Aku Tidak Terlibat

Coretan Tanpa Bekas

Aku Tidak Terlibat

Oleh: Arfianto Wisnugroho

 

Bercengkerama dengan teman sekantor merupakan kegiatan yang menyenangkan. Kita akan tahu lebih banyak informasi seputar situasi dan kondisi yang sedang hangat. Mungkin tentang si A yang tidak jadi menikah karena calon pengantin tiba-tiba lari dengan mantan pacarnya. Si B yang sedang senang karena dapat arisan. Si C yang sedang tidak akur dengan si D karena utang-piutang. Atau si D yang lagi sedih karena motornya diambil debt collector karena nunggak membayar cicilan. Pokoknya keseruan seperti itu mampu memuaskan nafsu ngibul bagi orang-orang tertentu yang kerja kantoran. Kalau lagi beruntung, mereka akan mendapat jackpot, yaitu tentang pimpinan galak yang ketahuan selingkuh. “Ups..keceplosan..!” Ucap seorang wanita paruh baya dalam suatu kerumunan, sebut saja “Tim ngerumpi.” Tim itu sangat solid sebagai sebuah kelompok yang akan mengkomunikasikan berita-berita terkini seputar gossip. Apapun itu, pembicaraan Tim Ngerumpi (TN) akan mengulas segala berita di lingkungan sekitar mereka tanpa peduli apapun.

Kebetulan waktu itu mas Nyentrik berada di dekat mereka biasa rapat. Eh pertemuan rutin, meski pertemuan waktu juga tidak pasti kecuali tempat. Sebuah kedai kecil pinggir jalan utama menuju kota. Kedai yang menyediakan berbagai minuman segar bagi pengunjungnya. Tentu saja mas Nyentrik juga sering kesana sehingga akan sering melihat TN tanpa sengaja. Kebetulan cuaca hari itu mendukung mas Nyentrik berlama-lama duduk di sebuah kursi tua. Kursi itu berlapis pernis dengan ukiran bermotif dedaunan. Meski demikian, kursi tersebut terlihat cukup mahal. Duduk santai di kursi itu membuat mas Nyentrik sedikit terlelap. Tiba-tiba terdengar salah satu anggota TN berbicara dengan nada tinggi yang membuat mas Nyentrik tersentak.

“Haaaa…! Yang benar saja..!” Teriak salah satu wanita bertubuh gempal dengan berbagai aksesoris di tangan dan bajunya.

“Eh…. Mau bukti.. mau bukti…!” Balas wanita ramping dengan pakaian yang begitu mencolok.

Dalam beberapa menit mas Nyentrik sudah mengantongi informasi tentang orang yang juga ia kenal. Sebut saja namanya Nur, nama panggilan. Sepanjang yang mas Nyentrik kenal, Nur adalah orang baik, ceria, low profile, dan ramah. Ia sering mengajak mas Nyentrik bercerita seputar kehidupannya. Namun selama ini tidak pernah mas Nyentrik mengetahui hal yang ia dengar baru saja. Orang seperti Nur ternyata memiliki berbagai permasalahan. Dari anggota TN, Nur dikabarkan tidak memiliki uang sama sekali saat diajak makan diluar. Bahkan untuk membeli minuman seharga Rp 5.000,- saja tidak bisa. Tidak sampai disitu, terkadang Nur juga numpang teman saat berangkat ke kantor lantaran tidak punya uang untuk membeli bahan bakar kendaraan.

Selama ini Nur mengandalkan gajinya sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk mencukupi berbagai kebutuhan bulanannya. Meski pangkat dan golongan Nur masih rendah, jumlah gajinya lumayan besar. Hal itu dikarenakan Nur memiliki masa kerja yang cukup lama yakni 14 tahun. Jika dilihat dari jumlahnya, gaji tersebut seharusnya cukup untuk memenuhi kebutuhannya. Bahkan dapat membantu  keluarga orang tuanya. Namun apa yang terjadi, Nur ternyata kesulitan untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Sungguh terdengar sangat bertolak belakang dari yang mas Nyentrik ketahui selama ini.

“Wah informasi TN begitu memukau.” Batin mas Nyentrik sembari melirik mereka.

Usut punya usut, ternyata Nur jarang mendapatkan uang bulanan dari suami. Nur ternyata juga mempunyai permasalahan dengan suami, yang TN tidak menjelaskannya secara rinci. Selain itu, permasalahan yang lebih krusial adalah Nur memiliki hutang Bank. Mungkin bagi ASN, hutang di Bank adalah hal yang biasa. Tapi beda dengan kasus Nur, ia menggunakan uang dari Bank untuk membeli sebuah mobil.

“Wowowoi…, punya mobil tapi rumah masih ngontrak…!” Celetuk salah satu anggota TN.

Seketika “Mak Deg..!” hati mas Nyentrik terasa berdesir. Ternyata selama ini Nur memiliki banyak permasalahan. Nur bukan orang pertama dengan permasalahan sedemikian rupa yang mas Nyentrik kenal. Sebelumnya ada beberapa kenalan mas Nyentrik yang memiliki permasalahan hampir sama dengan Nur. Lagi-lagi mas Nyentrik tertegun, memikirkan apa yang menjadi penyebab seorang ASN memiliki kehidupan yang demikian. Apakah karena gaya hidup? Keadaan? Atau memang itu sudah menjadi takdir? Tentu banyak hal yang saling terkait yang salah satunya adalah hutang di Bank.

“Tapi hutang itu karena untuk memenuhi kebutuhan bukan? Eh, kan kebutuhannya karena gaya hidup yang bersangkutan? Tapi bisa juga karena tekanan lain-lain.” Batin mas Nyentrik sambil berusaha memikirkannya.

Namanya juga mas Nyentrik, selalu membuat otaknya berkelana. Seberapa keras mas Nyentrik berpikir, menurutnya semua permasalahan bermula dari pribadi yang bersangkutan. Tapi satu hal yang menjadi catatan mas Nyentrik, seharusnya ada ketentuan tertulis terkait boleh atau tidaknya seorang ASN berhutang. Apakah ada batasan tertentu? Apakah ada pengawasan dari pihak tertentu? Mungkin aturan itu ada, tetapi jika pelaksanaanya tidak ketat, permasalahan akan tetap terjadi. Kemungkinan ASN berhutang di atas kemampuannya membayar akan terus berulang. Ditambah gaya hidup yang berlebihan terkadang menjadi beban tersendiri dan merangsang seseorang harus memenuhinya. Pada titik ini terkadang seseorang hanya mengikuti tren di masyarakat.

Apapun yang dipikirkan mas Nyentrik, semua hanya pendapat pribadinya. “Memangnya apa ada yang mendengarkanku? Apa juga peduliku?” Ucap Mas Nyentrik sambil garuk-garuk kepala seraya senyum-senyum sendiri, sadar bahwa dirinya tidak berhubungan dengan itu semua.  Dalam riuhnya suara TN mas Nyentrik berteriak “Apakah kehidupan harus seperti itu……?” (Tetapi dalam hati).

 

Tinggalkan Balasan

2 komentar