Novel : Kisah Cinta Jomlo Pesantren (7)

KMAB, Novel277 Dilihat

Ilustrasi cover novel Kisah Cinta Jomlo Pesantren (Foto by Ajinatha).

Novel Kisah Cinta Jomlo Pesantren ini ditulis khusus dalam rangka mengikuti program KMAB yang diselenggarakan oleh Yayasan Pusaka Thamrin Dahlan mulai 7 Juli 2022 – 17 Agustus 2022. 

BACA JUGA : Kisah Cinta Jomlo Pesantren (1). 

Episode 7 

Beberapa kali aku kembali bertemu dengan Mikayla. Keakraban diantara kami semakin terasa. Terakhir kembali ketemu dia di Perpustakaan Pusat. Saat itu aku sempat minta maaf karena masih belum bisa berkunjung ke rumah kostnya.

Duduk mengobrol sambil bercanda ringan, rasanya aku semakin tidak percaya jika Mikayla adalah ‘ayam kampus’ yang bisa dipesan lewat online.

Berbincang dengannya terasa nyaman. Aku betah setiap dia tersenyum, betapa indah lukisan senyum di bibirnya. Aku harus jujur bahwa gadis berkulit putih ini memiliki segala aura kecantikan wanita.

Postur tubuh tinggi cukup berisi merupakan daya tarik siapapun yang mengaku sebagai lelaki. Termasuk aku, jomlo pesantren yang harus berkali-kali menghindar dari tatapan yang bisa menjebak dosa.

Memandang seorang Mikayla bagiku seperti sebuah ujian iman. Berpakaian dengan cara sopan saja, setiap lelaki tetap saja memandang Mikayla dengan rasa yang berbeda.

Saat makan siang di Kantin Rumah Sakit, aku mengirim pesan via ponsel kepada Mikayla yang isinya ingin berkunjung. Setelah aku melihat jadwal tugasku maka akhirnya aku sepakat malam ini bertemu Mikayla di Rumah Kostnya.

Mikayla mengirim kembali sebuah alamat melalui ponsel walaupun sebenarnya aku sudah dapatkan alamat tersebut darinya. Mikayla tinggal di sebuah Paviliun kawasan jalan Bali.

Alamat itu dari tempat kostku tidak terlalu jauh. Malam itu sehabis sholat Magrib aku meluncur menuju ke sana dengan menggunakan sepeda motor pinjaman dari teman kostku.

Hanya setengah jam akhirnya aku sampai di alamat yang dimaksud. Sebuah rumah besar dan di sebelahnya sebuah paviliun dengan pintu pagar terpisah dari rumah induknya.

Pintu pagarnya tidak terkunci maka akupun memarkir sepeda motor itu di halaman dalam. Aku tekan tombol bel di samping pintu itu. Aku mendengar suara seseorang berjalan menuju pintu.

Ketika pintu terbuka, aku melihat Mikayla berdiri disitu dengan senyum manisnya. Sejenak aku terpana memandang wanita cantik ini. Walaupun berpakaian seadanya namun tidak mengurangi aura kecantikannya. Sekali lagi aku tetap tidak percaya bahwa Mikayla adalah ayam kampus.

“Mari Mas Hen, silahkan duduk. Mau minum panas atau dingin?” Kata Kayla menawarkan minuman.

“Minum panas saja! Terima kasih!”

Bandung memang masih hujan di akhir bulan ini dan udaranya lumayan sejuk, tidak panas seperti biasanya.

Paviliun ini adalah sebuah rumah kecil. Walaupun mungil namun terkesan mewah karena perabotan yang ada kelihatannya kelas satu. Tentu saja ini meng-gambarkan penghuni rumah tersebut adalah kelas satu.

Tidak berapa lama Mikayla sudah kembali menemuiku di ruang tamu itu dengan secangkir teh panas.

“Mas silahkan!” Kata Mikayla sambil menyodorkan secangkir teh manis.

“Mas, terima kasih sudah mau datang. Tadi tidak nyasar nyari alamat ini?” Tanya gadis berkulit putih bersih ini sambil tersenyum.

“Tidak. Aku sudah hafal kawasan di sekitar sini. Karena dulu aku sopir Angkot yang rutenya lewat jalan Bali ini,” kataku sambil ketawa.

Mendengar selorohku, Mikayla juga tertawa. Cara dia tertawa sangat ramah dengan binar matanya yang indah. Gadis ini memang sangat cantik. Kecantikan yang dia miliki bukan kecantikan biasa pada umumnya.

“Saya dengar Mas Hendar ini anak pesantren ya? Putranya Pemiliki Pesantren.”

“Kayla tahu dari mana?”

“Iya. Ada teman yang bilang begitu.”

“Siapa?”

“Tiffany. Katanya dia adik kelas Mas Hendar waktu SMA dulu.” Aku tertegun kenapa Tiffany bisa kenal sama Kayla. Aku baru ingat Tiffany memang ambil jurusan MIPA, Kimia.

Aku ternyata juga pernah bertemu Tiffany pada saat kami mengobrol di Kantin Kampus. Hanya saat itu aku tidak tahu jika Kayla mengenal baik Tiffany.

“Oh iya Tiffany. Kamu kuliah bareng ya di Kimia?”

“Iya Mas. Aku bersahabat dengan Tiffany sudah lama sejak semester satu. Dia anak yang baik tempat aku mencurahkan uneg-uneg.”

Oh pantas, ini berarti Tiffany tahu banyak tentang siapa sebenarnya Mikayla Angela. Namun kenapa mereka menyinggung tentang aku sebagai seorang putra Pemilik Pesantren. Aku jadi sedikit tersanjung ketika Kayla tahu bahwa aku anak pesantren.

“Mas rasanya aku senang berteman denganmu. Banyak perkataanmu yang sangat menggugahku menyikapi kehidupan ini.” Kata Mikayla.

“Biasa saja Kayla. Sebenarnya aku sendiri masih perlu banyak berbenah.”

“Orang bijak itu memang selalu merendah.” Suara Kayla pelan sambil melemparkan senyumnya dan aku terpaksa harus terpana menikmati senyum itu.

“Mas Hen jangan bosan ya menegurku jika ada hal yang tidak pada tempatnya. Aku sangat percaya karena Mas Hendar putra seorang Kiyai terpandang.”

“Kayla jangan terlalu berlebihan. Aku hanya seseorang yang tidak ada apa-apanya.” Kataku menetralkan anggapan Mikayla yang terlalu tinggi tentang aku.

Mendengar perkataanku, kembali Mikayla tersenyum. Aku melihat ada sinar optimis di matanya. Seperti sebuah cahaya masa depan yang lebih baik baginya.

BERSAMBUNG : Kisah Cinta Jomlo Pesantren (8). 

@hensa.

 

Tinggalkan Balasan

1 komentar