Disiplin Positif, Ya Atau Tidak!

Edukasi, Humaniora6 Dilihat

Pagi hari yang mengecewakan

Waktu sudah menunjukkan Pukul 07.15 Wita ketika saya sampai di sekolah. Keadaan sekolah masih cukup lengang. Beberapa siswa mulai berdatangan dan bergegas menuju ruang kelas masing – masing. Pandemi yang belum berakhir, memaksa kami untuk sementara meniadakan kegiatan apel pagi. Pembelajaran dimulai dengan ibadah singkat di kelas masing – masing.

Saya mengedarkan pandangan ke arah anak – anak yang sudah duduk manis di posisinya. Mata saya tertumbuk pada Amira. Dia duduk di deretan kursi paling belakang, kemudian disusul oleh Jeni. Rupanya mereka tidak memakai masker.

Ada rasa kecewa dalam hati saya melihat mereka yang tidak patuh pada protokol kesehatan. Namun, jujur, saya mengagumi sikap mereka yang menunjukkan kesadaran akan konsekuensi yang harus diterima atas sebuah perbuatan.

Harga yang harus dibayar

Sebelumnya, kami memang membuat kesepakatan kelas yang salah satunya mengatur tentang prosedur pembelajaran, yaitu wajib memakai masker. Hal ini juga sudah diketahui oleh orang tua siswa dan berdasarkan himbauan dari dinas terkait.

Sepanjang pembelajaran, saya mengamati cara Amira dan Jeni belajar. Khususnya Jeni, karena dia biasanya duduk di deretan kursi bagian depan. Biasanya anak – anak yang duduk di kursi bagian depan merupakan anak – anak yang membutuhkan bimbingan lebih.

Beberapa kali saya harus menyebut nama Jeni agar ia bisa lebih konsentrasi. Lalu, saat jam istirahat, saya bertanya pada Jeni. “Apakah kamu senang duduk di belakang?” tanya saya. Jeni menggelengkan kepalanya.

“Apakah kamu tahu kenapa hari ini kamu harus duduk di belakang?” tanya saya lagi sambil memandang Jeni. Ia tampak mengangguk. “Tahu” jawabnya singkat.

“Bagaimana caranya supaya besok kamu bisa duduk kembali di depan?”

Jeni memandang wajah saya seakan mencari pembenaran, lalu ia menjawab, “Memakai masker.”

Saya pun menganggukkan kepala dan tersenyum. “Sekarang, sampaikan juga pada Amira. Supaya besok kalian memakai masker.” Pinta saya pada Jeni. Jeni pun ke luar kelas dan mencari Amira yang sudah lebih dulu pergi ke kantin.

Kemudian, saya pun meraih buku jurnal sikap sosial, yang biasa saya gunakan untuk mencatat perilaku siswa. Nama Jeni dan Amira pun tertera di sana dengan catatan tidak memakai masker dan perlu bimbingan dalam hal disiplin.

Cermin bagi guru

Cerita tentang Jeni dan Amira mengingatkan saya dengan peristiwa serupa. Kejadian ini sudah berlangsung sekitar 26 tahun yang lalu, ketika saya harus menerima “hukuman” dari guru kelas saya untuk menulis tegak bersambung sebanyak beberapa halaman di pinggir lapangan sekolah saat pulang sekolah.

Hal tersebut harus saya lakukan karena tulisan saya jelek dan tidak rapi. Setidaknya hal tersebut yang saya ingat sampai sekarang. Selama beberapa hari saya harus melakukan hal tersebut, capek, kecewa, marah, malu, dan perasaan lainnya saya rasakan saat itu.

Namun, anehnya saya tidak pernah membenci guru tersebut. Justru saya ingin berterima kasih pada beliau. Karena upaya pendisiplinan yang beliau berikan bukanlah hukuman yang semakin mematahkan niat saya untuk belajar, melainkan disiplin yang positif.

Disiplin yang positif adalah hukuman yang membebaskan, bukan yang memenjarakan. Disiplin yang positif mengundang perubahan perilaku menjadi lebih baik, bukan meningkatkan usaha perlawanan.

Berdiri dengan satu kaki diangkat sambil memegang telinga adalah bentuk hukuman yang sama sekali tidak tepat diberikan oleh guru kepada siswa. Termasuk mengeluarkan siswa saat belajar, juga sebenarnya bukan merupakan tindakan yang benar. Siswa belum mampu secara cepat mampu memahami kesalahan mereka. Dan hukuman – hukuman demikian cenderung akan memantik perilaku negatif lainnya.

Saya tidak bisa membayangkan, jika dulu guru saya membiarkan tulisan saya, atau memberikan hukuman berupa fisik yang sudah saya ceritakan, maka bisa jadi tulisan tangan saya masih jelek dan tidak terbaca.

“Selamat siang, Bu. Sekarang waktunya anak – anak belajar Agama.” Pak Yonatan menegur saya dari ambang pintu kelas. Saya pun segera bangun dari kursi dan membereskan meja guru lalu bergegas menuju kantor untuk mengerjakan administrasi kelas yang sudah menunggu.

Terima kasih Amira dan Jeni, hari ini Ibu belajar bagaimana caranya bersikap sebagai seorang guru dengan memberikan disiplin yang positif.

 

Sumber foto : https://aktual.com/wp-content/uploads/2016/05/antarafoto-siswa-sinabung-sekolah-pakai-masker-230516-im-6.jpg

Catatan Refleksi hari ke 2

Cikgu Tere

Tinggalkan Balasan

2 komentar

  1. Wah, Bu Tere memang luar biasa. Saat membaca bagian di mana Bu Tere bertanya pada Jeni mengapa ia harus duduk di belakang, saya teringat pada teknik parenting yang pernah dibaca. Apa yang dilakukan Bu Tere adalah sikap yang baik, membantu anak menyadari kesalahannya sekaligus tahu akan konsekuensinya.

    Terima kasih Bu Tere. Ceritanya menginspirasi.

    1. Terima kasih, Bu Ditta. Mmg inilah tantangan sebagai guru SD, tidak ada guru BK. Dituntut serba bisa terutama memahami psikologi siswa. Saat ini saya juga masih belajar bagaimana menjadi guru yang dicintai oleh siswa.