CHILDFREE, TREN ATAU LATAH

Terbaru56 Dilihat

Ketika saya masih duduk dibangku kuliah sekitar tahun 1987, salah seorang teman pernah mengisahkan tentang hubungannya dengan seorang wanita bule. Kita sebut saja nama teman saya itu Casanova. Setelah menjalin hubungan beberapa lama, akhirnya Casanova memilih untuk berpisah secara baik-baik. Alasannya adalah, si wanita bule memberi persyaratan yang tidak masuk diakal, kelak kalau menikah tidak mau punya anak. Sebagai lelaki Batak yang sangat mengharapkan anak lelaki sebagai penerus marga, tentu saja Casanova tidak setuju. Walaupun pada akhirnya Casanova menikah dengan seorang wanita berkebangsaan Denmark dan memiliki seorang putri. Yang pasti, istri Casanova bukanlah sosok wanita bule di awal tulisan ini.

Childfree adalah sebuah keputusan atau pilihan hidup untuk tidak memiliki anak, baik itu anak kandung, anak tiri, maupun anak angkat. Istilah ini muncul di akhir abad 20 dan bukan merupakan hal baru bagi masyarakat luar negeri. Namun bagi masyarakat Indonesia, merupakan hal yang menimbulkan pro-kontra. Istilah Childfree di tanah air menjadi perbincangan hangat setelah beberapa waktu yang lalu segelintir influencer dan selebriti secara terang-terangan mengemukakan keputusan untuk tidak memiliki anak.

Meski hanya segelintir yang ‘speak up’, tak urung membuat heboh dunia maya maupun dunia nyata. Sebabnya adalah, yang speak up dilabeli influencer, yaitu seseorang yang mampu memberikan pengaruh di masyarakat. Biasanya, influencer memiliki jutaan pengikut, bahkan bisa sampai puluhan juta. Andai, 25% saja dari pengikutnya yang menjadi penganut Childfree, kira-kira, apakah yang bakal terjadi dengan kondisi masyarakat kita yang masih menganut pola pragmatis tentang pernikahan, yaitu memiliki anak.

Ada beberapa alasan maka seseorang/pasangan memilih untuk tidak memiliki anak, diantaranya adalah:

  1. Kesiapan mental; pasangan penganut Childfree belum siap mental untuk menjadi orang tua dari anak-anak yang akan mereka miliki setelah menikah
  2. Kondisi finansial; biaya hidup (cost) yang harus dikeluarkan mulai dari sebelum si anak lahir, hingga dewasa, menjadi alasan untuk tidak memiliki anak, karena menganggap bahwa memiliki anak akan menambah beban (biaya).
  3. Fokus pada karir; pasangan muda yang masih ambisi mengejar karir, menganggap bahwa kehadiran anak akan menjadi penghalang
  4. Kondisi kesehatan; merupakan salah satu alasan untuk menganut Childfree. Kadangkala, penyakit kronis melanda pasangan, sehingga sangat beresiko jika memilik anak
  5. Trauma; pernah mengalami hal-hal menyakitkan yang membuat trauma, menyebabkan Childfree menjadi pilihan terbaik
  6. Isu global; melihat berbagai kerusakan yang terjadi dimuka bumi, baik manusianya pun juga alam, maka ada yang memilih Childfree. Terlebih ketika menganggap bahwa bumi sudah terlalu padat, sehingga memutuskan untuk tidak lagi menambah populasi.

Dampak negatif childfree adalah menurunnya jumlah usia produktif yang akan menjadi efek domino bagi masalah ketenagakerjaan, pertumbuhan ekonomi, dan masalah sosial lainnya  Bagi negara kita, andai fenomena Childfree melanda Indonesia tidak terlalu berpengaruh dalam waktu dekat. Sebab, Indonesia akan menghadapi bonus demografi pada era 2030-2040. Pada masa itu diprediksi jumlah usia produktif 15-64 tahun akan mencapai angka 205 juta jiwa. Namun harap digaris bawahi, saya bukanlah serta merta menyetujui Childfree apalagi menjadi penganutnya.

Merujuk pada 3 negara dengan tingkat kelahiran terendah di dunia, yakni Korea Selatan, Singapura, dan Jerman, para pakar memprediksi, suatu saat negara-negara tersebut akan punah. Korea Selatan, memiliki standar untuk usia menikah bagi perempuan, yaitu 30-35 tahun. Disatu sisi, kebijakan ini membawa dampak positif bagi pertumbuhan ekonomi, karena semakin banyaknya perempuan berkarir tanpa terbeban urusan rumah tangga. Namun disisi lain, pemerintah kewalahan untuk mencari tenaga kerja lokal, hingga akhirnya mendatangkan tenaga kerja asing. Data terakhir jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Korea Selatan 40.000 jiwa. Untuk menaikkan tingkat kelahiran, maka pemerintah Korea Selatan memberikan subsidi bulanan bagi warganya yang mau memiliki anak, sungguh dilematis.

Negara Jerman sebagai peringkat ketiga dengan angka kelahiran terendah, mengingatkan saya pada masa kecil. Ketika itu ayah dan emak memiliki warung kopi (inilah penyebab maka saya menyukai kopi). Silih berganti pengunjung yang datang ke warung, terutama para lelaki dewasa. Suatu hari, saya mendengar istilah “Lajang Jerman”. Saking lugunya saya pikir benar-benar orang Jerman, karena warung kami berada di jalan lintas Pematang Siantar-Parapat, daerah yang sering dilewati turis mancanegara. Ternyata, yang dimaksud dengan istilah “Lajang Jerman” adalah lelaki dewasa, lebih tepatnya lelaki yang belum menikah meski usia sudah diatas 30 tahun. Barangkali, istilah tersebut disematkan karena tradisi di Jerman menikah pada usia yang cukup matang.

Terlahir di keluarga besar dengan formasi kesebelasan plus 4 cadangan (15 bersaudara), membuat saya terperangah dengan merebaknya isu Childfree. Apakah ini sekadar tren atau latah semata?. Semoga masyarakat kita mampu menahan diri untuk tidak mencoba hal-hal baru yang bertentangan dengan kodrat, baik sebagai mahluk sosial maupun sebagai hamba Allah. Saya mengamati, kegembiraan yang amat sangat terpancar dari wajah orang tua (mertua) ketika anak cucunya bercengkerama. Tidak sedikitpun memperlihatkan wajah masam ketika cucunya menimbulkan polusi suara. Artinya, kebahagiaan hakiki orang tua adalah memiliki anak dan cucu.

Andai, anda adalah penganut Childfree, yakinkah masih bisa berteman dengan saya?. Saya yakin masih bisa berteman, namun jangan pernah berharap, kelak, di masa tua, anda akan meminta salah seorang putra-putri saya untuk menemani anda, big no. Semoga tulisan sederhana ini mampu mengedukasi generasi Milenial dan generasi Z, sebab merekalah yang paling berpotensi terkena virus Childfree. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat, babontuk elok.

 

 

Tinggalkan Balasan