Matt Paten : “Dihadang Begal”

22. Dihadang Begal

Tidak ada yang bisa disembunyikan Rani lagi. Perasaan sukanya pada Matt Paten bukan lagi perasaan biasa. Namun, Rani tetap tidak ingin mengatakan apa yang ada di hatinya.

“Biasa aja Abah, meskipun mas Matt Paten sangat mengagumkan.” Rani tetap berusaha untuk tidak memperlihatkan seperti apa hatinya pada Matt Paten

“Kamu benar Rani, sebetulnya apa yang saya lakukan itu tidak ada yang istimewa. Hanya menjalankan amanah sebagai manusia.” Matt Paten tetap bersahaja.

“Tapi Matt, apa yang kamu lakukan itu adalah perbuatan yang mulia, dan sangat disukai Allah.”

“Alhamdullillah pak, saya hanya menjalankan apa yang di syariatkan. Itu adalah bagian dari Amar Ma’ruf Nahi Munkar, Pak.”

“Subhannallah, Matt, kamu sudah membuka pikiran saya tentang kewajiban sebagai manusia. Semoga apa yang kamu lakukan bermanfaat bagi banyak orang, Matt.”

“Maaf pak, saya mohon pamit karena saya masih mengajar ngaji di Musholla dekat rumah.”

“Baik Matt, oh ya Rani, kamu masih ada perlu dengan Matt Paten?” Armya kembali menggoda Rani

“Abaaah iih! Kalaupun Rani ada perlu dengan mas Matt Paten, Rani bisa telepon dia kok, bener kan mas?”

Rani tetap terus menyimpan perasaannya. Meskipun dia sudah jatuh hati pada Matt Paten.

“Iya Rani, dengan senang hati, saya selalu siap mendengarkan keluhan kamu.” Matt Paten katakan itu seraya beranjak keluar dari rumah Armaya.

Baru saja Matt Paten melangkah keluar dari rumah Armaya, tiba-tiba Rani memanggilnya, “Mas! Kapan bisa datang lagi ke rumah?” tanya Rani sembari menghampiri Matt Paten.

Matt Paten menghentikan langkahnya, ditatapnya wajah Rani yang penuh harap, “Kalau kamu butuh, besok mas bisa datang, Rani.”

Rani sumringah mendengar jawaban Matt Paten, “Terima kasih mas, saya tunggu kedatangan, Mas.” Mata binar Rani itu mencerminkan harapannya.

“Assalamu’alaikum, saya pamit dulu ya,”

“Wa alaikum salam, baik mas.”

Panjang tatapan Rani mengikuti kepergian Matt Paten dengan motornya. Armaya dan isterinya melihat peristiwa yang begitu membahagiakan hati mereka.

Di perjalanan pulang, hati Matt Paten berbunga-bunga. Dia merasa kalau dirinya sudah berhasil merebut hati Rani—gadis pujaan hatinya.
Rani yang baru masuk ke dalam rumah di sapa Armaya,

“Jadi, bagaimana menurut kamu tentang Matt Paten, Rani?”

Pertanyaan Armaya itu membuat Rani terkesiap dari lamunannya, dia tidak menduga kalau Armaya masih duduk di ruangan tamu.

“Ehh.. Abah, kenapa Abah ingin tahu? Kan hal yang biasa aja hubungan antara pasien dan yang mengobatinya.”

“Ya, memang biasa saja Rani, Abah senang kamu sudah bisa menerima kehadiran Matt Paten. Dia laki-laki yang baik dan bertanggung jawab.”

Rani duduk di hadapan Armaya, “Abah, Rani memang menyukai Matt Paten. Tapi, bukan berarti Rani sudah siap untuk memenuhi nazar Abah.”
***
Di tengah perjalanan pulang, tanpa di duga Matt Paten motornya dihadang sekelompok orang, “Heh!! Ki sanak!! Turun dari motormu!!” hardik salah seorang.

Ada empat orang dihadapan Matt Paten, dengan wajah yang ditutup kupluk. Matt Paten tidak tinggal diam mendengar hardikan mereka.

“Apa alasannya saya harus turun dari motor? Apa yang kalian inginkan!!? Matt Paten balik menyergah.

“Wah! Nekad juga ini bocah!!” ujar seseorang yang siap menghunus goloknya.

“Saya tidak akan turun dari motor ini, tolong biarkan saya melanjutkan perjalanan.” ucap Matt Paten dengan tetap tenang.

Salah seorang dari mereka memerintahkan untuk merampas motor Matt Paten,

“Rampas motornya!! Pancung saja bocah bandel itu!!”

Begitu mereka mendekat ke arah Matt Paten, wujud Matt Paten seketika menghilang dari pandangan mereka. Padahal, Matt Paten masih duduk di atas motornya.

“Busyet dah!! Kayak demit ajah bisa menghilang!!” ujar salah seorang yang akan mendekati Matt Paten.

“Ambil saja motornya!! Gak usah peduli di mana orangnya!!” perintah boss dari para begundal tersebut.

Namun, saat mereka akan merampas motor Matt Paten, motor tersebut terasa sangat berat. Dan tidak bisa digerakkan sama sekali.

Dengan susah payah mereka berusaha untuk merampas motor Matt Paten. Sampai kehabisan tenaga, motor itu sedikitpun tidak beranjak dari tempatnya.

Merasa belum berhasil merampas motor Matt Paten, kini keempat orang itu berusaha untuk menarik motor Matt Paten. Namun, seketika mereka terpental dan terjerembab ke tanah.

Matt Paten memperlihatkan wujudnya yang masih duduk di atas motor, dia melihat sekelilingnya. Empat orang Begundal itu terjerembab dengan tubuh yang masih kaku.

“Masih mau motor ini? Ambillah kalau kalian bisa.” Matt Paten turun dari motornya. Dihampirnya satu persatu para Begundal itu, dan dipulihkannya tubuh mereka satu persatu.

“Kalau kalian masih melakukan tindak kejahatan seperti ini, maka kalian akan berhadapan dengan saya, Matt Paten!!”
***
Rani tetap pada pendiriannya, belum bisa memenuhi nazar Armaya yang ingin menjodohkannya dengan Matt Paten.

“Abah sama Umi menghargai sikap kamu Rani. Tapi, kamu jangan menyesal kalau seandainya suatu saat Matt Paten memilih perempuan lain yang menjadi isterinya.”

DEG!

Rani sempat berpikir mendengar ucapan Armaya. Apakah dia siap menerima kenyataan seperti itu. Sementara hatinya sudah terpaut pada Matt Paten.

“Kalau itu yang menjadi ketentuan Allah, Rani tidak masalah, Bah.” ucap Rani setengah yakin

“Kamu serius? Benar-benar tidak ingin memenuhi nazar Abah?”

“In Shaa Allah, serius bah, Rani tidak ingin menerima Matt Paten karena memenuhi nazar Abah.”

“Rani, anggaplah kamu menerima Matt Paten bukan karena Abah. Tapi, karena kamu memang mencintainya.”

“Tapi bah, cinta itu tidak bisa dipaksakan seperti itu. Biarlah semua berproses secara alami. Mungkin belum sekarang saatnya.”

“Ya sudah, kalau begitu terserah kamu saja Rani. Abah dan Umi mengikuti apa yang terbaik menurut kamu.”
***
Matt Paten sudah kembali duduk di atas sadel motornya. Ke empat begundal itu masih tertatih-tatih berdiri. Mereka menatap Matt Paten penuh dendam. Meskipun mimik muka mereka sangat takut terhadap Matt Paten.

Matt Paten menghidupkan motornya, “Masih mau merampas motor ini?” tanya Matt Paten sembari menatap mereka satu persatu.

Keempat begundal itu serentak menggelengkan kepala dengan lemas. Tidak ada sepatah katapun keluar dari mulut mereka. Namun, dalam hati mereka sangat mendendam pada Matt Paten.

Matt Paten merogoh koceknya, dia mengeluarkan selembar uang seratus ribu.

“Ambillah ini sekadar untuk uang rokok kalian.”
Salah seorang dari mereka menghampiri Matt Paten untuk mengambil uang dari tangan Matt Paten,

“Terima kasih Gan, hati-hati di jalan.” pesannya.

“Kalian juga hati-hati, di daerah ini banyak demit yang sangat suka dengan lelaki sangar.” Ucap Matt Paten sembari menyunggingkan senyuman pada keempat begundal tersebut.

Baru saja Matt Paten mau beranjak, tiba-tiba ponselnya ada nada sambung masuk. Matt Paten mengambil ponselnya di saku celana, ternyata dari nomor yang tidak di kenal.

“Hallo.. Siapa ini?”

“Saya mas.. yang waktu itu berobat dengan mas. Masih ingat gak?”
Bersambung

Tinggalkan Balasan