Saya Dipanggil “Ompung”

Ompung tertawa bahagia sambil menggendong cucunya pada perayaan Paskah Anak Sekolah Minggu di HKBP Cibinong Ressort Cibinong, Sabtu (15/4). (Foto: Ratna Siahaan/Dokumentasi pribadi)

Saya Dipanggil “Ompung”

Oleh Erry Yulia Siahaan

Tak terkata bahagianya saya sepulang dari gereja, Sabtu (15 April) lalu. Bolak-balik saya disapa dengan panggilan “Ompung” oleh anak-anak yang sedang merayakan Paskah.

Memang sebelumnya, ketika memberikan sambutan, saya berpesan kepada mereka untuk memanggil saya dengan “Ompung” jika nanti atau pada hari lain bertemu saya, di mana pun. Rambut saya sudah banyak memutih.

Usia saya di atas usia rata-rata ibu-bapak mereka. Saya juga sudah tergabung dengan kelompok paduan suara lanjut usia, di mana anggotanya ada yang menjadi ompung (kakek-nenek) mereka. Jadi, saya merasa, sebutan “ompung” lebih tepat buat saya bagi mereka. Toh, tidak lama lagi saya memang bergelar resmi “ompung” setelah cucu pertama saya lahir.

Tak butuh waktu lama, sekelar saya bicara di dekat altar, pesan saya menjadi kenyataan. Di pintu keluar gereja, saya langsung disapa demikian. Berkali-kali. Bahkan, ada anak-anak yang memanggil saya “Ompung” sambil menyentuh dan menggoyang baju atau badan saya dan menengadahkan kepala ke arah saya dengan tawa manis.

“Ompung,” kata seorang anak usia taman kanak-kanak.

“Ompung,” kata yang lain yang duduk di sekolah dasar.

Tentu saja, saya balas merespon dengan senyum tak kalah hangat. Senyum lepas yang benar-benar ikhlas, sembari menyapa dengan satu-dua kata agar mereka ikut merasakan sukacita dalam hati saya.

Sulit digambarkan dengan kata-kata. Hati saya meluap-luap, sama girangnya ketika tempo hari saya mendengarkan ada melodi dalam diri saya sewaktu tidur hingga saya terbangun karenanya.

***

Hari itu adalah perayaan Paskah Anak Sekolah Minggu (ASM) di HKBP Cibinong Ressort Cibinong. Sekitar 250 anak menghadiri acara sekitar empat jam itu bersama orangtua, saudara, dan kakek-nenek mereka. Cucu dari Pdt. Dr. T. Hutahaean juga hadir, bersama ompung doli-nya. (Ompung doli berarti kakek).

Inang Pdt. Dr. T. Hutahaean berbahagia saat menilai telur hias anak-anak kelas besar. (Foto: Ratna Siahaan/Dokumentasi pribadi)

Seperti biasa, acara diawali dengan ibadah. Lagu-lagu dalam ibadah sangat ceria. Nyanyian tersebut mudah sekali menularkan rasa girang kepada anak-anak dan keluarga. Saya bersama para ompung dan orangtua ikut bergerak-gerak dan bernyanyi menirukan gerakan guru sekolah minggu (GSM) dan anak-anak.

Hari itu, saya diminta memberikan kata sambutan mewakili orangtua dan jemaat.

Inang, tolong kasih sambutan ya,” kata Kak Martha, salah seorang GSM.

Saya semula menolak. Saya merasa kurang pantas mewakili orangtua dan jemaat, karena siapalah saya, begitu pikiran saya. Masih banyak yang lain yang bisa mewakili.

Kak Martha bersikeras meminta. Akhirnya, saya iyakan. Saya berpikir, ya sudahlah, mungkin ini bagian dari rencana Tuhan buat saya.

Terus terang, saya bingung. Mesti memberikan sambutan seperti apa. Yang saya hadapi anak-anak dan orangtua, juga penatua gereja dan pendeta. Saya harus lebih banyak merujuk sambutan saya kepada siapa, begitu pikiran saya. Kepada anak-anak, orangtua, ataukah siapa?

Setahu saya, sebuah sambutan biasanya berisi kata syukur kepada Allah, lalu ucapan terima kasih dan kesan-pesan untuk acara. Itulah yang terbersit dalam benak saya.

Setibanya saya di depan anak-anak, konsep itu hilang. Saya otomatis bak seorang guru yang sedang berdiri di hadapan anak-anak seperti pengalaman saya mengajar di sekolah dasar.

“Shalom,” kata saya.

“Shalom,” kata anak-anak.

“Shalooom,” ulang saya, berharap respon yang lebih keras dan penuh semangat dari anak-anak.

“Shalooom,” kata mereka.

Saya pun makin bersemangat. Begitulah,sambutan saya akhirnya merujuk pada anak-anak dan orangtua, penatua, dan pendeta. Saya akhirnya juga bisa menitipkan pesan yang menurut saya krusial. Yakni, agar talenta anak-anak dan rasa percaya diri mereka yang mulai tumbuh “disirami”, “dirawat” baik-baik, agar “benih-benih” atau “bibit-bibit” itu bisa bertumbuh dengan baik.

Saya pulang dengan bahagia. Benar, Tuhan mempunyai rencana. Hati saya dibuat-Nya bertambah sukacita – emosi jiwa yang tidak bisa dibeli dengan uang. Suatu anugerah.

Saya bersyukur tidak jadi menolak permintaan panitia untuk memberikan sambutan. Anugerah tidak hanya datang berupa uang atau kekayaan atau jabatan atau kekuasaan. Anugerah menjadi kenyataan ketika kita bersikap menerima dan percaya. Tuhan Maha Baik. Dia tidak pernah mengecewakan. ***

Tinggalkan Balasan