KMAC. 02 Aku dan Masa Kecilku

Pendidikan, YPTD58 Dilihat

KMAC. 02  Aku dan Masa Kecilku
Penulis : Theresia Martini, S.Ag., M.M

Menjadi guru, memang merupakan salah satu  dari sekian banyak harapan dan cita-citaku sewaktu kecil. Karena selain menjadi guru, aku juga berharap menjadi seorang ahli gizi, kemudian juga menjadi seorang penyuluh di tengah masyarakat, lalu juga menjadi seorang polisi yang penuh wibawa, dan juga sempat terbersit menjadi pemilik resto terbesar dan tersukses dan masih banyak lagi cita-cita lainnya yang kuimpikan saat aku masih duduk di kelas 2 Sekolah Dasar (SD).

Namun sayang, dari semua cita-citaku yang begitu banyak dan luar biasa indah, hanya satu saja yang memungkinkan untuk kupilih kuraih dan kukejar, setelah mendengarkan nasihat ibuku yang mengatakan, “Thres, Ibu sangat kagum dan bahagia mendengar cita-cita besarmu saat dewasa nanti, semoga Tuhan mendengar dan mengabulkan semua mimpimu itu ya nak. Namun, satu hal perlu kamu sadari bahwa, Bapak dan Ibu tak memiliki banyak uang untuk membiayai sekolah yang sesuai dengan cita-citamu itu. Alangkah baiknya, jika kamu memilih satu diantaranya, sekiranya begitu tamat sekolah, kamu bisa langsung bekerja, dan nanti uang dari gajimu itu dapat dipakai untuk melanjutkan sekolah kembali.” demikian pesan yang masih terngiang di telingaku, terdengar begitu lembut keluar dari mulut ibuku.

Saat ibuku berkata-kata demikian,  sungguh, aku merasakan seperti sayatan yang begitu perih dari sebilah silet yang mengiris sepotong hati, dari seorang anak yang memiliki mimpi setinggi bintang berkelip indah di langit. Sayatan yang sangat menyakitkan dan membuatku terluka, karena menyaksikan kenyataan yang hadir di depan mataku dan keluargaku, yang terjepit masalah ekonomi yang begitu sulit pada saat itu.

Aku tak sanggup untuk menahan tangis, ketika aku  mendengarkan nasehat ibuku itu. Aku merasakan, bagaimana kepedihan hati ibuku yang terpaksa mengatakan dan mengungkapkan dengan jujur kepadaku tentang keadaan ekonomi keluarga, yang tidak mungkin dapat mendukung cita-citaku itu. Sambil membelai kepalaku, ibuku meminta maaf, jika tidak dapat berbuat banyak untuk memenuhi semua cita-citaku itu.

Saat aku menuliskan, semua kisah masa laluku yang begitu menderita karena didera kemiskinan yang tak dapat ditolak oleh keluargaku, tanpa kusadari dan kuharapkan kehadirannya, airmataku mengalir begitu deras, tak terbendung lagi, persis seperti kran bak mandi yang baru saja dibuka oleh si pemiliknya. Semua kejadian masih terekam dengan sangat baik di memoriku saat ini.

Keadaan ekonomi keluargaku, seakan menjadi scangkir kopi kenangan yang begitu pahit, namun mau tidak mau seteguk demi seteguk harus kami minum dan habiskan hingga tak bersisa. Semua kepahitan kisah masa kecilku, seakan menjadi pemecut jiwa dan semangatku, untuk keluar dari penderitaan yang seakan tak ada habisnya saat itu.

Kemiskinan yang dialami oleh kedua orangtuaku, tidak membuatku marah dan benci kepada ketidakmampuan mereka. Karena aku saat itu berfikirm bahwa merekapun tidak menginginkan situasi tersebut. Hal ini, yang memaksaku untuk berontak dan keluar dari kepahitan hidup yang disebabkan karena kemiskinan.

Irisan kepedihan yang telah ditorehkan di sepotong hatiku saat itu, semakin membulatkan tekadku bahwa, “Aku harus membuat kedua orangtua tersenyum kembali, aku takingin melihat airmata mereka terus mengalir, karena kebingungan dari hari ke hari, sekadar untuk menghaadirkan sepiring nasi di atas meja bagi kami ber-enam.”

Hingga, pada suatu malam, saat itu dikeremangan sinar lentara, kami berbaring bersama di atas tikar yang terbuat dari pandan, di sepetak ruangan yang berukuran 3X6 meter persegi, mulut kecilku berceloteh dan bercerita mengatakan kepada kedua orangtuaku dan ketiga saudaraku, bahwa, “Nanti setelah aku menyelesaikan Sekolah Menengah Pertama (SMP), aku mau melanjutkan ke sekolah guru saja, ya Pak, Bu?” sambil mengangkat kakiku tinggi-tinggi beserta pantat kecilku, sambil berbaring. “Lho, memangnya kamu mau jadi guru, ya nak?” tanya bapakku saat itu. “Ya, betul Paak, aku ingin jadi guru saja, biar segera dapat uang, untuk bantu ibu beli sayur dan beras, biar ibu takperlu bersedih karena bingung takpunya uang untuk belanja,” jawabku dengan polos.

Begitu lancarnya, aku bercerita, tentang mimpiku dari gaji yang akan keterima nantinya, yang sebagian akan kutabung untuk membeli sebuah sepeda berwarna ungu sebagai warna favoritku saat itu. Akhh, ternyata kepolosanku itu, kembali menghadirkan mutiara bening di punggung pipi ibuku, yang tanpa sengaja kumelihat ibuku menyekanya, meski dalam temaram cahaya ublik yang menerangi. Aku segera bangun dari sikapku yang sedang berbaring dan mendekati ibuku, kucium pipinya yang lembab karena baru saju tersapu oleh airmata kepedihan hidup yang dilaminya. Aku dipeluk erat sambil bergoyang kiri kanan dalam pelukan ibuku, dan akupun berbisik meminta maaf kepada ibuku, “Bu, maafin aku yah, udah buat ibu menangis kembali.” Ibuku tersenyum pahit, dan kembali memeluk tubuh kecilku yang hitam legam, karena terbakar mentari setiap hari, dimana aku harus berjalan kaki menempuh jarak puluhan kilo meter dari rumah ke sekolah.

Perjuanganku untuk mendapatkan keringanan biaya studi, terus kuupayakan tanpa lelah. Berbagai prestasi belajar sejak kecil telah kuraih, hanya sekadar untuk mendapatkan keringanan biaya sekolah. Aku tak pernah peduli dengan ejekan sahabat kecilku yang memiliki kesempatan lebih baik dari diriku, karena terlahir sebagai anak dari keluarga yang berkecukupan. Aku tak mau mundur selangkahpun, walau aku terlahir sebagai anak seorang pegawai negeri rendahan, dimana gaji bapakku kala itu tak cukup untuk makan selama sebulan.

Kepahitan demi kepahitan, terus mengukir, membentuk relief kenangan dan cerminan kehidupan bagiku dimasa-masa pertumbuhan sebagai seorang anak perempuan, yang takpernah mengenal rasa takut saat harus berjuang sendirian, di usia 15 tahun. Walau harus merantau dan pergi meninggalkan keluargaku tercinta di usia yang masih sangat relatif muda, demi mengejar masa depanku gemilang.

Kepahitan hidup itu telah menghantarkanku pada manisnya masa depan yang telah kunikmati saat ini. Kepahitan hidup telah  membentuk diriku, menjadi pribadi yang terus berjuang, meski terkadang harus tertatih, karena kejamnya pedang kehidupan, dan terus dimuntahkan melalui peluru waktu yang terus bergulir tanpa bisa diajak kopromi. Seakan tiada rasa lelah, aku terus menggali kemampuan demi meningkatan kredibilitas diri sebagai paket perjuangan hidup yang masih terus berjalan dan terbungkus indah dalam satu profesi mulia sebagai “GURU”  yang kutekuni saat ini.

Lalu pertanyaan reflektifku, “Guru seperti apakah, yang kutekuni saat ini? Apakah guru yang hanya memenuhi sekadar kewajiban harian? Ataukah guru yang terbuka terhadap setiap perkembangan? Ataukah guru yang menerima status sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa?”

Semoga pada kesempatanku menulis di Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan (YPTD) pada event Karena Menulis Aku Ceria (KMAC) hari ke-2 yang akan  kuikuti selama 40 hari ke depan, semakin menjembatani refleksi pribadiku untuk “Menguak Rahasia Menjadi Guru Hebat” walau tanpa status sebagai Guru Penggerak yang sedang trendy saat ini.

 

Pangkalpinang, 12 Februari 2023

 

 

 

 

 

 

Tinggalkan Balasan

16 komentar