20. Rasa Rindu
Rani yang sudah tidak sabar menunggu pulangnya Matt Paten terlihat sangat gelisah. Kadang dia masuk kamar, sebentar kemudian keluar lagi dan duduk di ruangan tamu.
Matanya panjang melihat ke depan pintu masuk rumahnya. Melihat hal itu Armaya menggoda Rani,
“Kenapa kamu terlihat gelisah seperti itu Rani? Kamu sudah rindu kedatangan Matt Paten ya?” goda Armaya yang melintas di hadapannya.
Rani menatap Armaya yang sedang melintas, “Iiih Abah.. apa sih? Rindu kenapa emangnya Bah?” tanya Rani.
Armaya menghentikan langkahnya dan menghampiri Rani, dia duduk di hadapan Rani,
“Iya barangkali kamu rindu sama Matt Paten. Biasanya ada teman ngobrol, sekarang dia gak ada.” ujar Armaya.
“Ahh gak juga sih Bah, Rani sih biasa aja tuh.” ucap Rani.
“Kalau pun dia pulang hari ini, paling besok baru dia mampir ke rumah kita.” Armaya masih terus menggoda Rani.
Mendengar apa yang dikatakan Armaya, Rani menatap ke arah Armaya,
“Lagian siapa juga yang menunggu kedatangan dia Bah. Rani juga tahu kalau dia gak mungkin ke rumah hari ini.”
“Tapi, kamu gak usah terlalu gelisah seperti itu, biasa saja sikapnya.” goda Armaya.
Armaya merasa kalau Rani sudah mulai membuka hatinya pada Matt Paten, tidak lagi menganggap remeh Matt Paten. Sementara, Rani merasa kalau Armaya sudah tahu apa yang sedang di rasakannya.
Barnus dan Matt Paten sudah sampai di Tanjung Berhala, dan harus meneruskan perjalanan menuju ke desa Banyuaji. Barnus mengambil mobilnya yang di parkir di Airport, dan kali ini dia minta Matt Paten yang menyupir mobilnya.
Dalam perjalanan menuju desa Banyuaji, Barnus katakan pada Matt Paten,
“Pak Armaya sangat senang kalau kamu benar-benar jadi menantunya Matt.” ujar Barnus.
“Bapak tahu dari mana? Apa pak Armaya cerita sama bapak ya?” tanya Matt Paten.
Barnus jelaskan pada Matt Paten, kalau hubungannya dengan Armaya itu sangat akrab. Jadi apa saja yang dia alami selalu diceritakan pada Barnus.
“Pak Armaya itu sangat susah merahasiakan sesuatu pada saya Matt. Apa pun selalu dia ceritakan, termasuk juga soal kamu dan Rani.” Jelas Barnus.
“Oh ya pak? Apa saja yang diceritakan pak Armaya sama Bapak?” tanya Matt Paten antusias.
“Ya banyaklah.. terutama soal kedekatan kamu dengan Rani, dia sangat berharap kalau Rani membuka hatinya untuk kamu.”
***
Di rumah Armaya, Rani sedang cerita tentang Matt Paten pada Armaya,
“Ada yang Rani suka dari mas Matt Paten Bah, dia orangnya bicara apa adanya. Ada yang salah, dia katakan salah.” jelas Rani.
“Cuma itu yang kamu suka dari dia? Dia bukan orang kaya lho? Tapi kaya dengan ilmu, benar gak?” tanya Armaya.
“Ya sayangnya dia cuma orang biasa Bah, bukanlah orang kaya. Tapi, luas pengetahuan dan kaya wawasan.” jawab Rani.
Armaya jelaskan pada Rani kalau Matt Paten itu rendah hati, dan tidak memamerkan apa yang dia punya. Rani kaget saat Armaya katakan kalau Matt Paten itu punya segalanya, hanya saja dia tidak suka memamerkannya.
“Memang Abah tahu dari mana soal itu? Dia cerita sama Abah?” tanya Rani.
“Dia gak pernah cerita sama Abah, tapi Abah tahunya dari cerita pak Barnus.” jawab Armaya
“Masak sih Bah? Rani pikir dia cuma punya sepeda onthel?” Rani sangat kaget dan tidak mengira apa yang dikatakan Armaya.
“Matt Paten itu punya rumah gedung, dengan tanah yang luas Rani. Dia juga punya motor dan mobil.” jelas Armaya.
Mendengar penjelasan Armaya, Rani jadi tidak enak sendiri, karena selama ini dia menganggap remeh terhadap Matt Paten. Namun, Armaya ingatkan Rani jangan melihat Matt Paten dari sudut itu.
“Seorang calon suami itu yang harus kamu nilai adalah akhlaknya. Bukan berarti kekayaan tidak penting.” nasehat Armaya.
***
Matt Paten dan Barnus terus bercerita soal Armaya. Matt Paten hanya senyum-senyum sambil nyetir mobil, mendengar cerita Barnus. Dia merasa sudah bisa merebut perhatian Rani.
Apa lagi kata Barnus, dia sudah cerita soal harta kekayaan Matt Paten pada Armaya. Tujuan Barnus menceritakan itu semua, agar Matt Paten tidak dianggap remeh oleh Rani.
“Pak Armaya itu hampir tidak percaya saat saya bilang kalau kamu itu juragan sawah, Matt, karena dia pikir kamu tukang pijat biasa.” jelas Barnus.
“Tapi sebetulnya, gak perlu juga mereka tahu Saya pak. Saya malah senang merahasiakan semua itu” ujar Matt Paten.
Lebih jauh Barnus menasehati Matt Paten. Menurut Barnus, orang-orang yang senang memandang orang lain secara materi, memang perlu di jelaskan seperti itu. Supaya mereka tidak merasa kaya sendiri.
Tapi, apa yang dikatakan Barnus itu bertentangan dengan prinsip hidup Matt Paten. Bagi Matt Paten, dia tidak peduli jika di remehkan orang lain. Dia lebih senang kalau Tuhan yang akan membuka mata orang yang meremehkan dirinya.
“Pak Barnus, saya tidak terlalu peduli anggapan orang, yang saya takutkan anggapan Tuhan terhadap saya. Biarlah saya hina di mata manusia, asal mulia di mata Tuhan.” itulah yang di katakan Matt Paten pada Barnus.
Matt Paten ingin orang mengenalnya secara apa adanya. Tidak ingin meninggikan diri dalam kenyataan hidup yang rendah, dan juga tetap tidak ingin meninggikan diri meskipun kenyataan hidupnya memang tinggi.
Matt Paten dan Barnus sampai di rumah masing-masing pukul 5 sore. Setelah istirahat sejenak di rumah, Matt Paten mengambil motornya dan menghidupkan mesinnya. Kali ini dia sengaja naik motor ke rumah Armaya tidak lagi menggunakan sepeda ontel, karena hari sudah sore.
Di rumah Armaya, Rani yang hatinya gundah gulana menikmati suasana sore hari di halaman rumah. Duduk sendiri di taman, seakan-akan menanti kekasihnya datang.
Penantian Rani tidak sia-sia, di kejauhan dia melihat Matt Paten datang dengan mengendarai sepeda motor. Apa yang dikatakan Armaya benar, bahwa Matt Paten bukan cuma sepeda ontel.
Begitu Matt Paten melihat Rani ada di taman rumah, dia langsung menghampiri Rani,
“Assalamu’alaikum.. lagi apa Rani?” sapa Matt Paten. Matt Paten mematikan mesin motor, dan turun dari motornya menghampiri Rani.
“Wa alaikum salam mas.. lagi menikmati suasana sore nan sejuk mas.” jawab Rani sambil menghampiri Matt Paten.
“Abah sama Umi apa kabar Rani?”
“Alhamdulillah baik mas.. gimana sembuh pasiennya?” Rani balik bertanya.
Matt Paten tersenyum mendengar pertanyaan Rani, “Ternyata pasiennya pura-pura hilang ingatan, untuk menghindari kasus hukum Rani.” jawab Matt Paten.
“Oh ya? Kok sampai segitunya ya mas?”
“Cerdiknya orang kota itu berbeda dengan cerdiknya orang kampung Rani, mereka tidak lagi takut sama Tuhan.” jawab Matt Paten.
“Maksudnya gimana mas?” tanya Rani.
“Selama satu tahun dia pura-pura sakit hilang ingatan, dan dia sudah bikin susah banyak orang. Anehnya, isterinya gak pernah tahu kalau dia pura-pura sakit.” jelas Matt Paten.
Bersambung