Episode 5
Ubi rebus dan ikan asin bakar
Dari beberapa kasus yang aku temukan disekolah, sebagian besar siswa yang mengalami gangguan kesehatan dipicu oleh hal sepele, tidak sarapan pagi. Fakta ini terkuak setelah sharing dengan rekan-rekan guru.
Pada kasus yang lebih serius, penderita asam lambung bahkan menunjukkan gejala mirip dengan orang yang sedang kerasukan. Dan pemicunya adalah karena sarapan pagi yang tidak teratur, karena menganut style sms, sekalian makan siang.
Apa sulitnya sarapan pagi?. Ya, sulit bagi yang terbiasa rebahan, mager, hingga untuk sekadar mengisi perut dipagi hari juga tergantung mood. Khusus untuk daerah dimana aku mengabdi menjadi guru sejak 1995, berbagai sajian untuk sarapan pagi dengan mudah dapat ditemukan, Mulai dari nasi uduk, nasi peyek, lontong sayur, lontong pecal, aneka kue basah, hingga ombus-ombus.
Aekkanopan dikenal sebagai daerah yang terang benderang sepanjang malam hingga pagi, dengan kerlap kerlip lampu yang menerangi warung-warung penjual makanan. Maka, untuk urusan sarapan pagi, sangat mudah untuk mengatasinya. Terutama nasi peyek, yang telah ready sejak pukul 3 dinihari.
Untuk urusan sarapan dirumah, sangat-sangat mudah diatasi. Seluruh anggota keluarga doyan makan, tidak terlalu memilih jenis sarapan tertentu. Hanya, terkadang aku harus berbesar hati menjadi “Ibu penyayang”. Sebab ketika ada makanan yang masih tersisa, aku berupaya menghabiskannya, jangan sampai mubazir.
Kuhibur diri sendiri dengan mengatakan bahwa aku tidak gemuk, tetapi penyayang, sebab makanan yang bersisa tadi sayaaaaang kalau tidak dihabiskan.
Lantas, jika kubandingkan pola makan anak-anakku dengan kami, turunan ayah dan emak, sangat tidak bisa compared. Jika aku berkata bahwa dulu orang mama sarapannya ubi rebus, maka keluarlah pantun ngasal: “ Lain batu lain kerang, lain dulu lain sekarang “. Dan aku hanya termangu, benar kata anak-anakku, bahwa batu dan kerang berbeda, maksudku dulu dan sekarang berbeda. Bagaimana ya sensasi sarapan ubi rebus?
Dengan kondisi perekonomian yang benar-benar memprihatinkan, sangatlah sulit buat ayah dan emak untuk memberi asupan gizi yang memadai buat kami anak-anaknya. Maka, tak ayal, hampir setiap pagi kami menyantap ubi rebus plus ikan asin bakar sebelum berangkat ke sekolah.
Ubi rebus yang kami konsumsi berasal dari lahan dibelakang rumah, yang ditanami dengan ubi kayu, ubi rambat, jagung, dan tanaman keras lainnya seperti kopi dan kayu manis.
Menyadari bahwa sarapan ubi rebus menimbulkan rasa bosan, maka emak menghibur kami dengan ucapan “Ayo, ayo, kita makan roti sumbu”, begitu kata beliau. Menurut emak, ubi rebus mirip roti sumbu, karena serat ubi yang mencuat dibagian ujung si ubi rebus. Sungguh, sensasi yang luar biasa.
Hingga kini, aku tetap menyukai kuliner dengan bahan baku ubi. Sesekali, parumaen (Menantu perempuan) membawakan ubi Cilembu yang terdapat didaerah Guntingsaga. Ungkapan Jasmerah (Jangan sekali-sekali melupakan sejarah) berlaku untukku.
Jika teringat masa lalu, sungguh menakjubkan The power of ubi rebus. Hingga siang, tak sekalipun perutku merasakan lapar, barangkali juga karena ketiadaan uang jajan. Hanya dengan asupan ubi rebus plus ikan asin bakar, tak membuat semangat belajarku lemah.
Beberapa mata pelajaran yang paling kusukai adalah Matematika, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia. Jika teman-temanku menganggap dua mata pelajaran awal sangat horor, maka aku menganggap mereka aneh.
Namun setelah mengabdi menjadi guru, aku menemukan jawaban atas kesulitan siswa belajar Matematika dan Bahasa Inggris. Jawaban tersebut akan terungkap pada episode lainnya.
Kembali ke The power of ubi rebus. Dengan mudahnya akses untuk mendapat informasi tentang apa saja, maka aku melacak kandungan gizi ubi kayu. Ternyata, ubi kayu mengandung karbohidrat, protein, energi, kalsium, dan lainnya.
Hingga diambil kesimpulan bahwa, kandungan gizi yang dimiliki ubi kayu mampu menunjang kesehatan tubuh, sekaligus meningkatkan metabolisme. Nah lho, pantas saja semasa SMP berat badanku hanya 30 KG, karena metabolisme lancar maka tidak ada tumpukan lemak.
Apakah setiap hari breakfast dengan ubi rebus?, jawabannya nyaris iya. Hanya sekali-sekali sarapan nasi “Nginap”, yakni nasi yang tersisa ketika makan malam. Itupun tergantung faktor lucky, siapa yang beruntung menemukan nasi nginap, maka dialah yang berhak.
Nasi tersebut disiram pakai air hangat, kemudian airnya dibuang. Sebelum disantap, jari-jari mungilku meraih wadah garam kasar. Dan, garam halus menempel diujung tari, kubalurkan ke nasi nginap, selanjutnya yummi tiada tara.
Meski dengan asupan gizi yang sangat tidak memadai, kami jarang sakit. Seingatku, yang tubuhnya paling ringkih adalah aku, sering demam dan batuk. Hingga, jika ke sekolah, ayah memastikan bahwa aku telah mengenakan sweater tebal menutupi tubuh mungilku.
Beberapa menit menjelang turun dari bus, segera sweater tersebut kubuka, aku malu jika teman-teman melihat aku mengenakan pakaian tebal itu. Ternyata, sejak zaman dulu perilaku “Ja’im” (Jaga image) sudah ada, buktinya aku. Sebagai ketua kelas di masa SMP, aku harus tampil prima, tidak boleh kelihatan kuyu.
Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.