Baru Seminggu Sekolah, Aku Dipindahkan

Humaniora0 Dilihat
Rumah Bako atau keluarga ayahku si Guguak Rang Pisang.

Setelah berapa hari aku sekolah di SD Hilir Lama, aku pergi ke Guguak Rang Pisang, rumah keluarga ayahku, karena aku sudah kangen hendak pergi ke sana. Dengan memberitahu adik sepupuku Fitrizal, pulang sekolah aku langsung pergi ke sana berbarengan dengan anak-anak murid yang rumah orang tuanya di Guguak Rang Pisang. Mereka semua kenal aku sebagaimana aku juga mengenal mereka, karena boleh dikatakan aku hidup bergantian diantara dua kampung ini.

Sebelum pergi ke Guguak Rang Pisang, di Ladang Darek beberapa hari sebelumnya, aku sudah mendengar bahwa aku akan di pindahkan ke Payakumbuh. Katanya aku akan di masukkan ke panti asuhan yang ada di sana. Orang yang akan mengantarkan aku ke panti asuhan itu, namanya amai Tiara. Masih ada hubungan keluarga dengan kami. Tapi rumahnya jauh di Ladang Panjang, sekitar dua kilometer dari rumah kami di Ladang Darek. Persis di kaki Bukit Barisan, antara Jorong atau Desa Solok dengan Jorong Binu. Tempat dimana asal-usul nenek moyang keluarga kami, sebelum pindah ke Ladang Darek.

Amai atau bibi Tiara ini sering bolak balik antara kampung ke Payakumbuh. Ini karena seorang anak perempuannya juga merantau bersama suaminya ke Payakumbuh. Suami anaknya yang juga seorang Datuk atau kepala Suku di Minangkabau, mempunyai toko perabot rumah tangga di sana.

Sampai di Guguak Rang Pisang, keluarga di sana rupanya juga sudah mengetahui tentang hal ini. Ketika salah seorang diantaranya menanyakan padaku, apakah aku mau masuk panti asuhan. Karena pernah pergi merantau sebelumnya dan sudah merasakan bagaimana hidup di rantau, aku hanya tinggal menganggukkan kepala tanpa banyak berkata maupun bertanya lagi. Aku juga merasakan, bahwa tinggal di kampung ini juga hanya tinggal sendiri, karena kakak-kakakku yang laki-laki maupun yang perempuan juga telah pergi merantau semua.

Hari keberangkatanku ke Payakumbuh sudah ditetapkan, yaitu hari Minggu, pas disaat libur sekolah, tapi aku belum diberitahu. Makanya selama menunggu beberapa hari itu, aku tetap dibiarkan pergi ke sekolah. Hari Minggu, pagi-pagi aku dimandikan oleh etekku, adik ayahku yang paling kecil yang saat itu satu-satunya yang belum menikah. Selesai mandi pakaianku di ganti dengan bersih. Suatu yang menguntungkanku punya dua rumah adalah di kedua tempat itu aku punya salinan, walau hanya beberapa lembar.

Selesai bersalin aku  disuruh makan, sebagaimana kebiasaan keluarga kami di sana. Makan pagi dengan nasi yang masih mengebulkan uap panas, untuk melawan hawa dingin Bukit Barisan.  Setelah sarapan, sebuah bungkusan kecil dengan memakai serbet di serahkan ke tanganku. Isinya pakaianku sehari-hari yang hanya beberapa pasang.

Pada saat yang sama, orang yang akan mengantarkanku, juga sudah siap. Beliau suami dari kakak ayahku tertua, namanya Musaham. Sehari-hari aku memanggil beliau dengan panggilan pak Uwo, yang artinya pak tua. Tapi di lingkungan keluarga maupun kampung, beliau di panggil Katik Basa yang sering disingkat Katik. Nama itu adalah gelar adat sebagai mana lazimnya pria dewasa yang telah berkeluarga di Minangkabau, mereka akan diberi gelar adat. Gelar inilah yang wajib di pakai dalam pergaulan sehari-hari, untuk di panggil oleh orang-orang yang berhubungan dengan dia.

Setelah semua siap, akupun berpamitan dengan seluruh keluarga yang ada di rumah gadang itu. Turun dari rumah gadang, Inyiak Aki dan inyiak Uci alias kakek dan nenekku beserta keluarga yang lain, seperti Tuo, AngahEtek serta pak Angah suami Angah, melepas aku berjalan dengan pandangan yang aku tak mengerti artinya.

Sampai di halaman rumah, pak Uwo tidak berjalan lurus melewati jalan kecil yang menuju jalan raya di depan masjid Sofia, tapi beliau mengajakku memutar kekiri melewati samping rumah gadang. Rupanya pak Uwo mengajakku melewati jalan pintas melewati perkebunan yang ada di belakang rumah gadang. Dari sudut belakang rumah gadang, kami menaiki beberapa undakan anak tangga tanah yang ditopang dengan bambu agar tidak longsor. Kami melewati halaman rumah aciak Rohan, tetangga terakhir sebelum kami melewati kebun-kebun yang ada di belakang rumahnya. Rumah itu lebih tinggi dari rumah kami, karena terletak di atas tebing di belakang rumah keluarga ayahku.

Kami berjalan melewati samping rumah bertipe bungkus nasi itu, terus ke belakang dan mulai melewati jalan setapak di tengah kebun yang ditumbuhi beraneka tanaman, pisang, durian, manggis, mangga, alpukat dan pepohonan lain yang tidak menghasilkan buah-buahan namun menjulang tinggi puluhan meter, itulah pohon Surian dan Bayur yang bila sudah cukup umur dan dibutuhkan, lalu ditebang dan dijadikan sebagai kayu untuk bahan bangunan atau perabot rumah tangga seperti kursi, lemari dan sebagainya. Di antara pepohonan itu, sering di tanam tanaman muda seperti jagung, kacang tanah, bayam, terong, cabe, kacang panjang,  singkong maupun ubi jalar, sebagai sumber asupan sayur mayur maupun penganan keluarga.

Jalan setapak itu berujung di sebuah tabek atau tambak ikan. Kami berjalan di pematang yang membatasi tabek yang satu dengan yang lainnya, atau antara tabek dengan sawah. Diantara tabek itu terdapat banda, atau selokan yang berfungsi sebagai saluran air untuk irigasi yang mengairi tabek maupun sawah yang ada di sekitarnya. Sumber air ini berasal dari Bukit Barisan yang berada di belakang kami. Air yang mengalir di banda tersebut begitu jernih, sehingga aku dapat melihat ikan-ikan kecil berenang dan bermain di sana.

Kami mengikuti aliran banda, di sebelah kiriku ada 3 tabek yang berjejer dan di  kanan ada dua. Pemilik tabek ini berbeda-beda, salah satu diantaranya milik keluarga ayahku. Bila libur sekolah, aku sering diajak memancing di sini oleh Azwar, anak pak Uwo yang aku panggil tuan Wan.  Disamping memancing ikan, kami juga sering memancing belut di dinding pematang tabek, atau mencari siput untuk digulai teman makan nasi. Selepas melewati tabek terakhir, di depan kami lalu terbentang sawah yang menghampar luas.

Padi-padi yang sedang menguning itu berayun lembut di tiup angin, daun serta butir padinya yang semakin bernas, basah oleh embun yang menempel. Matahari masih bersembunyi di balik bukit barisan, dia baru akan menyinari desa Guguak Rang Pisang ini nanti menjelang jam 9.

Kakiku basah karena menginjak embun yang menempel di rumput yang tumbuh di pematang yang kami lewati, ditambah lagi embun yang menempel di daun padi di sawah yang terjulur ke pematang itu,  juga meninggalkan rasa perih di kakiku karena sayatan daunnya. Tapi karena sudah terbiasa aku tak begitu menghiraukannya, karena nanti bila air yang menempel di kakiku sudah kering, rasa perih itu akan hilang sendiri.

Setelah mengikuti aliran banda yang mengalir membelah persawahan yang airnya bermuara di agam atau sungai, kami kemudian belok ke kiri. Berjalan di atas pematang di pinggir agam yang berakhir di jalan raya, lalu belok kanan melewati jembatan. Begitu melintasi jembatan, perjalanan menuju masa depan itupun dimulai…***

Tinggalkan Balasan