Dalam topik 1 ini, terdapat tiga materi yang harus dipelajari, yaitu: mengenali diri dan perannya sebagai pendidik, apa peran saya sebagai guru, serta ingin menjadi guru seperti apa saya. Untuk mampu mengenali dan memahami diri sebagai pendidik, maka kita akan telisik satu persatu dari tiga materi tersebut.
1. Mengenali diri dan perannya sebagai pendidik
Pendidik adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan pertolongan kepada anak didik dalam perkembangan baik jasmani maupun rohaninya (Dri Atmaka, 2004). Sementara menurut Ki Hajar Dewantara, pendidikan adalah memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak, agar ia mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai seorang manusia maupun sebagai anggota masyarakat.
Peran seorang pendidik sesuai Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang guru dan dosen adalah mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa pada Pendidikan anak usia dini melalui jalur formal Pendidikan dasar dan Pendidikan menengah. Maka, peran pendidik (Guru) tidak lagi sebatas pengajar, tapi selaras dengan konsep Ing ngarso sung tulodo, Ing madyo mangun karsa, dan Tut wuri handayani.
Ki Hajar Dewantara, bapak Pendidikan Indonesia yang hidup pada abad 18, pernah menjabat sebagai Menteri Pengajaran Republik Indonesia (1945), bahkan belum tersentuh berbagai teori modern tentang Pendidikan. Namun beliau mampu menempatkan “Tut wuri handayani” menjadi semboyan pendidikan, yang artinya “Dari belakang, seorang guru harus bisa memberikan dorongan pada siswa”.
Selanjutnya, Ing madya mangun karsa, yang artinya ditengah memberi/membangun semangat. Seorang guru harus membersamai siswanya, untuk memantau gerak tumbuh mereka serta membimbing dan memberi semangat. Guru harus terus belajar secara mandiri, membuka akses lebar-lebar dari berbagai sumber informasi, agar relevan dengan kebutuhan siswa sesuai zamannya.
Semboyan ketiga adalah Ing ngarso sung tulodo, artinya seorang guru harus mampu menjadi teladan bagi siswanya, baik sikap maupun pola pikirnya. Dengan demikian, guru haruslah terlebih dahulu mempersiapkan diri menjadi pribadi yang mampu menjadi sosok panutan, yang akan dicontoh oleh anak didiknya.
Pertanyaannya, apakah kita sudah mengenali diri dan peran sebagai pendidik?. Jawabannya tergantung pada keberanian kita untuk menjawab secara jujur dengan hati nurani. Siapakah saya di mata siswa, apakah saya diberi predikat sebagai guru yang berempati atau malah cuek?. Apakah saya memberi ruang bagi siswa untuk memunculkan ide dan kreativitas mereka atau malah membungkam dengan ucapan yang memojokkan?. Pernahkah saya memberi kesempatan bagi siswa untuk menjelaskan apa alasan mereka tidak memegang komitmen atau malah mendesak dan menyalahkan?.
2. Apa peran saya sebagai guru
Memulai hari dengan semangat, ingin segera bertemu dengan siswa mencari tahu bagaimana kemajuan yang mereka peroleh setelah mengikuti pembelajaran, merindukan wajah-wajah penuh harap dengan ilmu yang akan kita curahkan. Apapun alasan kita untuk bersegera ingin ke sekolah, akan membawa efek luar biasa terhadap semangat belajar siswa. Energi positif yang kita pancarkan lewat bahasa tubuh, wajah yang bersahabat, mampu membuang jauh-jauh rasa malas siswa untuk berangkat ke sekolah. Maka, jadikan kita di posisi itu.
Kini, di zaman generasi digital native, kita perlu menyelaraskan peran sebagai pendidik yang relevan dengan konteks murid dan zaman. Maka peran kita adalah memberi ilmu demi kecakapan hidup anak dalam usaha mempersiapkannya untuk segala kepentingan hidup manusia, baik dalam hidup bermasyarakat maupun hidup berbudaya dalam arti seluas-luasnya (Ki Hajar Dewantara).
Seorang pendidik memiliki peran yang sangat besar terhadap masa depan siswa. Jika kita memberi pujian, atau mencemooh, memberi hukuman, tetap akan meninggalkan kesan di hati mereka. Hal sekecil apapun yang kita sampaikan di kelas akan berkontribusi pada kecakapan hidup anak kelak saat mereka beranjak dewasa.
Maka, pertanyaannya adalah, apakah peran kita sebagai guru, atau sama sekali tidak berperan dalam tumbuh kembangnya pengetahuan siswa kita?. Apakah kita pernah hadir secara utuh untuk siswa, atau sebaliknya, siswa tidak pernah merasakan kehadiran kita (Yang memang sangat jarang membersamai siswa). Dan, apakah kita pernah memberi waktu khusus buat siswa yang membutuhkan seseorang untuk mendengarkan curhatannya, atau kita tidak mau tahu dengan hal seperti itu?.
3. Ingin menjadi guru seperti apa saya
Sejak kecil, sedikitpun tidak pernah bercita-cita untuk menjadi guru. Meski berbagai pengalaman menyenangkan pernah saya terima dari guru-guru favorit saya. Saya menyukai momen dimana saya mampu menyelesaikan tugas dan diberi hadiah “Boleh pulang duluan”. Di masa SMP, saya menyukai guru Matematika dan Bahasa Inggris, karena cara mengajar mereka yang sangat menyenangkan. Dan lagi-lagi, cita-cita untuk menjadi guru belum juga terbit.
Terkadang, guru-guru favorit saya tersebut malah sangat tidak disukai oleh kawan-kawan lainnya. Dan kini setelah saya bahagia menjadi guru (Sempat juga tidak bahagia selama dua tahun), maka saya menghindari perlakuan kurang menyenangkan yang dialami oleh kawan-kawan saya tersebut. Salah satunya adalah menghindari komunikasi terbatas hanya dengan beberapa orang siswa yang pintar (Dan, ternyata siswa cenderung tidak menyukai hal tersebut).
Beragam metode mengajar yang sudah kita “kunyah habis”, lengkap dengan media dan fasilitas pendukung kegiatan belajar lainnya. Namun, apakah ikhtiar yang kita lakukan selama ini sudah sejalan dengan tujuan pendidikan?.Menjadi guru/pendidik adalah pekerjaan yang sangat menantang, terlebih di masa pemulihan seperti sekarang ini. Maka guru harus adaptif terhadap perubahan, karena bahaya besar mengancam pendidikan kita jika tidak waspada, yakni learning loss.
Mampukah kita menjadi seorang pendidik berorientasi pada anak, dengan melayani segala bentuk kebutuhan metode belajar siswa yang berbeda-beda?. Siapkah kita untuk memberi kebebasan kepada siswa untuk mengembangkan ide/bakat/minat, berpikir kreatif, dengan tuntunan dan arahan dari kita supaya siswa kehilangan arah?. Maka hal itu akan terjawab setelah kita mampu menjawab pertanyaan, “Ingin menjadi guru seperti apakah saya?”.
Pada dasarnya, Pendidikan berhubungan dengan kodrat alam dan kodrat zaman. Kodrat alam berkaitan dengan sifat dan bentuk lingkungan dimana anak berada. Kodrat zaman artinya guru harus membekali keterampilan kepada siswa sesuai zamannya agar mereka mampu hidup, berkarya, dan menyesuaikan diri.
Pertanyaan terakhir untuk topik ini adalah, mengapa saya memilih menjadi guru?. Apakah terjebak pada kata-kata “Jadi guru pun, jadilah?”. Mari kita perbaiki bapak ibu rekan sejawat, dengan kalimat pendek “Jadilah guru”. Selamat berkreasi dalam konsep Merdeka Mengajar, salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.