Saya berusaha menjadikan tulisan tentang pengalaman tarawih malam-malam Ramadhan khususnya malam-malam terakhir Ramadhan atau Asyrul Awakhir ini benar-benar menjadikannya sebagai hidangan tulisan yang bukan sekedar pengalaman rutin harian, tapi ingin menjadikannya sebagai hidangan akhirat yang kental dengan pengalaman rohani dalam beribadah puasa terutama dalam mengisi malam LAILATUL QODAR. Sungguh hal ini bukan hanya sekedar untuk mengejar rating tulisan tapi lebih kepada jurnalisme warga atau literasi masyarakat yang berorientasi ke langit, bertujuan untuk menguatkan iman dan menebarkan atau menyemai serta menyebarkan benih-benih kebaikan bagi segenap pembacanya.
Maka tulisan dalam seri pengalaman tarawih ini jangan hanya dilihat hanya dari sudut pandang tulisan pada umumnya (memenuhi kebutuhan akal) tapi harus dilihatnya dari sisi khusus (kebutuhan atau kehausan ruhani) kita dalam menjalankan ibadah Ramadhan dengan sesungguhnya. Kita tahu bahwa puasa itu ada tiga tingkatan berdasarkan penjelasan para ulama berdasarkan Kitab Ihya Ulumuddin karya Sang Hujjatul Islam Imam Al-Ghozali yang banyak dikutip oleh para ulama yakni (saya kutif dari beritajatim.com) :
Shaum al-‘Umum
Pada tingkatan ini, orang melaksanakan ibadah puasa hanya sekedar mencegah perut dari makan, minum dan menjaga diri dari godaan syahwat birahi semata. Bahkan model puasa seperti ini ditingkatkan dengan katagori puasa paling rendah dibandingkan dua model puasa lainnya.
Artinya orang yang melaksanakan puasa dengan model ini, yakni berpuasa hanya sekadar memenuhi persyaratan dalam ibadah ini yaitu menahan lapar, haus, dan bersetubuh suami istri di siang hari. Mereka tetap mendapatkan balasan pahala, namun hanya sedikit.
Sehingga umat Islam harus senantiasa menjaga puasa mereka agar tidak hanya sekadar menjalankan rutinitas semata, atau sekadar menggugurkan kewajiban. Seperti Sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam; ‘Begitu banyak orang berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga belaka’.
Shaum al-Khusus
Model ini puasa tidak hanya sekadar menahan diri dari makan, minum dan bersenggama. Namun juga menahan indera dan alat gerak lainnya dari melakukan berbagai hal yang dilarang syariat. Mulai dari pendengaran, penglihatan, ucapan, hingga gerak tangan dan kaki diusahakannya agar tidak sampai melakukan tindakan maksiat.
Untuk bisa masuk pada tingkatan ini, seorang muslim sedikitnya harus menjaga diri sekaligus menjauhkan diri dari 6 (enam) jenis perbuatan berikut: Pertama, menahan diri dari melihat, memandang segala hal yang dicela dan dimakruhkan yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat Allah.
Kedua, menjaga lidah dari perkataan sia-sia seperti mengumpat, berbohong, berkata keji, ucapan yang dapat merenggangkan persaudaraan, ucapan kebencian, atau mengandung riya’. Sehingga seorang muslim yang berpuasa lebih baik berdiam diri dan menggunakan waktu untuk berzikir kepada Allah maupun membaca Al-Qur’an.
Ketiga, menjaga pendengaran dari mendengar kata-kata yang tidak baik. Ucapan yang haram diucapkan, haram pula untuk didengarkan. Keempat, mencegah anggota tubuh lain dari perbuatan dosa dengan menghindari dari segala sesuatu yang makruh, mencegah perut mengonsumsi hal syubhat saat waktu berbuka.
Kelima, tidak berlebihan saat berbuka puasa hingga perut penuh dengan makanan. Sebab perut yang penuh sesak dengan yang halal (dalam konteks berbuka puasa), berbahaya. Sebab seorang tidak mungkin mendapatkan faedah puasa jika saat tiba waktu berbuka, ia hanya mengincar apa yang tidak didapat saat berpuasa.
Keenam, mempunyai hati yang diliputi rasa cemas dengan penuh harap karena ketidaktahuan (apakah puasanya diterima atau tidak). Sehingga seorang muslim harus senantiasa berikhtiar memperbaiki diri dengan tidak berpuasa pada model dan tingkatan yang dilakukan.
Shaum al-Khusus al-Khusus
Model puasa ini merupakan level puasa para Nabi, orang-orang shalih hingga para kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebab pada tingkat puasa ini, hati juga berpuasa dari segala cita-cita hina, termasuk melepas dari segala pikiran duniawi, serta mencegah dari sisi lain selain Allah Subhanabu wa Ta’ala.
Bahkan dalam tingkatan puasa ini, orang yang berpuasa tidak rela saat mereka justru lalai mengingat Allah ‘Azza wa Jalla. Sebab fokus ibadah puasa yang dilakukan pada tingkatan ini hanya semata-mata mengharap Ridha Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga puasa level ini masuk katagori tingkatan paling utama
Sejalan dengan itu maka Allah SWT berfirman dalam surat Fathir (35) ayat 32 :
“kemudian kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang Menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan[1260] dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang Amat besar.”
[1260] Yang dimaksud dengan orang yang Menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya, dan pertengahan ialah orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang kebaikannya Amat banyak dan Amat jarang berbuat kesalahan.
Terkait dengan tiga golongan di atas maka sang penceramah tarawih malam ke-22 menguatkan kembali dengan memberikan qultum tarawihnya di Musholla Al-Jihad RT.01 RW.12 Kelurahan Perwira Kecamatan Bekasi Utara Kota Bekasi (lokasinya persis di depan atau sebrang gerbang kecamatan Bekasi Utara). Pengalaman ini sama sekali baru bagi saya di Ramadhan 1442 baru kali ini shalat tarawih di musholla ini dan saya mendapatkan kesan yang baik dari suasananya. Sang imam diambil dari luar imam yang biasanya ada di musholla ini yaitu empat imam yang berbeda, lalu digilir masing-masing selama empat hari-empat hari.
Musholla ini juga ternyata adalah memiliki nilai sejarah bagi keluarga mertua saya karena yang mewakafkan tanah untuk mushola itu (Wa Hajah Aisah) adalah termasuk keluarga dari mertua dan istri saya adalah menjadi salah satu cucunya yang sangat disayangi oleh Wa Hajah Aisah tersebut. Sehingga dia lebih banyak tinggal di rumah Wa Hajah Aisah dibandingkan dengan tinggal di rumah orangtuanya sendiri.
Selainsuara tilawahnya yang merdu sang imam setelah shalat tarawih sebanyak 20 rakaat dan sebelum witir 3 rakaat memberikan qultum tentang 3 nasehat Nabi SAW kepada para sahabatnya:
- Bertaqwalah kalian dimana saja kalian berada
- Peliaharalah shalat lima waktu
- Tunaikanlah zakat
Semoga dengan tiga nasehat tadi lalu dilaksanakan dan ditunaikan secara konsisten maka “Hayatan Toyiibah” atau “Baldatun Toyibah” yang kita cita-citakan dapat terwujud dengan baik. Mari kita isi sisa-sisa malam akhir bulan Ramdhan dengan melaksanakan sunah-sunah puasa terutama ibadah yang namanya i’tikaf. Karena ibadah i’tikaf adalah ibadah yang unik, kenapa unik? karena ibadah ini selain tak mengenal waktu, ia juga hanya mengenal satu tempat tidak bisa di tempat sembarangan yaitu masjid atau musholla yang dikhususkan untuk shalat atau ibadah. Seain itu ibadah i’tikaf ini bisa diisi dengan variasi ibadah mulai dari shalat, tadarus, dzikir doa atau amal shaleh lainnya. Wallahu a’lam.