ABK korban TTPO
Oleh: Erwan Mayulu
Presiden Joko Widodo pada Rabu (8/6/2022) lalu
menandatangani Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2022 tentang Penempatan dan Perlidungan Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran.
PP 22/2022 ini merupakan turunan dari Pasal 64 UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. PP ini juga diterbitkan untuk melindungi awak kapal niaga dan awal kapal perikanan dari perdagangan manusia, perbudakan dan kerja paksa, korban kekerasan, kesewenang-wenangan, kejahatan atas harkat dan martabat manusia serta perlakuan lain yang melanggar hak asasi manusia.
Penerbitan PP 22/2022 ini merupakan momentum terbaik bagi seluruh Kementerian/Lembaga (K/L) terkait untuk membangun sinergitas dan kolaborasi dalam rangka perbaikan tata kelola penempatan dan pelindungan awak kapal migran di masa depan.
Sinergitas diperlukan karena pembinaan dan pengelolaan PMI tidak hanya menjadi tanggung jawab Kemnaker, Kementerian Luar Negeri dan BP2MI, namun terdapat K/L lainya yang juga memiliki tanggung jawab tehadap perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja ( Binapenta dan PKK) Kemnaker, Suhartono menyatakan pihaknya bersama Kemlu dan BP2MI intens terus melakukan koordinasi dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kementerian Perhubungan untuk segera menyusun Peraturan turunannya.
Dengan koordinasi diharapkan dapat menurunkan dan meminimalisasi permasalahan PMI khususnya Awak Kapal Niaga Migran dan Awak Kapal Perikanan Migran, ” ujarnya.
KE ARAH LEBIH BAIK
Bagi pelaku usaha,seperti dikemukakan Rochmat Saido saat dihubungi penulis,Minggu (10/7/2022) ,hadirnya PP 22 Tahun 2022 diyakini akan membawa perbaikan ke arah lebih baik bagi perlindungan awak kapal niaga dan awak kapal perikanan.
Hanya saja PP ini perlu ditindaklanjuti dengan koordinasi antara lembaga terutama dengan instansi yang menjadi pintu terakhir pemberanfkatan ABK yaitu imigrasi di bandara dan pihak syahbandar di pelabuhan.
Selain itu soal pengawasan pemerintah terhadap perusahaan harus lebih diintensifkan dengan tindakan tegas.
Pengawasan ini diperlukan karena di lapangan banyak terjadi perusahaan – perusahaan tanpa ijin resmi dari pemerintah memberangkatkan awak kapal.
Selama ini,pengurusan pemberangkatan awak kapal ke luar negeri dapat dilakukan di dua instansi.Yang satu melalui Kementerian Perhubungan bagi perusahaan yang memiliki Surat Ijin Usaha Perekrutan Awak Kapal (SIUPAK) dan lewat pintu Kementerian Ketenagakerjaan/Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia yang memiliki Surat Ijin Usaha Penempatan (SIUP) PMI.
Proses penempatan awak kapal bagi perusahaan pemegang SIUPAK ,syaratnya sangat sederhana.Cukup perlihatkan tandatangan kontrak dan sigil buku pelaut.
Untuk mendapatkan SIUPAK tidak dipersyaratkan deposito perusahaan,tetapi cukup perlihatkan dana setor di bank sebesar Rp 750 juta.Dana itu bisa dicairkan atau digunakan perusahaan setelah SIUPAKnya keluar.
Sementara bagi pemegang SIUP yang dikeluarkan Kemnaker selain punya persyaratan dokumen yang cukup banyak dan proses birokrasi juga mutlak ada deposito disetorkan di bank yang ditunjuk sebesar Rp 1,5 miliar yang hanya dapat dicairkan jika ada masalah dengan PMI di luar negeri atau perusahaan tutup.
Sebagian perusahaan pemegang SIUPAK merasa berat dengan jumlah deposito disetor itu.Namun PP 22/2022 memberikan kesempatan selama 2 tahun untuk menyesuaikan dengan persyaratan deposito.
Bagi Rochmat Saido,dengan keluarnya PP ini maka pihaknya akan mengikuti proses penempatan awak kapal melalui pintu Kementerian Ketenagakerjaan.Karena aturan ini telah mengakhiri dua lisme dan pro kontra soal apakah awak kapal sebagai PMI atau bukan.
Karena dalam proses pembuatan PP telah melibatkan Kementerian Perhubungan dan kementerian/lembaga non kementerian lainnya.
Rochmat melihat SIUP PMI adalah kontrol pemerintah terhadap ABK selama bekerja di kapal.
Pro kontra terhadap status ABK apakah sebagai pekerja migran atau bukan terjadi dengan alasan yang cukup. Yang menyatakan bukan PMI bepegang pada
Konvensi International Labour Organization atau ILO No. 143 Tahun 1975 Artikel 11 yang menyatakan istilah tenaga kerja migran tidak diberlakukan terhadap pelaut.
Begitupula tempat kerja mereka berbeda. ABK berlayar dan tidak menetap di suatu wilayah,sementara pekerja migran bekerja menetap di suatu negara dalam waktu lama.
ABK yang berpegang pada Konvensi ILO adalah para awak kapal niaga.
Namun bagi Rochmat, dikotomi ini dia kesampingkan.Baginya SIUP PMI adalah kontrol dan perlindungan bagi pekerja.
Yang harus dilakukan pemerintah adalah, selain pengawasan dan tindakan tegas bagi perusahaan tanpa ijin, juga mempermudah proses
penempatan.Dia menunjuk pembuatan ID yang mensyaratkan di domisili ABK. Mestinya ID itu dapat diurus di mana saja.
Juga persyaratan lainnya yang tidak diperlukan oleh ABK.
Karena untuk menjadi ABK telah memenuhi persyaratan untuk bekerja di kapal ,juga permintaan penggunaan ABK itu umumnya dalam waktu singkat sudah harus berangkat.
Begitu pula soal asuransi atau jaminan sosial.ABK telah diasuransikan bersama kapal ( satu kesatuan kapal dan crew) dengan nilai pertanggungan sebesar 25.000 – 30.000 dolar Amerika. Jauh dibandingkan dengan kewajiban ikut BPJamsostek yang iuranya hanya ratusan ribu rupiah.
Terkait asuransi untuk kapal niaga sudah menjadi satu kesatuan dgn asuransi kapal, yang di tanggung oleh pihak prinsipal, dan untuk kapal perikanan asuransi di tanggung oleh pemilik kapal yang nilai pertanggungannya sesuai degan aturan perhubungan 25.000-30.000 dolar Amerika.
Sebenarnya dengan menggunalan siuppak penempatan awak kapal perikanan sudah sangat baik, begitu pula nanti jika ini benar” berubah ke Kementerian Tenaga kerja maka apa yang sudah di lakukan maka tinggal melanjutkan skema yang sudah di terapkan oleh kementerian perhubungan
Pada intinya adalah perlindungan terhadap para pekerja di sektor kelautan.
Menurut Rochmat, skema pemberangkatan abk ke negara tujuan harus special karena antara pekerja didarat dan laut jauh berbeda karena pekerja di laut terkadang permintaan mendadak dan harus dikirim secepatnya . Kekurangan tenaga kerja berpengaruh terhadap jalannya pekerjaan di atas kapal. Sudah benar jika mau diambil alih ke skema P3MI seharusnya prosesnya disamakan dengan proses saat ini yg menggunakan SIUPAK dari perhubungan laut.Demikian pendapat Rochmat.
Erwan Mayulu,Penulis Ketenagakerjaan