Suaka Margakata
Dilema Seputar Penggunaan Diksi Arkais
Oleh: Erry Yulia Siahaan
Sumber: https://www.slideserve.com/macha/diction
Dalam ilmu bahasa dan kreasi sastra, diksi memegang peranan penting dalam menunjang efektivitas dan keberhasilan penyampaian pesan dari penulis kepada pembaca. Diksi bisa diartikan sebagai pilihan kata dalam tulisan. Dalam teori, pemilihan diksi idealnya berdasarkan unsur ketepatan, kebenaran, dan kelaziman kata. Pemilihan diksi yang kurang tepat diyakini dapat memperlebar kesenjangan antara penulis dan pembaca, tepatnya antara ketersampaian pesan dengan tingkat interpretasi yang tercipta di antara pembaca.
Sebagaimana diketahui, dalam sebuah karya, diksi memiliki sejumlah fungsi. Pertama, untuk membantu pembaca memahami apa yang ingin disampaikan oleh penulis melalui karya tersebut. Kedua, menjadikan komunikasi antara penulis dan pembaca menjadi lebih efektif. Dalam hal ini, jurang kesalahpahaman dan ketidaktersampaian pesan bisa dicegah atau paling tidak dikurangi. Ketiga, memungkinkan pembaca benar-benar menikmati karya tersebut dengan pemilihan diksi yang tepat dan estetis.
Berdasarkan teori tersebut, kita bisa membuat parameter untuk mengetahui apakah suatu karya sudah cukup baik dalam aspek diksinya atau justru belum/tidak. Misalnya, dengan parameter kelaziman diksi yang ada dalam tulisan, selain unsur ketepatan dan kebenaran diksi.
Namun demikian, bisa terjadi bahwa seorang penulis menggunakan diksi yang tidak lazim untuk memperkuat daya pikat tulisannya. Bisa saja penulis tersebut ingin menghiindari penggunaan kata yang berulang, untuk mencegah kebosanan. Mungkin juga untuk memperkenalkan gaya kepenulisannya, sebagai gaya yang berbeda dari yang lain. Atau, untuk ikut meramaikan nuansa literasi di Indonesia dengan memunculkan (kembali) kata-kata yang tidak lazim tadi.
Di satu pihak, ini memang berisiko. Bisa jadi, pembaca menjadi keteter dalam upaya memahami makna pesan penulis melalui diksi tersebut. Ini bisa menyebabkan pembaca malah meninggalkan tulisan itu.
Di pihak lain, terdapat kemungkinan bahwa pembaca justru menjadi penasaran dan malah mencari makna diksi yang tidak lazim tersebut. Ini bisa terjadi manakala pembaca mengenal siapa penulis, di mana penulis biasanya sudah cukup dikenal akan karya-karyanya yang cukup baik, sehingga pembaca percaya pemilihan diksi sudah diperhitungkan masak-masak. Jika ini yang terjadi, maka tulisan sebagai media edukasi berhasil mencapai tujuannya.
Dilema Diksi Arkais
Tampak bahwa ketika kita membahas keinginan menggali kembali kata-kata arkais sehingga dikenal lagi di masyarakat, kita berhadapan dengan semacam dilema. Di satu sisi, kita ingin ikut menggali kata-kata arkais untuk memperkaya khasanah literasi di Indonesia. Juga, mungkin untuk menegaskan gaya kepenulisan kita, menghindari repetisi kata yang sama, dan sebagainya. Di sisi lain, penempatan diksi arkais bisa saja menjadi buah simalakama bagi tulisan kita, terlebih bila kita kurang hati-hati dalam pemilihan dan penempatannya.
Dilema terjadi manakala ada konflik antara suara hati dan logika. Kebingungan terjadi karena outcome yang dicerna dan diolah oleh logika tidak sama dengan dorongan nurani yang terikat pada hal-hal yang ideal. Jawabannya berpulang pada individu masing-masing. Tidak ada keharusan untuk memakai diksi arkais dalam karya-karya kita. Ini hanya wacana. Yang memang tidak mudah untuk dilakukan. Tetapi, ideal untuk dipertimbangkan. ***
#Lomba Blog PGRI Bulan Februari 2021
#Hari ke-5, Jumat, 5 Februari 2021