KEKOSONGAN BATIN
Kesempatan kali ini saya ingin berbagi tentang suatu pengalaman yang berkaitan dengan “kekosongan batin”, yang sangat terkait dengan mental dan spiritual. Kekosongan batin itu tersebab oleh tidak adanya spiritualitas di dalam diri. Bahkan bisa dikatakan jauh dari hal-hal spiritualitas.
Ini pengalaman ketika saya baru mulai kuliah, sekitar tahun 1980. Ada satu kejadian yang membuat saya begitu cemas, sehingga mengakibatkan gangguan secara psikis, stress, demam, dan depresi.
Peristiwanya begini, saat itu saya dan bapak saya pulang dari Garut naik angkutan umum menuju ke Bandung. Saya dan bapak saya duduk di depan di samping supir. Bapak saya duduk dipinggir dekat pintu, sementara saya disamping supir.
Di tengah perjalanan, supir angkutan tersebut ribut dengan supir mobil pikap yang membawa beberapa orang kuli pacul di bak belakang. Entah tersebab apa sehingga akhirnya kuli-kuli pacul yang ada di bak belakang ikut emosi, sehingga secara beramai-ramai memukul mobil yang kami tumpangi.
Saya yang ada disamping supir sangat cemas menyaksikan keadaan itu, karena mobil dikendarai dengan kecepatan tinggi. Sementara supirnya tenang-tenang saja, begitu juga dengan bapak saya. Saya minta pada supir agar menghentikan kendaraan, karena penumpang dibangku belakang juga sudah mulai panik.
Saya berharap bapak saya pun mau meminta supir menghentikan mobilnya, namun bapak saya tenang-tenang saja. Padahal mobil pikap tersebut terus merangsek kearah mobil yang kami tumpangi, sehingga mobil sampai oleng. Saya semakin panik, tapi bapak saya tetap saja tenang tak bersuara.
Akhirnya supir menghentikan mobilnya dipinggir jalan yang tidak begitu ramai, kami pun buru-buru turun dan mencari tempat berlindung. Begitu juga semua penumpang yang lainnya. Saya tidak peduli lagi apa yang terjadi dengan mobil yang kami tumpangi.
Bapak saya mengajak saya keluar dari persembunyian, dan menuju ke angkutan umum yang lainnya. Singkat cerita kami sampai di terminal kebun kelapa, dan melanjutkan perjalanan ke Cimahi. Sampai di rumah saya sangat stress, sehingga jatuh sakit. Badan saya panas tinggi, pikiran saya masih mencemaskan apa yang baru dialami.
Dalam keadaan sakit bapak saya bilang, “batin kamu kosong, sehingga kamu mudah jatuh sakit.” Saya belum faham apa maksud dari perkataan bapak saya. Beliau terus menceramahi saya, dia merasa saya tidak mematuhi apa yang sudah dipesankan saat ingin merantau ke Jakarta.
Dua hari sakit, begitu sembuh beliau kembali mengulangi ucapannya, “kekosongan batin itu membuat kamu mudah cemas, karena kamu tidak punya pegangan apa-apa, bahkan mungkin kamu tidak mengenal Tuhan.”
Akhirnya saya bertanya pada bapak saya, “apa yang harus saya lakukan agar batin saya tidak kosong?”
“Nantilah setelah pulang ke Jakarta bapak akan kasih amalan yang harus kamu lakukan serial habits sholat fardhu.” Jawab bapak saya.
Saya melihat kekecewaan diraut wajah bapak saya, diluar dugaannya ternyata saya masih sangat kosong secara batin. Saat saya sudah betul-betul dianggapnya sembuh, kami pulang ke Jakarta. Di Asrama Mahasiswa Jambi di Jakarta, bapak saya menggembleng spiritualitas saya. Berbagai amalan yang harus saya lakukan dibawah pengawasannya.
Berbagai amalan dzikir harus saya lakukan secara terus menerus. Bahkan berbagai wirid pun harus saya laksanakan. Setelah bapake saya pulang ke Jambi, beliau tidak pernah lease mengawasi saya. Saat itu komunikasi masih via surat menyurat, dalam setiap surat yang dikirim pun tidak terlepas diselipkan amalan-amalan yang harus saya lakukan.
Dari bulan ketahun berganti, beliau terus memantau perkembangan batin saya. Sering kami mendiskusikan perkembangan tersebut, sehingga beliau baru merasa yakin setelah diujinya perkembangan pikiran saya, dan juga perubahan pola pikir saya.
Amalan-amalan yang dititipkan beliau itu sampai sekarang terus saya amalkan. Alhamdulillah, hikmah yang saya dapat dari kejadian dalam perjalanan dari Garut ke Bandung membuat saya tahu, kenapa bapak saya begitu tenang. Beliau sangat sadar kalau kejadian tersebut tidak terlepas dari pantauan Yang Maha Kuasa, bagi bapak saya itu adalah bagian dari ujian kesabaran.
Bagi beliau, tidak ada yang bisa menghindar kalau memang itu harus terjadi. Sebaliknya juga, kalau Allah tidak menghendaki itu terjadi tidak akan terjadi. Jadi keyakinan seperti itulah yang membuat beliau tenang menghadapi berbagai cobaan hidup. Yang lebih parah dari itu sudah pernah beliau hadapi.
Di masa revolusi yang dihadapinya lebih dari itu, setiap saat harus bertaruh nyawa, tapi berkat kekuatan batin, dan keyakinan yang dimilikinya, semua bisa dihadapinya dengan tenang. Yang saya tangkap dari perjalanan spiritual beliau, keyakinan terhadapa kekuasaan dan kekuatan Yang Maha Berkuasa atas manusia, akan meneguhkan keimanan. Adanya keimanan lah yang membuat orang siap menghadapi berbagai cobaan.
Bagi beliau dengan bermakrifat kepada Allah akan menenangkan batin dan pikiran. Keyakinan seperti itulah yang saya pegang teguh sampai saat ini, saya sangat meyakini bahwa apa pun yang terjadi dimuka bumi ini tidak terlepas dari campur tangan Allah. Bagaimana kesiapan batin kita menghadapi berbagai cobaan tersebut, sangat menentukan lolos tidaknya kita dari berbagai cobaan.
Ajinatha
“… saya sangat meyakini bahwa apa pun yang terjadi dimuka bumi ini tidak terlepas dari campur tangan Allah.”
Berarti batin Pak Aji udah gak kosong
Tapi gimana tuh pak banyak yang berteriak atas nama agama tidak mengakui presiden yang sudah terpilih secara sah?
Salam sehat
Hehehehe..setidaknya sadar menghadapi situasi apa pun..yang seperti itu kalau kata taufik ismail.. Beriman tapi tidak meyakini.. Hehehehe
luar biasa cara ayah mendidik pak ajhi.sebuah didikan keras untuk mempertajam tauhid.sehingga keyakinan ttg sesuatu yg terjadi pada manusia,semua sdh di tanganNya.mantap
Alhamdulillah mbak.. Ayah saya memang lebih fokus mendidik ketauhidan dan akhlak sebagai landasan, karena menurut beliau itu hal yang paling mendasar.. Terima kasih mbak Nur..