Penyembuhan Luka Batin, Buat Siapa? ( Belajar Dari Kasus Brebes )

Terbaru688 Dilihat

Jika menyebut nama Brebes, maka kita akan ingat beberapa jenis produk seperti bawang merah, ikan bandeng, kerupuk telur asin, dan beberapa nama lainnya. Namun kali ini, perhatian kita beralih pada kasus yang menggemparkan salah satu Kabupaten di Jawa Tengah itu. Seorang ibu muda, melakukan tindak kekerasan terhadap anak-anaknya, satu diantaranya meninggal dunia.

Sebelum kejadian, si ibu membeli pisau. Ketika ditanya oleh tetangganya, untuk apa pisau tersebut, si ibu menjawab untuk memotong ayam. Sebagai tetangga, tentu saja tidak ingin bertanya terlalu jauh, mau potong ayam yang mana, kapan, dan seterusnya. Sebab, untuk urusan bertetangga juga tidak boleh terlalu kepo dengan urusan orang lain. Namun sungguh tak disangka, usai salat subuh, Minggu 20 Maret 2022, terjadilah hal yang memilukan.

Awalnya, salah seorang kerabat mendengar teriakan dari kamar. Pintu kamar didobrak karena dalam kondisi terkunci. Salah seorang korban berusia tujuh tahun tergeletak tak bernyawa diatas tempat tidur. Sementara itu, dua anak lainnya bersimbah darah dengan tubuh penuh luka. Keduanya segera dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Akan halnya si ibu, diamankan oleh pihak berwajib.

Masih dengan rasa penasaran, usai salat subuh saya mencoba mengikuti perkembangan kasus Brebes. Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh kru PanturaPost.com, ada beberapa hal yang membuat saya tergelitik. Pelaku mengaku sehat secara kejiwaan, tidak gila. Namun dia mengakui mengalami trauma sedari kecil, dikurung dan mendapat perlakuan tidak menyenangkan. Kondisi keluarga serba kekurangan, baik secara finansial maupun perhatian/kasih sayang.

Alasan pelaku berbuat setega itu terhadap anak-anak kandungnya sendiri adalah ingin menyelamatkan mereka. Pelaku tidak ingin anak-anaknya mengalami apa yang telah dia rasakan selama ini, hingga dia nekad. Anehnya, pelaku ingin menyelamatkan anak-anaknya dengan cara yang sulit diterima akal sehat, yakni dengan membunuh mereka hingga tidak merasakan hidup susah, tidak sedih akibat hidup dalam kondisi serba kekurangan.

Demi mendengar penuturan pelaku, saya jadi teringat akan postingan yang hilir mudik di beranda media sosial. “ Self healing “, “ Saatnya healing “, dan seterusnya. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), self healing adalah sebuah proses untuk penyembuhan diri dari luka batin. Secara sederhana, healing adalah cara agar meredakan kecemasan batin karena masa lalu atau hal buruk lainnya. Lantas, apa hubungannya dengan kasus Brebes?.

 

Saya ingin melihat kasus Brebes dari dua sisi berbeda, si ibu sebagai pelaku sekaligus juga korban. Sebagai pelaku pembunuhan dan penganiayaan terhadap anak kandungnya, pelaku akan menjalani pemeriksaan kejiwaan disamping pemeriksaan oleh pihak Kepolisian. Ibu mana yang tega membunuh anak?. Jawabannya tentulah tidak ada, jika melihat beratnya perjuangan seorang ibu, mulai dari mengandung, melahirkan, hingga mengasuh dan merawat buah hatinya. Bahkan kami para emak kadang kurang terima jika para bapak marah-marah tak menentu terhadap anak ( Meski itu adalah anak bersama ).

Sebaliknya, jika benar curahan hati si ibu, bahwa dia mengalami perlakuan kurang menyenangkan sedari kecil, dikurung, dimarahi, menderita kesusahan karena ketiadaan biaya, plus kurangnya kasih sayang dari orang-orang terdekat. Berada dalam posisi ini, maka si ibu adalah juga korban, ya korban luka batin masa lalu dan masa kini. Artinya, si ibu melakukan tindakan keji itu karena perintah alam bawah sadarnya, yang telah merekam berbagai kejadian tidak menyenangkan.

 

Kasus seperti ini bukan pertamakali di Indonesia. Beberapa tahun silam, ada seorang ibu membekap balitanya dengan bantal hingga meninggal. Alasannya adalah si ibu tidak ingin anak-anaknya kelak mengalami penderitaan. Padahal, si ibu memiliki latar belakang pendidikan tamatan Perguruan Tinggi. Dengan kata lain, perilaku si ibu di Brebes, tidak bisa kita kaitkan dengan rendahnya tingkat pendidikan. Terlebih lagi jika dikaitkan dengan tingkat keimanan seseorang. Siapa yang dapat menjamin kondisi kejiwaan jika dihadapkan pada berbagai masalah pelik?.

 

Maka, kembali ke healing/self healing, mampukah seseibu yang serba kekurangan lakukan penyembuhan luka batin seorang diri, tanpa bantuan/dukungan dari orang-orang terdekat?. Jangankan untuk menenteramkan jiwa lewat alunan Murottal, barangkali untuk memiliki smart phone termurahpun jauh dari angan-angannya. Kita bisa berucap bahwa seseibu kurang iman, kurang piknik, kurang bergaul, dan seterusnya. Duh ibu-ibu, boro-boro bergaul dengan tetangga, hanya untuk memikirkan buah hatinya makan apa hari ini, sudah cukup melelahkan jiwa raganya.

 

Kasus Brebes mari kita jadikan ibrah, pelajaran buat kita semua. Masih banyak yang jauh lebih menderita diluar sana dibandingkan dengan kita. Maka, jangan menganggap bahwa diri kita butuh piknik, shopping, dan seabreg kegiatan lainnya demi self healing. Berhentilah untuk terlalu banyak berkeluh kesah, terutama di media sosial. Pandang sekeliling kita, mungkin energi kita masih dibutuhkan, terutama oleh keluarga terdekat, tetangga, dan para sahabat. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.

 

 

 

Tinggalkan Balasan