“ Jika kamu bukan anak seorang raja, bukan juga anak seorang ulama besar, maka menulislah “ (Imam Al Ghazali).
Kalimat diatas sering kita temukan, baik dalam tulisan jenis opini, fiksi, faksi, dan yang lainnya. Sebaris kalimat penuh makna yang diwariskan filsuf dan teolog muslim kelahiran Iran tahun 1058, bernasab kepada ayah kandung seorang pemintal bulu kambing. Mencengangkan, tokoh sekaliber Al Ghazali lahir dan dibesarkan keluarga yang miskin. Namun ayahnya bercita-cita, menginginkan sang putra kelak menjadi orang alim dan saleh. Cita-cita sederhana tersebut terwujud ditambah bonus ahli pikir, ahli filsafat Islam yang banyak mewariskan karya-karya hebat yang tetap dikaji hingga kini.
Sedemikian bermaknakah kalimat warisan Al Ghazali hingga sering dikutip para penulis? Jawabannya iya, sangat-sangat bermakna, bahkan bisa menjadi motivasi bagi diri sendiri ketika semangat menulis mulai melemah. Kondisi ini pernah aku alami jelang deadline pengumpulan tugas seleksi Guru Motivator Literasi (GML) 2021 yang diadakan oleh Forum Indonesia Menulis (FIM). Secara kebetulan aku mengikuti beberapa pelatihan menulis secara online, sehingga energi untuk memulai menorehkan narasi untuk FIM masih menunggu datangnya “goodmood”.
Salah satu kelemahanku adalah menunggu “Moodbooster” di injury time, seolah-olah amunisi “The power of Kepepet” selalu tersedia. Tak dinyana, kondisi abang ipar yang sedang sakit semakin memburuk. Maka, semakin sulitlah bagiku untuk segera menulis dan mengirim naskah seleksi GML. Jauh dilubuk hati, aku tetap berharap mampu mengikuti seleksi akhir tersebut. Usai menjemput abang ipar dari Aeknabara, sebuah kota kecil di Labuhanbatu dengan waktu tempuh 2 jam, kami masih harus menunggu hasil tes antigen sebagai syarat berobat ke rumah sakit. Tak sedikitpun lagi teringat tentang naskah yang harus ditulis, sebab aku dan Maya ponakanku, putri semata wayang abang ipar seolah menunggu bom waktu.
Akhirnya hasil tes keluar, negatif. Tanpa sadar kupeluk Maya, tangannya dingin, tubuhnya gemetar, redalah debar-debar tak menentu yang menghantui sejak sampel diambil dari rongga hidung abang ipar. Hampir pukul 12 malam, kupaksa Maya makan nasi bungkus kongsi berdua, sebab dari siang tak sebutir nasipun mampir dimulut. Qadarullah, esok harinya abang ipar harus segera dirujuk ke Medan. Berbekal rekomendasi dari salah seorang Ustadz muda Labura serta bantuan dari salah satu anak didikku, pukul 9 kurang abang ipar menuju Medan difasilitasi ambulan ummat Masjid Al Aman dan seorang perawat handal.
Hari sabtu siang, aku terbangun setelah menebus rasa kantuk sejak hari rabu kemarin. Kutanya putri keduaku, tanggal berapakah ini, dijawabnya, tanggal 21. Mungkin dia heran, apakah mamanya lupa tanggal karena terlalu lama mendaring (istilah praktis untuk PJJ). Kubuka gawaiku yang telah terlantar sejak beberapa jam yang lalu, ternyata benar tanggal 21. Ketika kubuka wa, aku menghela napas, betapa tidak, ratusan chat masuk yang belum dibaca, mulai dari kiriman tugas siswa melalui wag, dan informasi lainnya. Beberapa cerbung di salah satu aplikasi menulis bahkan tak kuikuti dari kemarin, membaca fiksi merupakan salah satu caraku untuk merefresh energi.
Jika hari ini tanggal 21 Agustus, berarti deadline kirim naskah FIM tinggal hari ini dan besok. Kuhalau rasa malas yang masih bertahta, entah kenapa aku kok malah ketularan penyakit mager (malas gerak) dari siswaku. Sebab mereka selalu buat stori wa dengan caption mager. Kutunggu laptop menyala, seterusnya segera ku klik tampilan words untuk mulai menulis. Tanpa menunggu lama, tulisanku kelar, hanya dalam waktu 1 jam. Kulakukan proofreading untuk meminimalisir kesalahan dalam penulisan. Komunikasi via wa dengan mas Aulia FIM sangat membantuku. Beliau mengingatkan untuk segera mengirim naskah sebelum limit waktu yang telah ditentukan.
Hingga akhirnya, hari ini aku dapat informasi dari mas Aulia FIM bahwa namaku termasuk salah satu diantara 1000 guru yang berhasil lolos seleksi menjadi GML. Ternyata bukan hanya hatiku yang sumringah, ayah literasiku, bapak Thamrin Dahlan mengucapkan selamat di wag Yayasan Pustaka Thamrin Dahlan (YPTD) tempatku menimba ilmu selama ini. Aku bersama bu Mujiatun dari Lampung merupakan warga YPTD asuhan Thamrin Dahlan. Tak hanya itu, sahabat literasiku di dunia maya, Heddy Mochtariza sang pianis yang jago bahasa Perancis bahkan menulis tentang ini di blog pribadinya. Rezeki tidak hanya berupa materi. Dipertemukan dengan orang-orang baik seperti mereka juga merupakan rezeki tak terhingga.
Malam ini, sembari menuntaskan tulisan dalam uji nyali lomba menulis yang diadakan oleh YPTD dengan tema “ Karena Menulis Aku Ada (KMAA) ”, aku semakin memahami makna Surah Al Insyirah ayat 5. “Sesungguhnya sesudah kesulitan akan ada kemudahan”, kalimat ini sering kubuat menjadi motivasi bagi siswaku. Begitu sulitnya aku untuk memulai menorehkan kalimat diawal tulisan, ketika rasa malas masih mendera. Jika aku tetap bertahan dengan rasa yang ada, maka tulisan ini juga tak akan kelar. Kubaca kembali kalimat motivasi milik Al Ghazali, aku tersadar, ternyata aku ini anak raja, lebih tepatnya anak ayahku bermarga Nainggolan Lumbanraja. Ketika kesadaranku penuh, maka aku harus menulis, sebab ternyata aku bukan anak raja, pun juga bukan anak ulama besar. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.
KMAA-4