HADIAH MESIN KETIK DARI AYAH
oleh : Sri Sugiastuti
“Ayah mengajarkan tentang pengorbanan, Ibu mengajarkan tentang ketulusan.”
Kutipan di atas sangat mewakili hati saya saat berkisah tentang ayah. Maklum sosok ayah kadang ada dan tiada dalam perjalanan hidup saya, hingga beliau meninggal dunia 13 tahun lalu.
Ketika memasuki golden ages, tentu saja daya ingat saya dibantu oleh cerita tante saya yang momong saya saat masih kecil. Ayah saya seorang pegawai yang sangat disiplin dan memiliki jiwa sosial yang luar biasa.
Saat saya berusia 5 tahun, politik telah memisahkan saya hingga saya berusia 17 tahun. Bunda lah
yang menggantikan peran ayah, saat ayah tidak ada di samping anak-anaknya. Hubungan kami terlanjur canggung dan kaku.
Saya tumbuh dewasa dan tetap menghormati dan bangga dengan sikap yang diambil ayah sebagai kepala keluarga. Memang pada akhirnya, baik Ayah atau Bunda menjalani takdirnya masing- masing dengan perceraian dan melanjutkan kehidupannya dengan jodoh mereka masing- masing hingga maut memisahkan mereka.
Saya merasa menjadi orang yang paling bahagia saat menyadari bahwa saya memiliki 3 orang ibu dan 2 orang ayah. Punya dua saudara kandung, 5 saudara tiri dari ayah yang menikahi Bunda, dan 2 saudara tiri dari ibu yang dinikahi ayah kandung saya.
Peristiwa demi peristiwa terekam di benak saya. Bagimana proses perceraian itu terjadi dan bagaimana pernikahan ke dua Bunda, juga bagaimana pernikahan kedua ayah. Saya harus belajar dewasa secara prematur. Berusaha memahami kondisi yang ada dengan berbagai alasan yang melatarbelakanginya.
Sosok Bunda yang dominan dan agak otoriter karena keadaan sangat saya pahami. Bunda yang bertekad agar ketiga anaknya sukses harus berjuang secara moral dan material. Apa yang sudah dilakukan Bunda sangat diapresiasi oleh ayah. Karena ayah menyadari kalau ia bukan ayah sempurna yang bisa mengawal anak- anak meraih kesuksesan.
Bunda yang lebih dulu menikah agar dirinya dan anak- anaknya punya ayah baru dan status Bunda jelas sebagai seorang istri dan seorang ibu. Bukan seorang janda yang kerap dicemooh dan dilecehkan. Menurut Bunda menyandang status janda itu sangat berat. Keadaan lah yang memisahkan kami dengan ayah. Sampai pada ayah pun harus mencari pendamping untuk meneruskan hidupnya.
Anak-anak yang sudah beranjak dewasa hanya bisa memberi restu kepada ayah dan calon istrinya. Karena kami sebagai anaknya tidak punya hak untuk melarang. Kami sedang berjuang untuk masa depan dan keluarga baru kami. Alhamdulillah ayah diberi amanah satu perempuan dan satu laki- laki. Istrinya pun dapat menerima ayah dengan plus minusnya.
Ada 3 keluarga dari 3 ibu dengan harta berupa anak- anak yang tumbuh dewasa dan hormat kepada orang tuanya. Saat paling indah ketika lebaran tiba. Budaya kumpul dan saling silahturahmi menjadi momen penting. Kami saling bermaafan dan mengadakan kunjungan balasan. Kadang dilengkapi dengan kegiatan saling berbagi.
Seiring berjalannya waktu, orang-orang yang saya cintai jatuh sakit akibat usia tua dan akhirnya meninggal. Ayah di urutan ke 4 dari 5 orang tua yang kami cintai pergi menghadap Allah. Penyakit tua dan stroke sebagai perantara kepergiannya.
Kepergian ayah pertama saat saya berusia 5 tahun dan posisi yang digantikan oleh bunda sepenuhnya. Memang ada sosok ayah tiri yang digunakan sebagai simbol dari satu keluarga yang utuh. Bunda yang mencukupi kebutuhan 3 anaknya. Lalu ayah muncul saat saya berusia 17 tahun. Saya paham dan mengerti apa yang telah terjadi. Saya sedih karena tidak bisa dekat dengan ayah. Saya merasakan ada jarak yang membatasi. Saya melihat rasa kecewa dan kesedihan di mata ayah.
Kadang saya menangis setelah berjumpa dengan ayah. Ingin menumpahkan semua rasa rindu yang selama ini terpendam. Ayah berusaha menyenangkan hati saya dengan memberikan saya sebuah mesin ketik merek Brother yang saya dambakan. Maklum waktu itu saya sedang persiapan tugas akhir dan juga membuat skripsi. Selama ini tidak ada bentuk materi lain yang ayah berikan. Saya paham keadaan ekonomi ayah sangat minim. Ia hidup hanya dari belas kasih saudara- saudara dan teman- teman dekatnya.
Ayah mulai bekerja yang agak mapan setelah ia menikah lagi. Tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga membuatnya semangat dan rezeki pun datang dari banyak pintu. Tahun berganti sampai akhirnya kami anak-anaknya memiliki keluarga.
Bunda merasa lega saat 3 anak- anaknya memiliki keluarga. Saya sebagai guru, adik saya yang nomor dua menjadi dokter umum di RSUD di Jakarta dan adik saya yang Bungsu seorang sarjana Pertanian yang sukses dengan usaha tanaman hiasnya.
Bukan kebetulan juga di hari tua bunda bisa beribadah haji bersama dua anak perempuannya. Saya dan adik. Sedangkan adik saya yang laki- laki berhaji di tahun berikut. Sebenarnya ayah juga punya kesempatan menunaikan ibadah ibadah ibadah haji, sayang waktu itu ia menolak, dengan alasan belum siap. Alhamdulillah selang 2 tahun, ayah bisa melaksanakan ibadah umrah, bersama mantu kesayangannya.
Dua tahun setelah menjalankan ibadah umrah ayah terserang stroke. Karena saya tinggal di Solo jadi tidak bisa full merawatnya. Saya terharu saat ayah berbaring tak berdaya dengan selimut kain ikhram yang dipakai saat umrah. Sejak itu saya tidak pernah berjumpa lagi. Karena saat ayah meninggal saya tidak bisa memberikan penghormatan yang terakhir.
Saya hanya bisa memeluk ayah dengan doa. Dia ayah kandung saya yang hanya sekilas mengisi relung hati saya. Tetapi doa yang kupanjatkan tetap sama dengan doa yang kumohon untuk bundaku.
Tanpa pasangan ayah dan bunda tak mungkin saya ada di dunia.
Mesin ketik hadiah dari ayah merupakan simbol bila ayah ingin anaknya ada yang menjadi penulis.
Terima kasih ayah. Insyaallah kita berjumpa di jannah-Nya