Beberapa hari ini ramai diberitakan, tentang harga segelas kopi seharga Rp. 100 ribu. Walaupun sebenarnya kejadian seperti ini bukan lagi pertama kali muncul, bahkan tidak hanya di daerah Puncak Bogor. Daerah wisata lainnya di seantero nusantara juga terkenal dengan harga selangit yang mencekik leher terutama bagi pewisata dengan modal pas-pasan.
Salah satu efek dahsyat dari kemajuan teknologi adalah viralnya berita di medsos hanya dalam hitungan menit. Ketika seorang traveler merasa ditodong dengan harga yang tidak wajar, maka serta merta akan di posting di media sosial miliknya, lengkap dengan foto dan caption menarik. Dipastikan, dalam hitungan menit, postingan seperti itu akan melesat ke rating puncak, terlebih jika berulangkali direpost.
Masalah kemudian muncul ketika para pengelola warung penjual makanan dan minuman di daerah tersebut menyadari efek dari pemberitaan di medsos. Efeknya adalah warung-warung menjadi sepi pengunjung, sehingga pendapatan juga menurun. Biasanya nih, setelah viral, barulah berbagai pihak angkat bicara, yang biasanya juga merasa berada dipihak yang benar.
Belakangan ini, daerah-daerah tujuan wisata sedang berbenah, setelah pemerintah memberi kelonggaran dengan tetap memberlakukan prokes secara ketat. Tujuannya adalah untuk menghidupkan kembali geliat perekonomian yang telah meredup setelah mampirnya sang covid-19 ke negeri kita. Tentu, setiap pihak berharap meraih manfaat dengan dibukanya kembali tempat-tenpat wisata.
Bagi pewisata yang mengandalkan motor untuk jelajah daerah yang diinginkan, butuh tempat untuk rehat, ngopi, cemilan instan sebelum melanjutkan perjalanan. Yang paling tak diinginkan adalah ketika senja berakhir namun belum sampai ke tujuan, artinya dihadapkan pada dua pilihan, menembus pekatnya malam atau rehat di warung-warung sepanjang pinggir jalan. Jika memilih yang pertama, akan menghadapi risiko berupa keisengan pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, atau kemungkinan mengalami kecelakaan akibat kelelahan dan rasa kantuk. Pilihan kedua adalah rehat. Dan inilah awal masalahnya.
Traveller berharap melewatkan malam untuk melepas lelah sekaligus mengisi perut. Warung yang disinggahi biasanya menyediakan minuman dan aneka cemilan. Seperti halnya rest area yang memanjakan traveller dengan lesehan gratis (syukur-syukur kalau ada wifi gratis), maka berbeda dengan warung. Sudah sewajarnyalah kalau pengunjung warung memesan minuman dan makanan. Jika rehat selama 5-8 jam di warung, kira-kira seberapa banyak yang dikonsumsi para traveller?. Untuk ukuran lambung lelaki dewasa (karena biasanya tingkat konsumsi lelaki lebih tinggi), maka dua gelas kopi/teh plus seporsi mie instan lebih dari cukup untuk mengganjal perut. Harga normal yang dipatok untuk segelas kopi berada dikisaran Rp. 5.000-Rp. 10.000. Ternyata, untuk para traveller tersebut pemilik warung ada yang menggetok harga kopi Rp.100.000/gelas.
Travelling yang bertujuan untuk refresh, malah kena getok harga, akhirnya membuat jiwa raga semakin lelah. Pewisata dengan modal seadanya berharap memperoleh ‘kebugaran batin’ setelah berwisata, eh malah harus nombok biaya dapur selama dua hari (misalnya). Saya yakin, walaupun pewisata berkantong tebal, tetap saja keberatan jika harga yang dibayar semahal itu.
Alasan pemilik warung menggetok harga “semehong” itu adalah karena traveller menginap di warung. Biasanya, mereka menghabiskan waktu di warung selama 2-3 jam, masih dianggap wajar. Namun bila traveller berlama-lama nongkrong hingga semalaman, maka wajarlah harga kopi dihitung dengan durasi nongkrong. Pemilik warung beralasan bahwa warung bukanlah tempat menginap, sehingga harga yang digetok dianggap wajar. Sungguh fantastis.
Andai pemilik warung mau berkreasi sedikit saja supaya masing-masing pihak merasa nyaman, tidak ada salahnya membuat daftar harga secara lengkap. Misalnya, daftar harga dilengkapi dengan caption menarik: Kopi tubruk Rp. 10.000 ( satu jam); Rp. 20.000 (dua jam); Rp. 50.000 (3-5 jam); Rp. 100.000 (no limit). Kopilih dia atau aku gratis seumur hidup ( yang ini mah bercanda, kata orang Medan supaya jangan apa kali).
Untuk menghindari supaya jangan kena getok harga, berikut ini ada beberapa tips untuk pewisata:
- Jika tidak ada daftar harga makanan/minuman, jangan malu untuk bertanya ke pemilik warung.
- Kenalilah warung yang mematok harga tidak wajar
- Jika anda berniat untuk nongkrong semalaman, bertanyalah secara terperinci kepada pemilik warung, apakah dikenakan biaya tambahan (durasi nongkrong)
- Berusahalah untuk mempelajari bahasa daerah, minimal dialog sederhana untuk mengakrabkan diri dengan pemilik warung
- Siapkan dompet serta isi yang tebal, sebagai antisipasi jika bertemu dengan tukang getok harga.
Satu hal, sebagai penggemar kopi sedari kecil, saya pernah mendengar mahalnya kopi dengan brand tertentu. Konon harganya sesuai dengan cita rasa serta tempatnya yang memang wah. Namun, setinggi apapun selera saya terhadap kopi, tetap saja pakai logika ekonomi. Jika saya konsumsi secangkir kopi ‘XYZ” seharga honor saya memberi kuliah dengan muatan 2 SKS, maka saya akan berpikir ulang.
Andai, tips-tips tersebut tidak juga mumpuni, maka silahkan berwisata ke daerah Labura. Anda akan disuguhkan destinasi wisata yang sangat memukau. Sajian lezat kopi yang tersedia di warung-warung kopi se-Labura juga siap menyapa anda. Mulai dari Warung Kopi Sijampang; Kopi Setengah (Kopteng) Stasiun; CK Café; Underpass Corner; Efek Rumah Kopi (Eruki); Majelis Kopi; Lapo Kopi; Kedai Kupie Ulee Kareeng; Cabin Kopi; Teras Kopi; Warung Kopi Bilkolam; Kedai Kopi Oppung; Warkop Labas; Warkop Kombur. Anda tinggal pilih sesuai selera, dipastikan harga sangat bersahabat. Jika anda beruntung, maka akan beroleh kehormatan mencicipi kopi secara gratis ( Khusus untuk yang ini tergantung kekuatan sinyal ).
Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.
Artikelnya sangat menarik. Ada tips2 mengantisipasi tukang warung penggetok harga hehehe..
Semoga bermanfaat bagi para traveler