“Jangan sembunyikan kebenaran dan tegakan keadilan”

Terbaru544 Dilihat

Nama : Ezzah El Diyana

Kelas : 1A

NIM : 21015

“Jangan sembunyikan kebenaran dan tegakan keadilan”

Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi bangsa Indonesia mempunyai nilai nilai yang wajib diterapkan dalam kehidupan sehari – hari. Kandungan dari sila – sila Pancasila secara garis besar terbagi atas beberapa tingkatan yang pertama adalah nilai dasar , instrumental dan praktis . Pancasila juga mengandung nilai moral dan norma yang harus diterima oleh seluruh warga negara karena hal tersebut menjadi landasan bagi kehidupan bersama di Indonesia. Meskipun Pancasila terdiri dari lima sila berbeda tetapi semua saling melengkapi dan menjadikan Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh untuk jadi pedoman kehidupan Bersama di Indonesia.

Oleh karena itu kita sebagai generasi milenial harus mengamalkan sila-sila tersebut. Salah satu nya sila ke-2 butir 8 yang berbunyi menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Masih segar dalam ingatan, ketika belum lama ini salah satu lembaga pendidikan tinggi swasta di Bali diterpa isu tak sedap yang ditulis melalui surat kaleng dengan mengatasnamakan mahasiswa. Surat kaleng itu ditulis karena mahasiswa melihat ada praktik ketidakjujuran di lembaga pendidikan tersebut. Kasus tersebut menunjukkan bahwa dunia pendidikan kita telah dikelilingi oleh kebohongan. Kebohongan telah berhasil mengalahkan nilai-nilai kejujuran. Tak mengherankan, jika mahasiswa yang berani mengungkap kasus ketidakjujuran itu, menjadi musuh mereka yang berperilaku tidak jujur. Praktik ketidakjujuran di lembaga pendidikan tinggi itu bisa berupa manipulasi data dan jual beli skripsi. Manipulasi data itu bisa berupa memberikan nilai kepada oknum mahasiswa yang tak pernah mengikuti perkuliahan, termasuk mengatur strategi bagaimana agar mahasiswa itu bisa lulus cepat. Caranya? Bisa dengan memberikan nilai fiktif tanpa proses yang seharusnya dan yang paling sering ditemukan adalah mengakui calon mahasiswa sebagai mahasiswa pindahan. Padahal, calon mahasiswa itu mungkin saja tidak pernah kuliah, namun mengaku pindahan dari perguruan tinggi lain. Hanya dengan kuliah satu atau dua tahun, sudah bisa meraih gelar sarjana. Kasus ini sebenarnya sangat mudah dilacak melalui Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti). Namun, kembali lagi karena oknum tersebut memiliki otoritas dan kekuasaan, sering kali petugas yang bertugas di bagian pelaporan data dibuat tak berdaya, meski tahu ada kebohongan dan ketidakjujuran. Kasus kebohongan dan ketidakjujuran yang sering menerpa di dunia pendidikan tinggi adalah adanya praktik jual beli skripsi. Kita paham, kemampuan membuat karya ilmiah semacam skripsi dan tesis atau bahkan disertasi adalah salah satu standar yang harus dipenuhi calon sarjana sesuai dengan strata gelar keilmuan yang akan disandangnya nanti. Praktik jual beli skripsi ini tentu saja akan melahirkan sarjana-sarjana ”abal-abal” atau palsu yang meraih gelarnya dengan membeli karya ilmiah yang seharusnya dibuat sendiri. Praktik jual beli skripsi di lembaga pendidikan tinggi ini, menunjukkan ada pihak baik dosen atau oknum tertentu yang melacurkan harkat dan martabat akademiknya hanya untuk mendapatkan uang atau keuntungan lainnya. Disadari atau tidak, praktik ketidakjujuran ini telah menjerumuskan anak bangsa, di mana seharusnya para calon sarjana bisa membekali diri dengan kemampuan membuat karya ilmiah, ternyata telah terjebak dalam kebodohan ketika dia berhasil memperoleh gelar sarjana dengan karya ilmiah yang dia beli, sehingga kemampuannya sebagai sarjana dipertanyakan, karena ketidakmampuannya membuat karya ilmiah yang sudah seharusnya menjadi tugas para ilmuwan atau sarjana. Pembuatan karya ilmiah ini juga bertujuan untuk menumbuhkan etos ilmiah di kalangan mahasiswa, sehingga tidak hanya menjadi konsumen ilmu pengetahuan, tetapi juga mampu menjadi penghasil (produsen) pemikiran dan karya tulis dalam bidang ilmu pengetahuan, terutama setelah penyelesaian studinya, sesuai dengan kemampuan yang telah dimiliki dengan tingkat pendidikan yang telah diselesaikan, sehingga ijazah yang didapat benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Sepertinya nilai kejujuran dalam dunia pendidikan masih menjadi sesuatu yang amat mahal. Kejujuran mudah dikatakan, tetapi sesungguhnya sangat sulit diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Kebohongan atau ketidakjujuran itu, sepertinya sudah dianggap lumrah. Inilah sesungguhnya penyebab utama permasalahan bangsa ini. Kejujuran saat ini seperti barang langka yang sulit untuk ditemui. Maraknya kasus korupsi yang sulit dicegah dan diberantas adalah karena hilangnya kejujuran. Kebohongan telah membuat setiap orang gelap mata terhadap harta yang bukan miliknya. Bahkan, kebohongan telah membuat mereka tak gentar dalam menghadapi proses hukum. Sulit dibayangkan, apa jadinya jika budaya kebohongan dan ketidakjujuran itu terjadi di lembaga pendidikan tinggi. Mahasiswa yang sudah rajin kuliah dan belajar dengan sungguh-sungguh di rumah, akan merasa sia-sia saja melakukan itu, kalau dilihat temannya yang malas dan tak pernah belajar dengan baik bisa mendapat nilai baik dan lulus cepat karena berduit dan memberikan uang sogokan kepada oknum tertentu di lembaga pendidikan tinggi tempatnya menuntut ilmu. Tatkala kejujuran telah hilang dan sulit ditemukan lagi, maka kebenaran dan keadilan akan makin sulit dirasakan. Saya selalu teringat dengan pernyataan dari Bung Karno yang fenomenal yaitu, ”Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya”. Dari pernyataan itu, kita selalu diajak untuk mengenal dan  meneladani sikap para pahlawan. Mereka telah berjuang mati-matian dengan senjata seadanya sekalipun nyawa menjadi taruhannya. Tak ada kata pamrih dalam aksi mereka, yang ada hanyalah sebuah kemerdekaan. Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, sifat kepahlawanan itu sesungguhnya sangat identik dengan berani berbuat benar dan berkata jujur. Sebagai generasi penerus bangsa, sudah seharusnya kita memiliki karakter tersebut dan dapat mengimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari, bukan malah sebaliknya. Meneladani sifat pahlawan juga berarti kita harus mengisi kemerdekaan ini dengan hal-hal yang positif. Hal ini dikarenakan, perjuangan para pahlawan untuk mencapai kemerdekaan itu membutuhkan waktu dan pengorbanan yang tak ternilai, bahkan nyawa menjadi taruhannya. Sebagai generasi penerus bangsa, sudah seharusnya kita bisa memberikan makna baru kepahlawanan dan mengisi kemerdekaan sesuai perkembangan zaman. Jadilah pahlawan dengan meniru semangat juang para pahlawan kita yang telah gugur dengan berkontribusi terhadap perkembangan bangsa Indonesia. Bangsa ini membutuhkan banyak pahlawan untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara yang damai, adil, sejahtera dan tentunya jujur. Lantas apa yang harus kita lakukan? Sebagai generasi penerus bangsa sudah seharusnya kita bersikap berani atau tegas dalam bertindak dan mengambil keputusan secara tepat dan benar. Sikap pantang menyerah menghadapi kegagalan dan terus berupaya hingga mencapai keberhasilan serta rela berkorban, yakni bersedia dengan ikhlas memberikan waktu, tenaga, pikiran, hingga harta untuk kepentingan orang lain dalam hal kebaikan. Kita juga harus berani membela kebenaran dan keadilan. Keberpihakan pada kebenaran dan keadilan ini, akan membuat kita menjadi generasi penerus bangsa yang lebih bertanggung jawab, menghargai orang lain, dan peduli dengan sesama. Di samping itu, sikap cinta Tanah Air harus tertanam kuat di kalangan generasi muda. Kita harus siap untuk mengabdi, membela, memelihara, dan melindungi Tanah Air dari segara bentuk ancaman dan selalu menjaga persatuan dan kesatuan bangsa. Sikap ini sangat penting dimiliki warga negara Indonesia untuk mempertahankan kemerdekaan dan kesejahteraan bersama. Jadilah pahlawan yang dimulai dari diri sendiri dengan selalu mengajak orang lain selalu berbuat dalam kebaikan dan yang paling penting selalu mengingatkan tentang radikalisme, ancaman dari diri sendiri maupun ancaman dari luar. Dengan kata lain, menjadi pahlawan di era milenial ini tak perlu lagi angkat senjata. Hanya diperlukan keberanian untuk mendobrak kebiasaan, berani berkata benar, berani jujur, berani mengorbankan diri sendiri dan membela kepentingan lebih besar.

 

Tinggalkan Balasan