkan kepada Allah.” jawab Matt Paten.

Rani kembali menatap mata Matt Paten, seakan-akan dia ingin menegaskan sesuatu,
“Mas kan sudah menunaikan kewajibannya, dan aku sekarang sudah sembuh. Abah wajib memenuhi janjinya.” ucap Rani.

“Saya tidak akan menuntut janji tersebut, kalau seandainya saya bukanlah lelaki seperti yang kamu idam-idamkan. Saya tidak ingin mendahului kehendak Tuhan.”

“Mas berhak menuntu janji itu sama Abah, karena janji itu adalah hutang.” ujar Rani.

“Untuk apa saya menuntut sesuatu yang belum tentu hak saya, itu artinya saya mendahului kehendak Tuhan.”

“Abah sudah berjanji, maka mas berhak untuk itu.”

“Kamu gak usah khawatir, kalau pun kamu menolak keinginan Abah kamu. Saya akan tetap baik sama kamu, dan terus memulihkan kesehatan kamu.”

“Hati saya belum terbuka untuk itu mas, entahlah kalau suatu saat hati saya sudah terbuka.”

Matt Paten mendukung ucapan Rani. Bagi Matt Paten, tidak ada yang bisa di paksakan, kalau Allah masih menundanya. Dan apa yang di katakan Rani, sangat masuk di akal Matt Paten.

Matt Paten sangat bersyukur, karena usahanya dalam dua hari ini sudah membuahkan hasil.
Rani sudah kembali memorinya. Sehingga dia sudah bisa mencerna dengan baik apa yang dikatakan lawan bicaranya, bahkan secara interaktif.

“Teruslah kamu bersikap sesuai dengan hati nurani kamu, jangan lakukan sesuatu karena terpaksa. Kalau Tuhan menjodohkan kamu sama saya, tidak akan ada yang bisa memisahkan apa yang sudah dipersatukan Tuhan.” ujar Matt Paten.

“Kapan mas kembali ke sini? Karena saya butuh banyak ngobrol sama mas, terutama menyangkut spiritual.”

“Kemungkinan lusa, karena besok saya harus urus pembangunan pesantren pak Barnus. Pesantren itu nazarnya pak Barnus, saat saya menyembuhkannya.” jawab Matt Paten.

“Saya kan nazarnya Abah, kenapa mas gak urus?” tanya Rani.

“Itu harus melalui persetujuan kamu dulu, Abah kamu tidak punya hak. Kalau pak Barnus beda, apa yang di nazarkannya sudah sesuai dengan haknya.”

Mendengar jawaban Matt Paten, Rani hanya terdiam, dia kagum dengan jawaban Matt Paten yang sangat bijaksana. Rani semakin tertarik untuk belajar agama dengan Matt Paten.

“Kapan mas bisa ajarkan saya tentang ilmu agama, biar batin saya tidak lagi kosong.” tanya Rani.

“In Sha Allah sambil mengobati kamu, saya akan ajarkan kamu sedikit demi sedikit tentang ilmu agama.”

Matt Paten pamit pulang pada Rani, “Rani.. kalau gitu saya pamit pulang dulu ya, salam untuk Abah dan Umi kamu. Semoga kamu cepat sembuh seperti sediakala.” ucap Matt Paten.

Setelah mengucapkan salam, Matt Paten pun meninggalkan rumah Armaya. Matt Paten mengayuh sepeda ontelnya, ke arah desa tempat tinggalnya. Sambil menyusuri jalan perkampungan, Matt Paten merasa lega, karena dia sudah berhasil mengembalikan ingatan Rani tentang masa lalunya.

Secara mental Matt Paten sudah mempersiapkan diri untuk di tolak Rani, bagi Matt Paten tidak ada yang bisa memaksa kehendak terhadap Rani, kecuali Tuhan yang Maha Esa.

Sedikit pun Matt Paten tidak kecewa, kalau seandainya Rani menolak keinginan Abahnya. Hanya Rani yang berhak memilih siapa yang akan menjadi jodohnya, selain kehendak Yang Maha Kuasa.

Dia ingat apa yang di katakan Rani, saat Matt Paten mengemukakan bahwa di dijanjikan untuk di jodohkan dengan Rani, dan Rani hanya bertanya,
“Tapi, mas mencintai saya?” tanya Rani.

Matt Paten sangat gugup mendengar pertanyaan itu, karena dia tidak bisa membohongi perasaannya. Dia memang mengagumi kecantikan Rani. Sehingga, membuat dia jatuh cinta terhadap Rani, pada pandangan pertama.

Sambil mengayuh sepeda ontelnya, Matt Paten hanya bisa senyum sendiri mengenang pembicaraannya dengan Rani. Rani sangat terpancing dengan perrtanyaan-pertanyaan Matt Paten, sehingga dia membuka sesuatu yang sangat dia rahasiakan selama ini.
Bersambung

Tinggalkan Balasan