Peran Masyarakat Dalam Pelestarian dan Perubahan Undang-Undang

(Dok: depositphotos.com)

Pada masa Orde Baru, seluruh masyarakat terutama masyarakat terdidik dituntut menyatakan tekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen berdasarkan Pancasila. Masyarakat terdidik pada level yang tertinggi adalah mahasiswa yang juga adalah generasi muda, dituntut tanggung jawabnya dalam meneruskan perjuangan bangsa mencapai tujuan negara yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat.

Lembaga tertinggi negara (pada saat itu) telah mempercayakan penjagaan pelestarian UUD 1945 kepada rakyat Indonesia. Undang-Undang Dasar 1945 adalah perundang-undangan tertinggi Negara Republik Indonesia yang disyahkan pada tanggal 18 Agustus 1945 oleh PPKI sebagai pendiri negara Republik Indonesia yang pada masa reformasi ini banyak mengalami tantangan.

Dalam gerak pelaksanaan UUD 1945 terdapat pasang surut yang kita lihat kenyataannya mempengaruhi derap pembangunan dari segala aspek permasalahannya. Dalam sejarah ketatanegaraan RI UUD 1945 berlaku sebagai UUD Negara kesatuan dari tanggal 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949, setelah terbentuk negara serikat dengan konstitusi RIS yang didalamnya juga memuat Pancasila. 17 Agustus 1950 RIS dibubarkan, dibentuk negara kesatuan yang berdasarkan UUDRI 1950, Pancasila masih seperti pada konstitusi RIS (liberal).

Tanggal 5 Juli 1959 dikeluarkan Dekrit Presiden dan kembali ke UUD 1945 yang berlaku bagi seluruh Negara Kesatuan RI (NKRI) dari Sabang (yang pernah bergolak tapi sudah reda) sampai Merauke (yang masih bergolak karena tidak diantisipasi secara akurat). Ternyata dengan kembalinya pada UUD 1945, tercipta kestabilan politik dan keamanan negara yang menjadi pokok lancarnya pembangunan.

TAP MPR XX/MPRS/1966 yang diperkuat oleh TAP V/MPR/1973 dan TAP IX/MPR/1978 serta TAP III/MPR/1983 yang menyatakan bahwa : Pembukaan UUD 1945 tidak dapat dirubah sekalipun oleh MPR hasil PEMILU, karena merubah pembukaan UUD 1945 berarti membubarkan negara yang telah diproklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.

Silang Pendapat Berkaitan Dengan UUD 1945

Undang-Undang Dasar 1945 berlaku di Indonesia dalam dua kurun waktu, yaitu yang pertama sejak ditetapkannya oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, yang berdasarkan Peraturan Pemerintah No.2 Tanggal 10 Oktober 1945 diberlakukan surut mulai tanggal 17 Agustus 1945, sampai dengan mulai berlakunya Konstitusi RIS pada saat pengakuan kedaulatan pada tanggal 27 Desember 1949.

Yang kedua adalah dalam kurun waktu sejak diumumkannya Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 hingga sekarang, dan ini terbagi pula atas masa Orde Lama, Orde Baru dan Masa Reformasi.

Kurun Waktu 1945-1949

Dalam kurun waktu 1945-1949, jelas Undang-Undang Dasar 1945 tidak dapat dilaksanakan dengan baik, karena kita memang sedang dalam masa pancaroba, dalam usaha membela dan mempertahankan kemerdekaan yang baru saja kita proklamasikan. Sistem pemerintahan dan kelembagaan yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945 jelas belum dapat dilaksanakan dengan baik. Dalam kurun waktu ini sempat diangkat Anggota DPA Sementara, sedangkan MPR dan DPR belum dapat dibentuk.

Waktu itu masih terus diberlakukan ketentuan Aturan Peralihan pasal IV yang menyatakan bahwa : “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional”. Namun ada dua penyimpangan konstitusional yang dapat dicatat dalam kurun waktu 1945-1949 itu.

Pertama, berubahnya fungsi Komite Nasional Pusat dari pembantu Presiden menjadi badan yang diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan garis-garis besar dari pada haluan negara berdasarkan Maklumat Wakil Presiden No.X tanggal 16 Oktober 1945. Yang kedua ialah perubahan sistem Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer.

Berdasarkan usul Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP) pada tanggal 11 Nopember 1945, yang kemudian disetujui oleh Presiden dan diumumkan dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 Nopember 1945, sistem Kabinet Presidensial berdasarkan UUD 1945 diganti dengan sistem Kabinet Parlementer.

Kurun Waktu 1959-Sekarang

Dengan diselingi Konstitusi (RIS) yang merupakan Konstitusi yang kedua dari Negara kita dan berlaku sejak 27 Desember 1949 sampai dengan 17 Agustus 1950, kemudian Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia (1950) yang merupakan Konstitusi kita yang ketiga, akhirnya sejak 5 Juli 1959 Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

Apabila diadakan perbandingan mengenai pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk kurun waktu antara 1959-1965 (Orde Lama) dan kurun waktu 1966-1998 (Orde Baru), maka jelas terlihat serta dirasakan kemajuan yang telah dicapai dalam pelaksanaan Undang-Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekuen (menurut versi Orde Baru).

Dalam Orde Lama, lembaga-lembaga negara seperti MPR, DPR, DPA, dan BPK belum dibentuk berdasarkan undang-undang seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Dasar 1945; lembaga-lembaga negara tersebut masih dalam bentuk sementara.

Dalam masa Orde Lama itu, Presiden selaku pemegang kekuasaan eksekutif dan pemegang kekuasaan legislatif, bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat telah menggunakan kekuasaannya dengan tidak semestinya. Presiden telah mengeluarkan produk legislatif yang pada hakikatnya adalah Undang-Undang (sehingga sesuai UUD 1945 harus dengan persetujuan DPR) dalam bentuk penetapan Presiden, tanpa persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.

Selain itu terdapat pula penyimpangan lainnya, yaitu antara lain:

MPRS, dengan Ketetapan No.I/MPRS/1960 telah mengambil putusan menetapkan pidato Presiden tanggal 17 Agustus 1959 yang berjudul “penemuam Kembali Revolusi Kita” yang lebih dikenal dengan Manifesto Politik Republik Indonesia (Manipol) sebagai GBHN bersifat tetap, yang jelas bertentangan dengan ketentuan UUD 1945.

MPRS telah mengambil putusan untuk mengangkat Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup. Hal ini bertentangan dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945, yang menetapkan masa jabatan Presiden lima tahun.

Hak budged DPR tidak berjalan, karena setelah tahun 1960 Pemerintah tidak mengajukan Rancangan Undang-undang APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Dalam tahun 1960, karena DPR tidak dapat menyetujui Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara yang diajukan oleh Pemerintah, maka Presiden pada waktu itu membubarkan DPR hasil Pemilihan Umum 1955 dan membentuk DPR Gotong Royong, disingkat DPR-GR.

Lahirnya Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) dianggap oleh rakyat sebagai lahirnya Orde Baru. Orde Baru lahir dengan tekad untuk mewujudkan tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia atas dasar pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.

Orde Baru telah berhasil menyalurkan aspirasi rakyat dalam mengadakan koreksi terhadap penyimpangan, kekacauan, dan keadaan buruk di berbagai bidang selama Orde Lama dengan cara konstitusional, artinya melalui Sidang MPRS, yaitu Sidang Umum MPRS IV tahun 1966, Sidang Istimewa MPRS tahun 1967, dan Sidang Umum MPRS V tahun 1968.

Orde Baru berusaha melaksanakan Undang-Undang Dasar 1945 dengan sebaik-baiknya secara murni dan konsekuen. Dalam rangka itu diusahakan pembentukan kelembagaan negara MPR, DPA, DPR, BPK, dan MA sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar 1945. Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa pembentukan lembaga-lembaga negara tersebut harus dilakukan dengan Undang-Undang. Karenanya Pemerintah bersama DPR berusaha keras dan berhasil membuat undang-undang tersebut, yaitu :

  1. Undang-undang No. 15 Tahun 1969 tentang Pemilihan Umum.
  2. Undang-undang No. 16 Tahun 1969 tentang Susduk MPR, DPR, DPRD.
  3. Undang-undang No. 3 Tahun 1967 tentang Dewan Pertimbangan Agung.
  4. Undang-undang No. 5 Tahun 1973 tentang Susduk BPK.
  5. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menjadi landasan kerja bagi MA dan Badan-badan Peradilan lainnya, sedangkan mengenai MA pengaturannya terdapat di dalam UU No. 14/1985.

Di masa Orde Baru keinginan untuk merubah UUD 1945 dengan mempergunakan Pasal 37 UUD 1945 dianggap masalah yang harus diwaspadai hal ini mungkin didasarkan pada pengalaman konstituante dalam usaha membentuk Undang-Undang Dasar pada tahun 1956-1959 menunjukkan betapa hal itu dapat menimbulkan perpecahan bangsa Indonesia. Ini disebabkan karena keinginan masing-masing golongan menjadi lebih dominan dibandingkan dengan keinginan bangsa sebagai satu kesatuan.

Mundurnya Presiden Soeharto pada bulan Mei 1998 menandakan berahirnya masa Orde Baru dan lahirnya era Reformasi sampai sekarang. Pada era Reformasi ini, Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia melalui salah satu Badan Pekerjanya membuka kesempatan kepada Warga Negara Indonesia untuk dipilih menjadi Anggota Komisi Konstitusi yang bertugas melakukan pengkajian secara komprehensif tentang Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Akan tetapi sangat disayangkan bahwa hasil kerja Badan Pekerja MPR periode 1999-2004 yang lalu tentang Amandemen UUD 1945 yang telah dikaji oleh Komisi Konstitusi belum tersosialisasikan sehingga terjadilah banyak aparatur negara yang belum mengetahui isi UUD 1945 yang telah di Amandemen, coba bayangkan kalau aparatur negara saja belum tahu isi UUD 1945 yang telah di Amandemen, apalagi rakyatnya.

Oleh sebab itu, Hidayat Nur Wahid selaku Ketua MPR (saat itu) sebagai lembaga yang mengemban amanat undang-undang untuk mensosialisasikan isi UUD 1945 yang sudah di Amandemen telah bersepakat dengan Susilo Bambang Yudhoyono selaku Presiden RI (saat itu) untuk segera mensosialisasikan isi UUD 1945 yang sudah di Amandemen kepada masyarakat dengan berbagai metoda dan media dengan biaya sekitar 22 milyard rupiah.

Besarnya anggaran sosialisasi ini menimbulkan Pro dan Kontra dikalangan masyarakat. Memang Amandemen UUD 1945 merupakan sesuatu yang sangat penting untuk dipahami oleh masyarakat dalam mengatur hak dan kewajibannya sebagai warga negara, akan tetapi bahwasanya saat itu adalah bukan waktu yang tepat untuk mengalokasikan anggaran sebesar 22 milyard untuk sebuah sosialisasi disaat masyarakat sangat memerlukan kebutuhan primer seperti pangan dan sandang.

Tinggalkan Balasan