Selibat Pemerdeka Keluarga

Women Bible. (Foto: Freepik)

Selibat Pemerdeka Keluarga

Oleh Erry Yulia Siahaan

Nama aslinya Desmi Perina. Nama indah yang jarang ada. Entah mengapa dia dinamakan demikian. Kata “Desmi” mungkin karena dia kelahiran Desember. Sedangkan “Perina”, belum terjawab. Jika dihubungkan dengan nama sebuah studio rekaman, kurang masuk akal. Perina lahir pada 1954, sedangkan studio itu baru ada pada 1960an.

Perina gemar lagu-lagu balada, berbahasa Inggris atau Indonesia, dengan kaset berlabel “Perina”. Skeeter Davis dan duet Muchsin Alatas-Titiek Sandhora ada dalam koleksinya.

Perina berparas cantik, beralis tebal, bermata bundar nan indah. Kulit putih bersih membungkus tubuh sintalnya. Rambutnya lebat, panjang, lurus, tergerai hingga pinggang. Perina sangat cerdas, bahkan diakui genius. Nilai 10 bertebaran dalam rapornya. Dia selalu juara umum di sekolah.

Sangking penasaran dengan prestasi Perina, juga kakak dan dua adiknya yang selalu memimpin kelas, gurunya menyempatkan diri berkunjung ke rumah. Mereka terkejut mendapati Perina tinggal di salah satu deretan rumah kecil-kecil yang berhimpitan, bersama orangtua, satu kakak, tujuh adik, dan beberapa saudara dari kampung.

Ayahnya pegawai biasa. Ibunya mengurus rumah tangga. Bagaimana cara dia belajar, pikir gurunya. Selain rumahnya sempit, Perina bersama kakak sulungnya harus ikut merawat adik-adik mereka yang masih kecil. Mereka disiplin, rajin, ingin menjadi teladan bagi adik-adik.

Dengan listrik yang sering hidup-mati, prestasi Perina terbilang sangat menonjol, baik sebagai pelajar maupun penyuka sastra. Dia bintang kelas, juara umum, juara baca puisi, dan gemar menari. Karakternya yang menyolok adalah santun, suka menolong orang, dan rendah hati.

***

Usianya 18 tahun, ketika menjelang ujian akhir kelas tiga Sekolah Asisten Apoteker, dia jatuh sakit. Serius. Ususnya busuk 15 sentimeter. Berulangkali diopname. Hingga suatu kali dia tidak sadarkan diri, koma. Dokter angkat tangan.

Ketika tidak sadar, dia bergumam, dia akan kembali dan sembuh. Kapan waktunya? Tidak diberitahukan. Tetapi, dia mengingatkan keluarga untuk terus-menerus berdoa.

Keluarga bergantian berjaga. Saat ini berdoa bersama, saat lain bergiliran jaga sambil berdoa. Demikian pengaturannya. Doa tetap berjalan, keluarga tetap ada yang terjaga. Hingga pada suatu saat, doa berjeda. Yang menjaga tertidur. Menjelang Perina sadar, ada keluarga yang menengoki kamar. Mendapati tidak ada yang berdoa, dia bergegas menghimpun yang lain untuk sama-sama berdoa.

Perina masih tertidur. Sebuah mahkota sudah siap ditaruhkan ke kepalanya, ketika dia akhirnya membuka mata dan kembali sadar.

“Hampir terlambat,” lirihnya saat “kembali”.

Keluarga bertangisan. Histeria, membayangkan mereka nyaris terlambat dan tersadar hanya selang beberapa menit sebelum Perina “kembali”.

Perina bercerita, dia dibawa ke suatu tempat, yang membuatnya senang. Sebuah mahkota sudah siap ditaruh di kepalanya, ketika akhirnya dia “kembali”. Pada saat itulah dia menemukan keluarganya sedang berdoa. Jika mahkota itu sampai ke kepalanya, kata Perina, mungkin dia “tidak kembali”.

“Nama saya sekarang Junianti Indah Triana,” katanya seraya menambahkan, nama itu diberikan oleh Tuhan untuknya.

***

Begitulah, Perina menjadi Triana. Ususnya tidak jadi dipotong. Dia kembali sehat. Beberapa kali terjadi keajaiban. Orang sakit yang tanpa sengaja disentuhnya menjadi sembuh.

“Mungkin kamu harus melayani Tuhan dengan talenta menyembuhkan,” kata ibunya.

Suatu kali, dengan naluri keibuan Triana membawa adik bungsunya yang masih bayi dalam doa pada sebuah kebaktian akbar yang didengarnya mengadakan karunia kesembuhan. Dia pergi ke stadion Senayan, dari mana dia kemudian menaikkan doa untuk adiknya yang mengalami pembesaran di bagian kemaluan. (Hal ini mengejutkan keluarga, karena Triana jemaat setia gereja konvensional dan belum pernah mengikuti ibadah karismatik.)

Triana menopangkan tangan ke “tubuh adiknya”, sewaktu hamba Tuhan dari podium (dari jauh) berdoa dan memberikan berkat kesembuhan. Sepulang ibadah, adiknya benar-benar dipulihkan. Sekarang, adiknya itu perwira tinggi di kemiliteran.

Tentang perkataan ibunya, Triana bukan tidak mendengarkan. Dia mempunyai pemikiran lain, yang menurutnya sama penting, yaitu membantu ekonomi keluarga.

Dia memutuskan menjadi selibat, meski tanpa pakaian identitas. Tidak menikah. Dia bisa menjadi ibu bagi keluarga dan banyak orang. Bukan ibu kandung atau ibu sambung, tetapi tak kalah penting.

Dia tetap cantik dan cerdas. Beberapa kali ada yang melamar. Dia merespon dengan senyuman.

Sewaktu ayahnya memasuki masa pensiun, dengan ibu yang tidak bekerja, Triana sadar, uang pensiun ayahnya dan gajinya tidak akan cukup untuk keperluan keluarga. Adik-adiknya yang sudah sembilan orang, banyak yang masih bersekolah atau kuliah.

Triana lebih giat bekerja. Dia membuka wirausaha konveksi bersama ayah dan dua pamannya. Dia mengikuti kursus memasak dan les menjahit. Adik-adiknya senang mendapatkan baju Natal dan ulangtahun darinya. Tidak jarang, untuk menghemat bahan, kakak-beradik tampil dengan baju seragam saat Natal atau acara lain. Dia juga menjahitkan baju untuk di rumah, beribadah, maupun kuliah.

Triana pernah melanjutkan sekolah pada usia lebih dari 30 tahun. Namun, itu dilakukannya untuk memotivasi sahabatnya yang cacat fisik, agar tetap semangat mengikuti dan menyelesaikan pendidikan kejar paket C.

***

Sehari-hari, Triana makan sampai piringnya bersih. Dia tidak banyak berbicara, tetapi saudara-saudaranya tahu, dia sedang memberi teladan melalui setiap kebiasaannya. Jika ada makanan sisa, disimpannya di kulkas. Besoknya, dia memasak ulang baginya. Untuk yang lain, dia menyediakan yang terbaik, yang baru.

Triana rajin di dapur. Dia jago masak. Tangannya juga dikenal “dingin” sebagai perawat tanaman.

Suatu hari dia didiagnosis mengidap diabetes. Heran, karena dia paling tidak suka yang manis-manis. Dia meminum obat setiap hari. Beberapa tahun kemudian, dia juga diketahui mengidap penyakit ginjal dan jantung. Keluarga heran, karena Triana rajin berjalan kaki dan banyak minum air putih.

Semua dijalaninya tanpa banyak bicara.

Hari berlalu. Kebutuhan uang membengkak. Beberapa adiknya kuliah serentak. Kakak pertama dan adik nomor tiga sudah menikah, hidup pas-pasan. Adik nomor empat mengenyam studi ke jenjang lanjutan. Yang lain masih kuliah dan sekolah.

Suatu hari, tetangga ke rumah, menangis, meminjam uang untuk membayar hutang. Hatinya tersentuh. Dia mencarikan pinjaman, yang ternyata tersendat-sendat pelunasannya, hingga Triana yang mengambilalih beban itu.

Dia membuka percetakan, karena bisnis konveksinya berhenti akibat ada orang dalam yang “curang”. Dia membayari hutang akibat kerugian. Sendirian, setelah ayahnya meninggal. Tanah dan emas-berlian simpanan hasil usaha kala jaya-jayanya, terjual satu persatu.

Triana membanting tulang, namun tidak pernah mengeluh. Dia kerapkali berbicara empat mata dengan ibunya, soal keuangan keluarga. Tidak ada adiknya yang boleh tahu. Dia ingin semua adiknya fokus pada sekolah.

Dia seperti tidak memikirkan kebutuhannya sendiri. Yang serba-murah untuknya, yang terbaik untuk keluarga. Ketika rumah kebakaran, seisinya ludes, Triana tidak mengeluh. Dia mencari pinjaman ke sana ke sini dan dari tahun ke tahun tutup-gali lubang.

Triana ikut berkontribusi untuk urusan di luar sekolah, untuk ibu, adik-adik, dan kerabatnya. Termasuk untuk urusan pernikahan, kematian, adat, dan lainnya. Saudara dari kampung masih silih berganti datang dan pergi. Jika ada yang bertamu, Triana wajib menjamu.

“Karena belas kasihan,” kata Triana ketika suatu kali ditanya mengapa dia mau membantu begitu banyak orang, padahal dirinya sendiri kekurangan.

Suatu hari, Triana divonis harus cuci darah. Dia menjalaninya dengan tabah. Ketika tunnel untuk cuci darah dilakukan di paha, yang terkenal paling sakit dari seluruh prosedur, Triana tidak mengeluh. Juga ketika prosesnya dipindahkan ke bagian leher kanan, yang risih dan sakit.

Dua tahun, kondisinya makin parah. Bibirnya tertutup rapat, kendati kondisinya memburuk dari waktu ke waktu: pergelangan kakinya terkilir dan tidak mungkin dipasangi pin lalu digips; terkena stroke, tangan kanannya lunglai; jari kakinya luka, tidak sembuh-sembuh, menghitam, akhirnya diamputasi (satu jari menjadi dua, hingga dia berkata “tidak” untuk jari ketiga).

Berkali-kali kondisi sulit terjadi, berkali-kali Triana memenangi situasi. Selagi kaki dan tangannya masih bisa bergerak, dia bekerja. Sekalipun di kursi roda dan sebelah tangan lunglai, dia tetap ke dapur, memasak. Di meja makan, dia menyiangi wortel dan sayuran lain untuk diolah.

Pada hari-hari terakhirnya, Triana kurang nafsu makan. Sering mual dan muntah. Dia melemah. Di rumah sakit, dia gelisah, tetapi tidak mengeluh.

Dia masih berusaha menggeser-geser tubuh. Keluarga membantu. Hingga pada suatu titik, matanya yang besar bundar tidak menutup lagi. Begitu cantik. Mata superindah, yang melahap derita keluarga dan menyimpan sejuta rahasia tentang kepenatannya.

Dia tertidur. Kali ini tidak terbangun.

Triana adalah selibat. Tidak bersuami, tidak beranak. Tapi, banyak yang melayat. Menghormatinya sebagai pahlawan, pemerdeka. Tidak hanya dari materi, tetapi juga kasih sayang dan keteladanan.

Orang-orang bangga padanya. Saya juga. Saya adalah adiknya. ***

Tinggalkan Balasan