23. Hijrah

“Ooo ya, Laras–artis terkenal itu ya? Gimana kabarnya?”

“Alhamdullillah sehat mas, saya besok mau ke rumah kalau mas berkenan. Boleh gak?” suara Laras nan merdu sedikit manja.

“Dengan senang hati, Laras, kasih kabar saja jam berapa mau datang.”
Laras menjelaskan waktunya, dan Matt Paten pun memastikan keberadaannya pada waktu yang ditentukan.

Pembicaraan keduanya pun berakhir. Sementara para Begundal sudah meninggalkan Matt Paten terlebih dahulu.

Setibanya di rumah, Matt Paten bertanya-tanya dalam hati,
“Ada apa lagi dengan Laras? Apa penyakitnya bertambah parah?”

Pagi keesokan harinya saat Matt Paten sedang mengaji sebagai kebiasaan setiap harinya, terdengar suara mobil masuk ke halaman rumahnya.

Matt Paten menghentikan sejenak bacaannya, dan mengintip dari jendela,

“Siapa ya sepagi ini datang? Tidak biasanya ada tamu sepagi ini?” gumam Matt Paten sembari beranjak membuka pintu depan rumahnya.

Terlihat dua orang wanita yang mengenakan hijab turun dari mobil Jeep Sport. Matt Paten memasatkan matanya menatap kedua wanita itu.

“Assalamu’alaikum, selamat pagi mas. Maaf saya datangnya lebih cepat dari yang sudah ditentukan.”

“Wa alaikum salam, Laras ya?” Matt Paten tidak percaya kalau yang datang adalah Laras.

“Kenapa mas? Pangling ya melihat aku pakai hijab?” Laras menghampiri Matt Paten dan menyalaminya. Saat Laras ingin mencium tangan Matt Paten, buru-buru Matt Paten menariknya.

“Subhannallah, Laras, saya benar-benar pangling. Kamu tambah cantik mengenakan pakaian seperti ini. Yuk! Masuk!” Matt Paten mengajak Laras dan temannya masuk.

Belum habis kekaguman Matt Paten pada kecantikan Laras, dia terus memuji Laras.

“Belum pernah ada perempuan cantik yang menyambangi rumah ini, Laras, baru kamu yang bersedia datang ke rumah ini.”

“Mas jangan bikin aku melambung dong, terlalu tinggi melambung jatuhnya sakit sekali.” seloroh Laras.

“Filosofi yang kamu katakan itu benar, kalau melambung terlalu tinggi ingatlah jatuhnya.” Ucap Matt Paten. “Dalam rangka apa nih kamu datang?” tanya Matt Paten lebih lanjut.

Laras menceritakan maksud kedatangannya pada Matt Paten, bahwa selepas hijrah Laras ingin tinggal di desa dan meninggalkan profesinya sebagai Artis.

“Aku ingin hidup lebih tenang mas, mungkin aku akan mendirikan sekolah untuk masyarakat di sekitar desa ini.”

“Lho? Kenapa desa ini yang menjadi pilihan kamu? Kan lebih baik kalau di desa kamu sendiri?” Matt Paten hampir tidak percaya dengan niat hati Laras.

“Dari desa inilah awalnya aku hijrah, Mas, itu semua berkat Allah mempertemukan aku dengan mas dan sudah membuka pikiran aku.”

“Subhannallah, Laras, semoga Allah melapangkan segala usaha kamu. Tapi, kamu sudah mantap dengan pilihan hijrah ini?” Matt Paten ingin tahu ketetapan hati Laras.

Laras mengernyitkan dahinya, “Mas ragu dengan ketetapan hati saya? In Shaa Allah saya tidak akan berubah pikiran mas.”

“Sedikitpun saya tidak meragukannya, Laras. Tapi, saya pernah ada pengalaman yang serupa. Itulah makanya saya ingin memastikan kamu.”

“Maksudnya pengalaman salah satu pasien mas? Bagaimana ceritanya, Mas?”

Matt Paten ceritakan pada Laras, tentang pengalaman dengan pasiennya. Salah satu pasiennya yang sudah mantap ber-hijrah, tiba-tiba berbalik arah karena tidak sanggup menerima ujian Allah.

“Kamu bisa bayangkan, Laras, sudah sedemikian mantapnya dia ber-hijrah seketika berbalik arah. Itu semua karena dia tidak memahami makna ber-hijrah tersebut.”

“In Shaa Allah, aku tidak ada keraguan lagi mas, makanya aku juga ingin mencari suami yang bisa menjadi ‘imam’ yang baik bagi diri aku.”

“Nah! Kecuali kalau kamu mendapatkan imam yang baik.”

“Makanya aku datang ke sini mas, mungkin mas bisa carikan aku imam yang baik.” Laras mengerdipkan matanya pada Matt Paten.

Matt Paten menanggapi keinginan Laras itu dengan biasa saja. “Kalau itu keinginan kamu, In Shaa Allah saya akan bantu carikan. Tapi, di desa ini mungkin tidak ada orang seperti yang kamu harapkan, Laras?”

“Lho? Kok gak ada? Mas yakin tidak ada lelaki yang pantas menjadi imam aku di desa ini?” selidik Laras.

“Soal jodoh itukan Allah yang punya hak, bisa saja kalau Allah berkehendak kamu menemukan jodoh di desa ini.”

“Itulah yang membuat saya yakin mas, karena tidak ada yang mustahil bagi Allah. Betul gak mas?” Laras menyunggingkan senyumannya.

“Alah mak, senyumannya bikin hatiku deg-degan.” bisik hati Matt Paten.

Matt Paten sepakat dengan apa yang dikatakan Laras. Dalam hatinya sangat berharap kalau Laras menemukan jodohnya di desa Banyuaji.

“Tidak ada lagi yang saya ragukan dari kamu, Laras, keimanan kamu pun sudah tidak tergoyahkan.” ucap Matt Paten.

“Alhamdullillah mas, aku memang akhir-akhir ini banyak belajar tentang ilmu tauhid. Aku harus meyakini apa yang aku imani.”

“Itu benar Laras, sia-sia kalau beriman kepada Allah tapi tidak meyakini kekuasaannya.”

“Saya dari tadi mendengarkan percakapan kalian, kok saya juga jadi tambah mantap untuk ber-hijrah.” Suci—teman Laras ikut nimbrung dan duduk di dekat Matt Paten dan Laras.

“Suci, hijrah itu pada hakikatnya lebih kepada perilaku. Memang dimulai dari cara berpakaian. Yang hijrah itu hati, dari yang tidak baik menjadi baik.”

Laras menimpali dengan penuh semangat, “Aku setuju mas, karena banyak yang hijrah hanya pakaiannya. Sementara, perilakunya tidak.”

“Saya mau ajak kalian berdua jalan di pematang sawah, kalian tertarik gak?”

“Boleh mas! Yuk! Sekarang ya?” ajak Laras.

Mereka berjalan di pematang sawah di sekitar rumah Matt Paten. Sembari berjalan, Matt Paten memasukkan Tausyiah tentang Maha Pencipta.

“Lihatlah! Para petani itu saya pekerjakan dengan cara bagi hasil, dan mereka sangat menikmati rezeki itu.”

“Ini semua sawah mas yang punya? Ada berapa hektar semua mas?”

“Kurang lebih 2 hektar, Laras, sawah ini merupakan rezeki yang dititipkan Allah agar memberikan manfaat pada orang lain.”

Laras dan Suci saling pandang saat mendengar ucapan Matt Paten. “Subhannallah, mas luar biasa sekali.” puji Laras

“Berikanlah pujian tersebut hanya pada Allah, Laras, saya hanyalah di amanahkan untuk mengelola rezekinya.”

Laras bertambah kagum pada Matt Paten, karena dia tidak menyangka kalau Matt Paten mempekerjakan penduduk di sekitar rumahnya untuk menggarap sawahnya.

Selain itu, Laras juga kagum dengan keimanan Matt Paten. Baginya Matt Paten sangat dalam pengetahuan agamanya.

“Laras, kamu mesti dapat suami seperti Matt Paten, yang bisa membimbing kamu dalam hal agama.” Suci menggoda Laras.

“Aku ini bukanlah tipikal wanita yang disukai mas Matt Paten, Ci. Aku kan belum cukup pengetahuan agamanya.”

Matt Paten yang mendengar celotehan Laras dan Suci menimpali, “Justeru malah sebaliknya Laras, saya cuma orang kampung ‘ndeso’ mana mungkin pantas menjadi pendamping Laras.”

“Kan tadi aku sudah bilang mas, tidak ada yang mustahil bagi Allah. Mas tidak sepakat dengan itu?”

“Kalau sudah menjadi ketetapan Allah, tidak ada yang bisa bantah, Laras.”

“Nah kan! Artinya sudah tidak ada masalah dong mas?” Suci semakin semangat menjodohkan Laras dengan Matt Paten.
Bersambung

Tinggalkan Balasan