Memori Daun Pisang

 

 

Selalu ada hal menarik saat di sekolah. Itu adalah keyakinan yang saya tanamkan di benak kami, saya dan anak – anak yang saya ampu di kelas IV.

Hal ini saya sampaikan di akhir pembelajaran. Terkadang beberapa anak tak sabar menunggu “bocoran” kegiatan yang akan kami kerjakan esok hari. Namun, seperti kebanyakan sutradara sinetron di tanah air, saya lebih suka membiarkan mereka penasaran.

Hujan gerimis tadi pagi, tak urung menyurutkan langkah saya menuju sekolah. Terbayang kembali drama saat menunggu bemo di hari sebelumnya. Tapi, tidak lama saja, sebab dari depan rumah, suara klakson motor terdengar memanggil.

Saya pun tersenyum, rupanya suami mau mengantarkan saya ke sekolah, walaupun kondisi masih hujan. Yess, bye – bye, bemo!

Waktu sudah menunjukkan Pukul 07.30 saat saya tiba di sekolah. Hujan semakin deras, saya pun berlari kecil menuju pintu kelas. Tidak ada satu pun siswa yang terlihat menunggu di sana.

Saya sudah merasa was – was, apakah anak – anak masih tinggal di rumah ?

Satu per satu siswa akhirnya memasuki ruang kelas. Saya pun mengajak mereka untuk beribadah mengawali kegiatan belajar.

Pertanyaan yang Melegakan

Dari balik jendela, saya melihat anak – anak kelas yang lain datang dengan menggunakan payung, jas hujan, dan ada juga yang hanya berjalan begitu saja tanpa memakai payung dan sejenisnya.

Baju seragam basah, mereka terlihat agak kedinginan. Sungguh, saya merasa tidak tega. Namun, apa yang bisa saya lakukan ?

Pemikiran – pemikiran ini terus berkelebat dalam benak saya. Sampai akhirnya saya tidak tahan lagi dan bertanya pada mereka, “Anak – anak, kenapa kalian tetap mau datang ke sekolah walaupun datang dengan basah kuyup karena hujan?” tanya saya.

“Kita suka belajar, Ibu. Kita rasa rugi lagi kalau tidak belajar di sekolah.” Jawab Nagita.

“Tadi pagi saya lambat gara – gara saya bertengkar dengan sa pung mama, Ibu.” Ungkap Nagita.

Sontak kami semua melihat ke arah Nagita yang tampak malu – malu.

“Oh ya, mengapa bisa begitu?” tanya saya.

“Soalnya mama bilang tidak usah pergi sekolah karena hujan. Tapi saya kan mau belajar, Ibu.” Jelas Nagita.

Sesekali ia tampak memainkan pena yang ada di tangannya.

“Nagita, apa yang Mama kamu lakukan juga baik, karena Mama khawatir dengan kondisi hujan ini.” Saya pun mencoba berkomunikasi dengan Nagita.

Nagita tampak menganggukkan kepala sambil tersenyum.

Imajinasi Berbuah Memori

“Anak – anak, saat ini memang sering terjadi hujan. Bahkan kadang hujan datang di pagi hari. Ibu berharap agar kalian dapat memakai jas hujan atau memakai payung jika hendak ke sekolah saat hujan turun. Jika tida ada, gunakan kantung plastik untuk menutup kepala…” saya pun menjelaskan kepada siswa tentang hal sederhana ini.

Namun, anak – anak malah tertawa. Mungkin mereka merasa aneh dengan saran yang saya berikan. Saya pun menjelaskan lagi kepada mereka bahwa penting sekali untuk menutup kepala saat hujan, yaitu agar tidak sakit kepala.

“Waktu ibu SD, ibu hanya menutup kepala saat hujan dengan memakai daun pisang”

Beberapa anak tampak termenung, mungkin mereka sedang membayangkan berpayung daun pisang saat hujan turun.

Cermin Bagi Guru

Memori daun pisang adalah sebuah pengingat bagi kita, bahwa kita harus “menciptakan keadaan” bukan hanya pasrah pada keadaan. Orang yang menciptakan keadaan adalah orang yang inovatif, karena dalam jiwanya ia mempunyai tekad untuk memperbaiki situasi.

Memori daun pisang juga merupakan cara terbaik untuk belajar bersyukur di tengah situasi yang terjadi. Sama halnya ketika di masa pandemi ini, guru dituntut untuk mampu menyelenggarakan pembelajaran yang berkualitas walaupun di tengah segala keterbatasan.

 

Sa pung mama = mama saya

Tinggalkan Balasan