Pekerja difabel ikut lomba
Oleh : Erwan M
Pada tahun 2015 penulis menemui dua penyandang cacat tuna daksa di kota Pekalongan, Jawa Tengah . Mereka adalah M. Isa yang ketika itu berusia 34 tahun dan Munawir 33 tahun, berprofesi sebagai pembuat duplikat kunci. Mereka menjadi sosok pekerja mandiri, karena tersubumbatnya akses pasar kerja sektor bagi penyandang disabilitas. Mereka membuka lapaknya di jalan Gatot Subroto yang sibuk
Keduanya memilih profesi sebagai pembuat duplikat kunci sebagai pilihan hidupnya, dari pada menjadi pekerja di perusahaan. Bukannya karena sebagai penyandang disabilitas, mereka sulit mencari pekerjaan. Tetapi dengan ketrampilan yang dimiliki, mereka yakin bisa mandiri yaitu menjadi tukang bikin duplikat kunci rumah, lemari dan mobil. Mereka memilih berusaha sendiri sebagai jalan hidupnya. Pilihan ini mereka rasakan tepat, karena mampu memberikan penghasilan yang cukup untuk hidup sederhana.
Ketrampilan membuat kunci duplikat diperoleh M. Isa dari bapakya, pembuat kunci duplikat di pasar senggol, di kios Sugi Waras, dekat alun – alun kota Pekalongan, Jawa Tengah.
Semula, hanya bantu – bantu orang tuanya . Sepulang sekolah dia mampir di kios Sugi Waras, milik bapaknya, seorang pembuat kunci duplikat di kota Pekalongan.
Dari hanya sekedar bantu – bantu, M. Isa akhirnya mahir membuat kunci duplikat. Selepas lulus SMA dia langsung terjun sebagai pembuat duplikat kunci, sekaligus meneruskan usaha bapaknya .
Usaha membuat duplikat kunci sebagai pilihan utamanya setelah lulus SMA. Tidak ada dalam pikirannya untuk mencari kerja di perusahaan atau usaha lain. Sebagai penyandang disabilitas, dia merasa lebih pas menekuni usaha sendiri ketimbang mencari pekerjaan. Dari pada mencari kerja, lalu ditolak lebih baik berusaha sendiri.
Hal yang disukurinya adalah, sejak kecil dia memperoleh pengetahuan dan ketrampilan dari orang tuanya tentang cara membuat duplikat kunci. Pengetahuan ini akhirnya menjadi bekal baginya menjadi pekerja mandiri, tidak bergantung pada orang. Sehingga ketika masuk usia dewasa, dia tidak takut memasuki pasar kerja. Sebab dia merasa telah memiliki ketrampilan yang dapat diandalkan untuk mencari nafkah.
Semula dia meneruskan usaha bapaknya di pasar senggol, dekat alun – alun kota Pekalongan. Setelah berjalan dia membuka lagi kios baru di jalan raya Gatot Subroto, pusat kota yang cukup ramai ,hanya selemparan batu jaraknya dari stasiun kereta api Pekalongan.
Di tempat ini, pelanggan terus bertambah sehingga dia mengajak temannya,Munawir juga penyandang cacat tuna daksa, untuk berusaha dan membuat duplikat kunci.
Sehari , M. Isa dan Munawir memperoleh order pembuatan duplikat kunci 4 hingga 10 buah , terbanyak membuat duplikat kunci pintu rumah dan lemari pakaian. Sisanya adalah duplikat kunci mobil.
Awalnya, mereka hanya menerima pembuatan duplikat kunci rumah atau kunci lemari. Karena alat yang dimilikinya hanya alat manual. Namun setelah mendapat bantuan peralatan pembuatan duplikat kunci terbaru dari Dinas Sosial, Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kota Pekalongan, mereka menerima pembuatan duplikat kunci mobil.
Dengan dua alat ini, M. Isa dan Munawir bisa mengerjakan duplikat kunci pintu rumah, kunci lemari dan kunci mobil. Kunci mobil keluaran tebaru pun sudah bisa mereka lakukan. Tarifnya untuk kunci pintu rumah Rp 25.000 per buah dan kunci mobil Rp 100.000.-
KONDISINYA MASIH SAMA
Narasi tujuh tahun lewat itu ternyata keadaannya masih sama dengan kondisi yang terjadi pada tahun 2022 ini. Penyandang disabiitas masih sulit mengakses pasar kerja dan mereka memilih jadi pekerja mandiri, meski tingkat pendidikannya cukup memadai untuk bekerja di sektor formal.
Upaya pemerintah untuk membuka sumbatan pasar kerja bagi penyandang disabilitas boleh dibilang hanya terjadi dibidang regulasi. Ketika narasi dihadapi M.Isa dan Munawir, kala itu payung hukum yang memberikan akses bagi penyandang disabilitas ke pasar kerja adalah Undang – Undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Disabilitas. UU telah megaskan bahwa penyandang disabilitas berhak untuk memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak, dan mendapat perlakuan yang sama, dan tanpa diskriminasi. setiap perusahaan harus mempekerjakan sekurang-kurangnya 1 orang penyandang disabilitas untuk setiap 100 orang pekerja perusahaannya. Jadi, minimal 1% lowongan kerja harus diberikan kepada penyandang disabilitas.
UU itu kini telah diganti dengan UU No 8 Tahun 2016 yang lebih progresif memberikan kesempatan yang sama bagi penyandang disabilitas yaitu dengan mewajibkan pemerintah, pemerintah daerah, badan usaha milik negara dan milik daerah wajib mempekerjakan difabel sebanyak 2 % dari jumlah karyawannya dan 1 % Bagi perusahaan swasta. Regulasi itu diperkuat lagi dengan turunnya sejumlah aturan .
PERSOALAN UTAMA
Persoalan utama dihadapi penyandang disabilitas produktif hingga saat ini adalah tersumbatnya akses ke pasar kerja. Penyebabnya antara lain masih adanya stigma dan perlakuan diskriminatif serta kurangnya aksebilitas dari perusahaan atau penyedia lapangan kerja.
Isu mempekerjakan penyandang disabilitas masih dianggap tidak popular dan kurang signifikan untuk ditangani. Ada sikap dari sementara perusahaan bahwa lowongan kerja untuk orang normal saja diperebutkan dan melimpah peminatnya. Buat apa mempekerjakan penyandang disabiitas. Belum lagi beban yang harus dipikul yaitu menyiapkan sarana dan prasana khusus mulai dari membuat jalur atau jalan dan kamar mandi khusus bagi pekerja penyandang disabilitas.
Pemerintah sendiri terlihat sangat aktif memberikan kesempatan pada penyandang disabilitas dan berusaha hadir dengan mengeluarkan berbagai regulasi dan program dalam rangka penempatan dan pemberdayaan tenaga kerja disabiitas produktif. UU No 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas sebagai payung hukum kuat mewajibkan perusahaan baik BUMN/BUMD serta swasta mempekerjakan penyandang disabiitas. Pasal 53 UU itu mewajibkan Pemerintah, Pemerintah Daerah, BUMN dan BUMND untuk mempekerjakan paling sedikit 2 % penyandang disabilitas dari jumlah pegawai atau pekerjanya. Sedangkan untuk perusahaan diwajibkan mempekerjakan 1 % dari jumlah pekerjanya. UU itu diikuti dengan keluarnya aturan turunannya berupa Peraturan Pemerintah (PP) No 60 Tahun 2020 tentang Unit Layanan Disabilitas di Bidang Ketenagakerjaan ; PP No 70 Tahun 2019 tentang Perencanaan, Pelaksanaan, dan Evaluasi, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabiitas; PP No 52 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Disabiitas; PP No 13 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak untuk Peserta Didik Penyandang Disabilitas ; PP No 39 Tahun 2020 tentang Akomodasi yang Layak dalam Proses Peradilan bagi Penyandang Disabilitas; PP No 42 Tahun 2020 tentang Aksebilitas terhadap Pemukiman,Pelayanan Publik dan Perlindungan dari Bencana bagi Penyandang Disabilitas; Perpres No 67 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Penghargaan dalam Penghormatan , Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas; Perpres No 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas; Peraturan Menteri Kesehatan No 21 Tahun 2017 Tentang Penerbitan Kartu Penyandang Disabilitas, Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Informasi Lowongan Kerja bagi Penyandang Disabilitas.
Salah satu point esensial dari UU No 8 Tahun 2016 adalah memperoleh pekerjaan yang diselenggarakan oleh pemerintah, pemerintah daerah, atau swasta tanpa diskriminasi.
UU dan aturan turunannya begitu ramah terhadap penyandang disabilitas. Namun yang jadi pertanyaan kenapa masih sulitnya penyandang disabilias mengakses pasar kerja. Data Sakernas – BPD pada 2017 menunjukkan jumlah penyandang disabilitas yang berumur 15 tahun ke atas mencapai 20.575.229 orang atau 10.71 persen dari jumlah penduduk usia kerja. Yang masuk pasar kerja hanya sebesar 9.459.491 orang atau hanya 45.98 persen dari penduduk usia kerja penyandang disabiitas. Dari jumlah itu yang bekerja sebesar 9.127.218 orang sedangkan 332.273 orang atau 3.51 persen menganggur.
Berdasarkan data Susenas (2020), terlihat bahwa sekitar 8,5% (22,2 juta) penduduk Indonesia mengalami kondisi disabilitas. Dilihat secara struktur usia, penyandang disabilitas paling banyak berada di rentang usia 60 tahun ke atas yang mencapai lebih dari 40%. Penyandang disbilitas pada rentang usia 19-59 tahun persentasenya di atas 6% atau lebih dari 15,4 juta jiwa di mana kelompok usia ini masuk dalam kategori usia produktif yang berhak bekerja atau melakukan aktivitas ekonomi untuk mendapatkan penghasilan.
Sedangkan penyandang difabel yang bekerja berdasarkan data di Kementerian Ketenagakerjaan menunjukan selama tahun 2021 terdapat 5.825 penyandang disabilitas bisa bekerja dengan layak. Jumlah ini meliputi 1.271 penyandang disabilitas telah bekerja di 72 Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan 4.554 penyandang disabilitas telah bekerja di 588 perusahaan swasta.
Apa penyebab tersumbatnya pasar kerja bagi penyandang disabilitas ?. Hemat penulis setidaknya empat faktor penyebabnya.Yaitu stigma, tingkat pendidikan, skill dan lemahnya perencanaan SDM.
Nunu Nurdyana, Sektetaris Yayasan Wahana Inklusif Indonesia mengamini 4 faktor ini. Betul faktor ini jadi tantangan bagi penyandang disabilitas bisa mdengakses pekerjaan di sektor formal. Stigma ini berdampak pada hal-hal lainnya. Akibatnya mereka tidak memperoleh pendidikan yang baik.
Yayasan Wahana Inklusif yang bergerak di pendidikan penyandang disabilitas mendapati, terkadang di keluarga sendiri berpendapat jika diberi pendidikan tidak ada manfaatnya . Akibatnya penyandang diaabilitas tidak memperoleh pendidikan. Padahal jika ada akses pendidikan, kata Nunu Nurdaya, penyandang disabilitas itu bisa mandiri dan tidak jadi beban.
Baginya, selain soal pendidikan, yang harus jadi konsen adalah mempersiapkan lingkungan kerja . Jika penyandang disabilitas berpendidikan dan memiliki skill, namun jika lingkungan kerja belum terima disabilitas yang memiliki kelebihan dan kekuarangannya, hal ini jadi menghambat bagi mereka di dunia kerja. Lingkungan tidak bisa akomodasi,maka disabilitas sulit beradaptasi dengan lingkungan. Contoh disabilitas netra, mereka telah diberikan pendidikan dan kemampuan bagus,tetapi lingkungan tidak melengkapi mereka dengan softwere bicara. Begitupula pada penyandang disabilitas lainnya.
Stigma bahwa penyadang disabilitas tidak produktif masih sulit dihilangkan dari masyarakat, termasuk para pemberi kerja. Padahal untuk bidang terentu diakui pekerja difabel memiliki keunggulan seperti pengoprasian teknologi informasi atau pekerjaan di bidang digital.
Semua pihak terutama pemerintah, dunia usaha, sektor pendidikan dan pelatihan, lembaga CSO membuka akses bagi penyandang disabilitas agar bisa masuk ke pasar kerja di sektor formal maupun informal. Keberpihakan diperlukan agar kelompok ini menjadi produktif dan tidak jadi beban masyarakat dan pemerintah.
Erwan mayulu, penulis ketenagakerjaan