Ale Rasa Beta Ju Rasa (Refleksi Perayaan R.A.Kartini)

Humaniora51 Dilihat

Euforia perayaan Hari Raya R.A.Kartini menggaung di setiap pelosok nusantara. Irama-irama kesetaraan gender, semakin hari semakin menampilkan hasilnya.

Bukti dari kesetaraan gender dari zaman R.A.Kartini hingga hari ini adalah pendidikan. Dewasa ini, pendidikan bagi perempuan sudah memberikan grafik yang signifikan, seiring pola pikir (mindset) yang bertransformasi menuju kehidupan bebas bertanggung jawab.

Ale rasa beta ju rasa adalah bahasa populer di tanah kelahiranku (Kupang-Timor-NTT) yang berarti apa yang kamu rasa, sama seperti yang saya rasakan. Atau dalam Filsafat Liyan adalah diriku ada di dalam diri orang lain. Lebih tepatnya, kita harus berempati dalam memajukan kesetaraan gender.

Kesetaraan gender mulai tercipta di bumi nusantara, tatkala Megawati terpilih sebagai presiden perempuan pertama di Indonesia zaman reformasi. Cikal bakal terpilihnya Megawati, memang menuai pro dan kontra. Tapi yang terpenting adanya kesetaraan gender di dalam ruang publik.

Dari Megawati, muncullah tokoh-tokoh perempuan dalam lingkup pemerintahan, hingga kini Tri Rismaharini yang menahkodai Mensos. Terpilihnya Mensos Risma juga menuai pro dan kontra. Akibatnya, ia difitnah sebagai pencari sensasi.

Apa itu sensasi?

Sensasi adalah rumor yang bertujuan untuk memberikan kekacauan psikologis rakyat di dalam ruang publik. Dan yang menciptakan sensasi adalah mereka segelintir orang penyembah hirarki oligarki ataupun tirani pemerintahan masa kini.

Bila saya berkaca dari sudut Filsafat, ada ungkapan yang menarik dari salah satu Filsuf yakni “Kekuasaan cenderung mereduksi orang hanya untuk berpikir tentang popularitas, ketimbang peduli tentang substansi masalah. Bersikap reaksioner ketimbang reflektif, mengumbar nafsu daripada menahan diri. Dan narsisme ketimbang memiliki rasa kepedulian.”

Kita semua diajak untuk peduli pada kesetaraan gender. Karena semua orang itu saat dilahirkan tidak pernah memilih untuk jadi laki atau perempuan. Kelahiran bukan perkara keterlemparan kita dari rahim seorang ibu, melainkan kelahiran itu adalah anugerah.

Mengapa dikatakan anugerah?

Karena hidup ini adalah bukan tentang perlombaan, melainkan tentang perjalanan. Perjalanan berarti kita diajak untuk setia kawan, saling menghormati demi tujuan human interest atau nilai-nilai kemanusiaan dalam ilmu jurnalistik.

Lalu kapan nilai-nilai kemanusiaan itu diperjuangkan?

Pertanyaan kapan, tentu jawabannya pun sangat berfariasi. Karena ini tentang persepsi atau pandangan setiap orang dalam memaknai waktu.

Bagi saya waktu yang tepat untuk menyetarakan gender adalah berawal dari keluarga. Terkesan kecil dan remeh temeh, tapi, segala sesuatu itu berawal dari hal yang kecil.

Bila dalam keluarga kita sudah saling memaafkan, menghormati antar saudara kandung. Niscaya alam bawah sadar kita akan selalu terkoneksi, tatkala kita bersentuhan dengan orang lain.

Selain itu, sebagai momen peringatan wanita inspiratif dan tangguh R.A. Kartinii, kita diajak untuk merenungi hal apa saja yang telah kita lakukan. Terutama kepada martabat perempuan di dalam lingkungan kita.

Sebagai penulis, kita tidak hanya mengandalkan data empirik, melainkan kita harus memiliki intuitif, refleksi, kritis tapi santun di zaman digital.

Di manakah wadah yang tepat bagi kita untuk melatih naluri intuitif, reflektif dan kritis?

Zaman digital telah melahirkan bejibun wadah atau lapak online bagi siapa saja untuk berlatih softskill dan hardskillnya. Yang terpenting, kita memiliki semangat ingin tahu. Layaknya para filsuf dari zaman Yunani kuno hingga post-modern.

Bagaimana perasaan kita sejauh ini dalam memaknai perayaan Hari R.A Kartini?

Saya sangat senang, bangga dan ikut terharu, tatkala melihat perempuan-perempuan tangguh zaman now mulai eksis dalam bidang apapun.

Kemajuan ini berkat pola pikir (mindset) untuk mengalahkan sesuatu, demi kemajuan bangsa kita. Wanita juga manusia yang punya rasa. Sebagai lelaki, kita tak seharusnya mendiskriminasi wanita di dalam runag publik.

Yang kita butuhkan adalah saling bersinergi untuk bekerja sama dalam menciptakan peradaban di dunia literasi.

Salam wanita tangguh pemilik masa depan dan peradaban dunia. Ale rasa beta ju rasa.

Frederikus Suni
Jakarta, 21/4/2021

Tinggalkan Balasan