KMAC H-43 Redundant 38: “Wabah Putih” yang Terus Mengintai

Redundant 38:

“Wabah Putih” yang Terus Mengintai

Seorang wanita muda yang sakit-sakitan duduk di balko, dibayangi oleh maut yang berdiri di sampingnya sebagai representasi dari tuberkulosis. Lukisan cat air R. Cooper tahun 1912 (Sumber: Wellcome Collection/Science Museum)

Ia termasuk salah satu penyakit tertua dalam sejarah manusia. Ia masih tetap ada dan mengintip kelemahan kita. Sejak dulu kita mengetahui, ia ancaman yang mampu menghancurkan masa depan seseorang. Mengapa ia masih tetap ada? Jawabannya ada pada kita.

Kita menyebutnya tuberkulosis atau disingkat TB. Dulu, kita mengenalnya sebagai TBC. Penyakit ini sebenarnya dapat dicegah, diobati, dan disembuhkan. Faktanya, hingga kini ia masih menyita perhatian, lantaran ia begitu bersifat menghancurkan. Sekali seseorang terinfeksi, jika menyangkal ataupun mengakui lalu mau berobat tetapi lalai atau tidak disiplin dalam meminum obat, penyakit ini siap menelan kehidupannya, menggerogoti mata pencariannya, dan akhirnya mempengaruhi perekonomian dalam skala lebih luas.

Target Strategi Global untuk TB yang sudah disusun menuju 2030 dinilai sudah tidak lagi cukup untuk menyebut TB sebagai “sejarah”. Pasalnya, pandemi Covid-19 telah memporakporandakan pencapaian-pencapaian yang sebelumnya telah diraih dalam memerangi TB. Pelayanan kesehatan banyak tersita untuk menangani pandemi. Ruang gerak untuk merangkul pengendalian TB menjadi serba terbatas. Monitoring pengobatan TB tidak selancar sebelumnya. Surveilans ikut terkendala. (Baca: TB, Urusan yang Belum Selesai)

Angka insidensi TB dan kematian yang diakibatkannya kini dinilai memprihatinkan. Itu sebabnya, WHO merancang rencana aksi yang baru untuk menyusun kekuatan yang lebih serius dan lebih solid guna mengkompensasi “ketertinggalan” yang terjadi. Antara lain, rencana membuat vaksin TB yang baru dan lebih efektif guna memperketat upaya pencegahan TB.

Rencana Global untuk Mengakhiri TB 2023-2030 menyebutkan, dalam 200 tahun terakhir, penyakit ini telah merenggut lebih dari satu miliar jiwa. Sekarang, ia dikenal sebagai pembunuh lebih dari 4.100 orang setiap hari.

Kita berkejar-kejaran dengan waktu untuk bisa benar-benar memutus matarantai penularannya. Vaksin yang ada sekarang dinilai sudah tidak mampu lagi mengungguli siasatnya. Diperlukan terobosan baru, termasuk vaksin baru dan kemitraan yang lebih solid.

Faktor manusia memegang peranan penting. Penderita dituntut disiplin dalam meminum obat. Yang bersangkutan harus rela menerima fakta bahwa dirinya menderita TB, untuk kemudian memproteksi diri dari risiko menularkan kuman pada orang lain. Stigma dan diskriminasi terhadap pasien TB juga harus disingkirkan, guna memaksimalkan upaya pengendalian TB.

Tuberkulosis kini bukan lagi penyakit “orang miskin” sebagaimana sempat menjadi label dalam sejarah kehidupan. Ia bisa ada dalam tubuh siapa saja dan menimbulkan beban baru dalam hidup yang bersangkutan dan orang-orang di sekitarnya.

Pria yang menderita tuberkulosis paru. Ilustrasi dari Kranken-Physiognomik oleh von K. H. Baumgärtner, 1929. (Sumber: Wellcome Collection/Science Museum)

Penyakit dengan Banyak Nama

Istilah “tuberkulosis” sudah dipakai oleh Johann Schonlein pada 1834, meskipun kuman penyebabnya yang disebut Mycobacterium tuberculosis diduga telah ada selama 3 juta tahun. Pada 24 Maret 1882, Dr. Robert Koch mengumumkan penemuan Mycobacterium tuberculosis, bakteri penyebab TB. Tanggal inilah yang kemudian diperingati sebagai Hari TB Sedunia sejak 1982, atau 100 setelah Koch mengumumkan penemuannya itu.

Sebelumnya, penyakit ini memiliki banyak nama. Ia disebut “phthisis” (dalam bahasa Yunani kuno), “tabes” (Roma kuno), dan “schachepheth” (Ibrani kuno). Pada 1700-an, TB disebut “white plaque” atau “wabah putih” karena kepucatan yang lazim ditemukan pada pasiennya. Ia juga disebut sebagai “maut putih”.

Pada abad ke-19, ia disebut “consumption” karena sifatnya yang menggerogoti penderitanya hingga mengalami kehilangan banyak berat badan. Ia masih disebut dengan julukan itu, bahkan setelah Schonlein menamakannya “tuberkulosis”. Selama ini, TB juga disebut sebagai “kapten” dari semua “mayat hidup” (sebab penderita tak ubahnya seperti “manusia-manusia mati” karena kurus dan pucat).

Selama Abad Pertengahan, ada penyakit yang disebut TB leher dan kelenjar getah bening, yang dinamai “scofula”. Scofula diyakini sebagai penyakit yang berbeda dengan TB pada paru-paru.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (Centers for Disease Control and Prevention atau CDC) Amerika Serikat mengatakan, saat ini istilah TB merujuk pada kasus TB pada paru-paru  dan di luar paru-paru, serta cara mengobatinya. Cara mengobati di sini mencakup kasus-kasus yang rentan terhadap obat, yang resistan terhadap satu jenis obat, yang resistan terhadap banyak obat, dan yang resistan terhadap obat-obatan pada skala luas.

Dr. Robert Koch (Sumber: CDC AS)

Rencana Global 2023-2030

Selama ini, TB membunuh satu dari setiap tujuh orang yang tinggal di Amerika Serikat dan Eropa. Untuk kurun waktu 2023-2030, WHO memperkirakan penderita TB ada 43 juta orang dan 6,6 juta di antaranya akan meninggal. Selain banyak nyawa akan hilang karenanya, penyakit ini juga menelan biaya ekonomi global 1 triliun dolar AS.

Rencana Global untuk Mengakhiri TB berisi langkah-langkah strategis untuk menghindari semua itu. Ia merupakan cetak biru tindakan prioritas dan perkiraan rinci dana yang diperlukan untuk mengakhiri TB.

Rencana Global mencakup sumberdaya yang diperlukan untuk perawatan dan pencegahan TB, serta untuk penelitian dan pengembangan penanganan TB. Rencana Global ini memuat Investasi Dana Global dan pembahasan G20 tentang TB pada 2022. Ia merupakan dokumen kunci untuk menginspirasi dan menyatukan upaya global, termasuk untuk persiapan Pertemuan Tingkat Tinggi PBB tentang TB tahun 2023 ini.

Suntikan BCG pada bayi untuk mencegah TB. (Sumber: TB Alert)

Pencegahan TB

Pencegahan TB selama ini menggunakan vaksin yang dikembangkan sejak 101 tahun yang lalu. Untuk itu dipandang perlu dana lebih besar untuk penelitian dan pengembangan vaksin TB yang baru dan yang lebih efektif pada 2025.

Seluruh dunia dinilai perlu terlibat untuk mencapai target TB global.

“Untuk setiap satu dolar AS yang diinvestasikan dalam penanganan dan pencegahan TB, akan ada pengembalian investasi sebesar 40 dolar AS,” kata WHO dalam Rencana Global tersebut.

Saat ini kita masih menggunakan vaksin Bacillus Calmette–Guérin (BCG) – vaksin yang digunakan sejak 1921 – untuk mencegah TB. Vaksin ini diberikan satu kali, yakni pada bayi baru lahir atau selekasnya sebelum bayi berusia satu bulan. Jika sudah berusia dua bulan atau lebih, vaksin BCG diberikan dengan terlebih dulu dilakukan uji tuberkulin untuk memastikan bahwa hasil uji negatif. Vaksin dilakukan melalui suntikan pada kulit.

Vaksin ulangan pada orang dewasa bisa diberikan pada yang berusia 16 tahun, dengan pertimbangan orang tersebut berisiko tinggi terpapar kuman penyebab TB, misalnya petugas kesehatan di rumah sakit yang berisiko terpapar.

Vaksin BCG adalah vaksin dari bakteri Mycobacterium bovis yang dilemahkan. Mengutip WHO, sebuah situs mengatakan, daya perlindungan dari vaksin ini bervariasi antarlokasi geografis, namun belum diketahui mengapa efek proteksinya ada yang gagal pada manusia. Menurut situs TB Alert, vaksin BCG 80% efektif mencegah TB selama 15 tahun, lebih efektif melawan bentuk kompleks TB pada anak-anak, efektivitas terbatas pada orang di atas usia 35, kurang efektif bila diberikan di daerah khatulistiwa (karena tingginya tingkat kemunculan mycobacteria di lingkungan secara alami).

Pencegahan TB juga bisa dilakukan dengan mengurangi risiko penularan melalui udara setelah pasien batuk atau bersin. Yakni dengan mengusahakan ventilasi udara yang memadai. Sebab, kuman TB bisa bertahan di udara sampai berjam-jam dalam ruangan yang tidak ada ventilasi udaranya. Sinar matahari juga baik untuk membunuh bakteri penyebab TB.

Selain itu, pasien perlu melakukan langkah-langkah higienis, misalnya memakai masker, menutup mulut dan hidung ketika batuk atau bersin. Itu untuk mengurangi penyebaran kuman penyebab TB melalui udara. Mereka juga perlu melakukan tindakan lain yang diperlukan untuk menurunkan risiko penularan, termasuk memeriksakan diri secara teratur pada pusat pelayanan kesehatan.

Pengobatan TB

Pengobatan TB menjadi upaya yang juga penting. Jika ada gejala batuk tidak sembuh-sembuh, sebaiknya seseorang segera memeriksakan diri dan mengikuti protokol yang direkomendasikan oleh petugas kesehatan. Diagnosis sedini mungkin akan membuat peluang pengobatan menjadi lebih besar. Sebaliknya, penyangkalan akan membahayakan diri sendiri, bahkan diri orang lain, karena risiko penularan menjadi lebih besar.

“Seorang penderita TB bisa menularkan penyakit kepada 10-15 orang lain setiap tahun,” kata situs TB Alert.

Pengobatan dini dilaporkan dapat menghentikan status menular setelah pasien meminum obat selama dua minggu secara teratur atau disiplin. Namun, meskipun merasakan kondisinya lebih enak, pasien tidak boleh lalai untuk meneruskan meminum obatnya hingga tuntas sesuai batas waktu yang direkomendasikan. Jika lalai atau putus obat, penyakit bisa kambuh kembali. Yang lebih membahayakan adalah timbulnya kuman yang resisten terhadap pengobatan. Ini mempersulit, bahkan menjadi momok berat, dalam pemberantasan TB.

Peringatan Hari TB Sedunia setiap 24 Maret bertujuan mendidik masyarakat tentang dampak TB di seluruh dunia, mengenai kehancuran yang disebabkan olehnya dan bagaimana menghentikannya. Penemuan Dr. Koch dinilai langkah paling penting menuju pengendalian dan pemberantasan penyakit yang mematikan ini. Namun demikian, selama TB belum berhasil diberantas, peringatan Hari TB Sedunia tidak akan pernah menjadi sebuah “perayaan kemenangan”. ***

Tinggalkan Balasan