Matt Paten : “Mengobati Rindu”

21. Mengobati Rindu

Matt Paten menatap wajah Rani yang menyimpan kerinduan kepadanya, dan Rani berusaha untuk menyimpan perasaan itu. Tapi, dia tidak tahu kalau Matt Paten sangat mengetahui apa yang sedang di rasakan Rani.

Matt Paten minta pada Rani untuk mengulurkan tangannya,
“Sini tangan kamu Ran.. biar kamu tidak terlalu menderita.” ujar Matt Paten.

“Emang aku menderita kenapa mas? Aku biasa-biasa aja kok?” Rani bertanya.

“Nanti kamu akan tahu apa yang kamu derita, setelah aku obati.”

Rani mengulurkan tangan kanannya pada Matt Paten, dan Matt Paten memegang tangan Rani dengan kedua tangannya. Tanpa di sadari Rani dan Matt Paten, Armaya dan isterinya mengintip mereka berdua dari jendela kamarnya.

“Bah.. lihat tuh! Matt Paten sudah mulai pegang tangan Rani!!” ucap isteri Armaya dengan gembira.

“Mana Mi? tanya Armaya seraya mendekat ke sebelah isterinya, “Wah benar Mi!! Sepertinya mereka berdua sudah mulai saling suka.” ujar Armaya.

Saat Matt Paten pegang tangan Rani, secara spontan Rani mengungkapkan apa yang dia rasakan,
“Tadi saya kok sangat rindu sama mas ya? Tapi sekarang rasanya sudah tidak seperti tadi, kok?” tanya Rani.

Matt Paten tersenyum mendengar ucapan spontan Rani, “Itulah makanya mas obati kamu, supaya kamu tidak menderita karena rindu.” ucap Matt Paten.

Rani tersipu malu mendengar apa yang di katakan Matt Paten, “Jadi? Dari tadi mas sudah tahu ya apa yang saya rasakan?” tanya Rani.

Matt Paten kembali tersenyum pada Rani, dia melepaskan tangan Rani,
“Sekarang sudah mulai enak kan perasaan kamu? Udah gak gelisah seperti tadi, kan?” Matt Paten balik bertanya.

“Saya jadi malu sama mas, gak bisa menyembunyikan perasaan saya yang sesungguhnya.”

“Hal seperti itu sangat susah disembunyikan Rani, karena akan terpancar kewajah dan gerak dan tingkah laku kamu.”

Matt Paten jelaskan pada Rani, bahwa itu ekspresi yang wajar. Masing-masing orang berbeda dalam mengekspresikannnya. Ada yang spontan memperlihatkan, ada juga hanya bisa menyembunyikannya. Dan Rani menurut Matt Paten tergolong yang cenderung menyembunyikannya.

“Meskipun saya tahu kamu menyimpan rindu sama saya. Tapi, saya tidak jadikan hal itu sebagai kebanggaan Rani, saya maklum kok.” ujar Matt Paten.

“Terima kasih mas, tapi biar bagaimana pun saya merasa malu sama mas, karena diam-diam menyimpan perasaan.” ucap Rani dengan tersipu-sipu.

“Apa yang menyebabkan tiba-tiba kamu merindukan saya Rani? Apakah karena kamu merasa dekat dengan saya? Atau karena kamu rindu dengan ucapan saya?”

Matt Paten menanyakan itu sambil menatap beningnya kedua bola mata Rani, dan Rani tidak mampu menghindar dari tatapan itu,
“Saya rindu dengan tatapan mata kamu mas, karena tatapan kamu itu sangat membuat hati saya sejuk.” jawab Rani.

“Alhamdulillah Rani.. terima kasih kalau saya mampu memberikan kesejukan di hati kamu.” ucap Matt Paten.

Matt Paten menanyakan pada Rani, apakah dia masih sering di datangi mahluk ghaib yang selama ini bersemayam di tubuhnya? Rani mengatakan pada Matt Paten, bahwa mahluk-mahluk itu tidak pernah lagi mengganggunya.

Bagi Matt Paten itu merupakan keberhasilannya dalam mengusir mahluk ghaib dari tubuh Rani,
“Syukur deh Rani, berarti ikhtiar saya selama ini tidak sia-sia. Saya ikhtiarkan dengan tirakat dan sholat malam.” ucap Matt Paten.

Hari sudah menjelang Maghrib, Matt Paten mengajak Rani untuk masuk ke rumah,
“Abah sama Umi ada di rumah Ran? Kita sholat berjamaah ya, kamu sudah mulai sholat kan?” tanya Matt Paten.

“Abah sama Umi ada mas di rumah, mungkin mereka menonton kita dari kamar.” ujar Rani sambil tersenyum menatap Matt Paten.

“Masak sih Ran? Kok kamu bisa tahu?” tanya Matt Paten.

“Soalnya Umi suka cerita, kalau mereka suka mengintip kita berdua.” jawab Rani.

“Masya Allah.. saya jadi malu sama Abah dan Umi Rani..”

Rani hanya senyum-senyum mendengar ucapan Matt Paten, sesekali dia menatap Matt Paten yang berjalan di sampingnya. Sebelum masuk ke rumah Rani, Matt Paten mengucapkan salam terlebih dahulu,
“Assalamu’alaikum..,” ucap Matt Paten.

“Wa alaikum salam warahtullahi wabarakatuh.. apa kabar Matt? Dari tadi?” tanya Armaya pura-pura baru tahu.

Matt Paten cium tangan pada Armaya dan isterinya, “Dari tadi pak.. kita ngobrol di taman tadi.” jawab Matt Paten.

Belum sempat duduk Azan Maghrib tiba. Matt Paten dan Armaya, serta Rani dan Uminya bersiap-siap untuk sholat Maghrib berjamaah. Di dalam rumah Armaya itu ada musholla kecil, di dekat ruang tamu.

Setelah semuanya mengambil wuduk, mereka pun kumpul di musholla.
Armaya mendaulat Matt Paten sebagai imam, “Matt kamu yang jadi imam ya, biar kami jadi makmumnya.” ucap Armaya.

Matt Paten mengimami Armaya sekeluarga, bacaan ayat-ayat yang di lantunkan Matt Paten sangat merdu dan Indah, sehingga mereka semakin khusuk mengikutinya.

Armaya benar-benar senang di imami oleh Matt Paten, karena bacaan ayatnya sangat pasih. Semua terbaca dengan benar dan jelas tajwidnya dibaca dengan tartil yang benar.

Selesai sholat berjamaah, mereka ngobrol di ruang tamu, dan Armaya menyinggung berbagai perubahan yang di alami Rani. Bahkan Armaya secara terang-terangan berkelakar soal Rani.

“Selama kamu ke Jakarta, Rani tidurnya tidak nyenyak Matt. Dia selalu gelisah, dan matanya panjang menatap ke halaman rumah.” kelakar Armaya.

“Iih Abah!! Apa-apaan sih, bikin malu Rani aja nih!!” tegur Rani sambil tersipu malu.

Matt Paten mendengar kelakar Armaya, menjadi Tidak enak sendiri sama Rani. Dia tidak ikut mengomentarinya, Matt Paten hanya senyum-senyum simpul.

Armaya menanyakan pengalaman Matt Paten di Jakarta, dia tidak meneruskan candaannya pada Rani,
“Gimana urusan di Jakarta Matt? Sakit apa pasiennya?” tanya Armaya.

“Katanya sih hilang ingatan ppa. Eeeh ternyata setelah saya periksa, orangnya sehat-sehat saja. Dia cuma ingin menghindari kasus hukumnya.” jawab Matt Paten.

“Terus bagaimana reaksi isterinya yang memanggil kamu ke Jakarta?” tanya Armaya lagi.

“Ya isterinya kaget, karena sudah satu tahun suaminya seperti itu.”

“Oawalah.. ada-ada saja ya, kata pak Barnus kamu sempat menggagalkan permapokan Bank? Benar itu Matt?”

“Ya pak.. itu peristiwa kebetulan saja, dan saya paling tidak bisa melihat pelaku kejahatan.” jawab Matt Paten.

“Sempat dibawa ke kantor polisi gak kamu?” tanya Armaya dengan penasaran.

“Hampir sih pak, tapi karena kami harus buru-buru, saya tolak ajakan polisinya.” jawab Matt Paten.

Saat Matt Paten cerita pada Armaya, Rani sempat curi-curi pandang ke arah Matt Paten. Dia terpesona dengan cerita Matt Paten, dia bisa membayangkan kalau Matt Paten seperti Superhero di film-film.
Armaya yang melihat situasi itu kembali berkelakar,

“Kamu terpesona ya Rani sama Cerita Matt Paten?” tanya Armaya.

Rani yang merasa kepergok oleh Abahnya jadi tersipu malu, “Abah iih!! Meratiin aku aja, kenapa sih?” tanya Rani.

“Habis.. kamu melihat Matt Paten cerita sampai melongo gitu, gimana Abah gak meratiin.” jawab Raniya.
Bersambung

Tinggalkan Balasan