Nursalati, Sang Pejuang Qurban Dari Labura

Terbaru89 Dilihat

KMAB_3

Untuk kesekian kalinya, terjadi perbedaan penetapan tanggal 10 Dzulhijjah. Tentu, perbedaan ini harus disikapi secara arif, tidak perlu ngotot apalagi sampai memutuskan tali silaturahmi. Jika ada sahabat atau bahkan keluarga kita yang berbeda pendapat, maka cukuplah direspon dengan baik tanpa debat. Misal, jika posisi kita sebagai menantu, berbeda pilihan dengan mertua, jangan sampai ngotot, apalagi menyematkan predikat “kurang banyak piknik” kepada mertua.

Qurban, adalah wujud ketaatan tertinggi kepada Sang Maha Pencipta, sesuai kisah Nabi Ibrahim Alaihissalam yang bermimpi disuruh menyembelih putra kandungnya. Berbagai kajian tentang makna qurban, mulai dari yang paling mudah diterima akal sampai pada kajian yang lebih tinggi. Namun, setinggi apapun kita melakukan kajian terhadap makna qurban, endingnya adalah keikhlasan.

Ikhlaskah  jika nama anda tidak berada pada urutan pertama, pequrban lembu satu misalnya?. Atau, ikhlaskah jika berada satu hewan qurban bersama orang yang selalu berbeda pendapat dengan anda, yang notabene tidak satu “Geng” dengan anda?. Ini hanya pemisalan, namun realitanya bisa jadi membuat hati kurang nyaman, terlebih ketika hadir berbarengan didekat hewan qurban tersebut.

Bicara ikhlas, ijinkan saya untuk mengangkat kisah seorang wanita bernama Nursalati, dengan sebutan Tek Upik. Beliau adalah sosok panutan dalam ketaatan berqurban bagi warga Muhammadiyah/’Aisyi’ah Labura. Selama kurang lebih 30 tahun Tek Upik berqurban. Puncaknya pada tahun 2016, ketika salah seorang Ustadz menyampaikan hal ihwal qurban pada pengajian rutin. Ustadz tersebut memaparkan bagaimana caranya seorang Nursalati, seorang wanita usia 60-an, yang mencari nafkah dengan berjualan kacang rebus, nangka, dan jajanan lainnya.

Dengan menuntun sepeda tua, keranjang berisi aneka jajanan, Tek Upik berkeliling, dari satu gang ke gang lainnya, bahkan ke daerah perbatasan dengan Kabupaten Asahan. Menurut testimoni dari pelanggan, Tek Upik tidak mau dibayar lebih dari harga yang sudah dipatok. Misalnya kacang rebus seharga tiga ribu sebungkus, si pembeli menyerahkan uang sepuluh ribu untuk tiga bungkus, beliau tetap mengembalikan sisa seribu rupiah.

Jelang maghrib, Tek Upik pulang kerumah. Secara rutin, beliau mengikuti pengajian khusus untuk kaum wanita, yang disebut dengan pengajian ‘Aisyi’ah”. Bahkan, jika ada pengajian daerah (Biasanya setiap tiga bulan sekali), Tek Upik tetap hadir. Secara logika, sudah barang tentu beliau kehilangan mata pencaharian selama 4 kali dalam sebulan, dan total 48 kali dikurangi bulan Ramadhan. Hitung-hitung versi profit loss, Tek Upik mengalami kerugian. Namun ternyata, dengan keikhlasan, Allah Swt tidak pernah mengurangi nikmat hambaNya untuk seorang Nursalati.

Sepulang dari berjualan, Tek Upik menyisihkan dua lembar uang nominal dua ribu rupiah, untuk tabungan qurban (Ketika itu biaya yang harus dikeluarkan untuk berqurban sebesar Rp. 1.200.000-1.300.000,00, tahun 2016). Maka, mendekati akhir batas pelunasan uang qurban, Tek Upik memboyong uang tabungannya, berupa uang kertas nominal dua ribu rupiah, sebanyak 600 lembar, dalam kondisi tersusun rapi, karena disetrika lebih dahulu sebelum disimpan.

Tek Upik bertindak dalam diam, tanpa perlu posting di medsos (Apalagi beliau tergolong insan yang tidak begitu butuh smartphone, apalagi akun medsos). Jika saya bandingkan dengan postingan Sang Penulis Idola (SPI) beberapa hari ini, inshaallah Tek Upik terbebas dari virus pamer. Dan saya amati, Tek Upik tetaplah wanita bersahaja, tidak ada riak-riak riya ketika namanya disebut oleh Ustadz, menjadi sosok panutan bagi warga Muhammadiyah. Saya yakin, banyak hati yang tersentuh, meleleh, mendengar kisah Tek Upik, dan ikut jejak beliau.

Sekadar pengingat bagi diri sendiri, berapa banyak lembar rupiah dihabiskan hanya untuk memenuhi keinginan, bukan kebutuhan?. Berapa banyak waktu yang tersia-siakan, hingga terkadang ibadah terabaikan?. Sholat sih, tapi di ujung waktu, hanya karena menenggang dan menimbang hiruk pikuknya urusan dunia. Semoga momen Idul Adha tahun ini membawa perubahan menuju arah yang lebih baik, sebab manusia yang paling beruntung adalah yang hari esok lebih baik dari hari ini.

Anak dara dalam pigura

Wajah berseri senyum dikulum

Salam dari kami warga Muhammadiyah Labura

Taqabbalallahu minna wa minkum

Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul, babontuk elok.

 

Tinggalkan Balasan