Beberapa buku populer tentang bagaimana kekuatan berpikir positif banyak beredar. Bahkan buku The Power of Positive Thinking karya Norman Vincent Peale telah menjadi big seller selama lebih dari 50 tahun di Amerika Serikat yang kemudian menyebar ke seluruh dunia termasuk Indonesia (Silahkan cek Google).
Saran yang ingin disampaikan buku tersebut sederhana. Berkata positif pada diri sendiri maka akan membawa efek yang baik. Ketika berkata pada diri sendiri bahwa anda hebat, maka anda akan hebat. Atau ketika mengatakan pada diri anda bahwa anda dapat melakukan segala hal, maka anda akan dapat melakukannya.
Saran ini kemudian diadopsi juga oleh para motivator dan berbagai segmen masyarakat sebagai cara untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik.
Pada beberapa kasus, berpikir positif terhadap suatu hal benar membawa efek positif bagi pelakunya. Mereka mampu memanfaatkan kekuatan pikiran untuk mencapai sesuatu.
Namun demikian, penelitian terbaru menyatakan bahwa tidak semua berhasil memanfaatkan kekuatan berpikir positif.
Penelitian yang dilakukan Wood, et.al yang berjudul Positive self-statements : Power for some, peril for other ( dalam Baron, et.al,
2015 : 145) menyatakan bahwa berbicara positif pada diri sendiri bagi sebagian orang akan berdampak baik, tapi tidak berlaku bagi sebagian lagi.
Berprikir positif akan berguna bagi mereka yang memiliki tingkat kepercayaan diri tinggi. Sebaliknya, bagi mereka yang memandang diri rendah akan menjadi sebuah siksaan tersendiri. Mengapa demikian?
Bagi mereka yang memiliki harga diri tinggi, berpikir positif merupakan bentuk konfirmasi atau akan lebih menguatkan pandangan pada diri yang memang sudah positif.
Tapi bagi mereka dengan tingkat harga diri yang rendah, berkata positif pada diri sendiri akan menunjukan jurang perbedaan antara realitas dan harapan yang ada. Mereka akan semakin menyadari bahwa diri mereka jauh dari “standar” yang berlaku dimasyarakat.
Sebagai contoh, saat wanita gendut yang dalam budaya tertentu gendut dianggap hal tidak bagus, ia berkata pada diri sendiri bahwa dirinya akan menjadi wanita bertubuh langsing. Semakin sering ia berkata demikian, semakin ia menyadari bahwa tubuhnya jauh dari standar budaya dimana ia tinggal.
Semakin sadar akan perbedaan besar yang ada mereka akan semakin merasa tidak bahagia dengan diri sendiri.
Berpikir positif yang seharusnya mampu meningkatkan level kebahagian mereka yang memiliki standar “kurang” justru membuat mereka semakin terluka.
Berkata positif mungkin hanya akan berlaku baik bagi mereka yang sudah memiliki nilai positif pada dirinya.
Tulisan ini juga tayang pada laman jagoanbanten.blogspot.com