Permen (fiksimini)

Cerpen, Fiksiana, Terbaru103 Dilihat

Oleh : Heri Setiyono

 

Sekolah ramah anak demikianlah bunyi baliho besar di depan gerbang. Sayangnya sekolah itu memiliki Zubair yang suka teriak-teriak marah dan mengamuk. Maka, kata ramah itu kiranya perlu direvisi. Begitulah pandangan beberapa orang tua.

Seperti halnya pagi ini, Zubair sudah teriak-teriak mengusiri kucing-kucing liar dengan galak. Seisi sekolah dibuat jengkel karena berisik. Beberapa anak melongok keluar jendela, mendapati Zubair berlari-lari pengkor karena sebelah kakinya lebih pendek, menuju gudang. Mengambil sapu dan kembali menyapu lagi sampah-sampah berserakan yang subuh tadi telah ia dibersihkan.

Belum selesai menjelaskan konsep pecahan konsentrasi Pak Bisri pecah lagi. Kali ini Zubair teriak-teriak lebih keras. Pak Bisri menghela nafas, menenangkan kejengkelannya yang kerap terganggu konsentrasi karena teriakan Zubair. Dilanjutkannya menjelaskan tanpa memedulikan Zubair, anak-anak pun tidak berani melihat keluar kelas karena takut kegalakan Pak Bisri yang terkenal Killer.

Ketika Pak Bisri akan menyampaikan bagaimana menyederhanakan pecahan konsentrasinya kembali terpecah persis seperti potongan gambar pecahan di buku siswa. Sejurus kemudian, salah seorang murid yang baru selesai buang hajat di toilet datang melapor.

“Pak…Pak Guru itu…itu pak. Anaknya Pak Zu dipukuli.” Kata anak itu.

Pak Zu adalah panggilan yang dilayangkan anak-anak kepada Zubair meski beberapa anak laki-laki kelas enam yang badung-badung itu sering memanggil Bisu, Bolot dan julukan jelek  yang entah mereka dapat darimana. Mungkin dari teve atau youtuber buruk yang mereka anut.

Kali ini Pak Bisri tidak tinggal diam. Maka keluarlah ia dari kelas. Dilihatnya Zubair memukul-mukul punggung anaknya. Anaknya yang masih berusia lima tahun menangis, berteriak-teriak tanpa makna kata yang dapat diterima telinga.

“Zubair… jangan…apa yang kau lakukan?” teriak Pak Bisri sambil setengah berlari menghampiri.

Tetapi Zubair masih saja memukuli punggung anak itu.  Malah makin keras.

Zubair melihat Pak Bisri dengan berkaca-kaca. Dia tak mampu berkata dengan jelas karena gagu, dan tidak bisa mendengar jelas karena tunarungu.

‘’ma..kau….pe…en…o…long” Kata Zubair setengah memoncong-moncongkan mulutnya sembari tangannya melambai entah apa artinya. Yang tertangkap mata hanya kekalutan.

“Anakmu kloloden permen….?” Tanya Pak Bisri dengan perlahan.  Ia tahu Zubair bisa membaca bibirnya meski tidak mendengar perkataannya.

“i…aaa.” Zubair menganguk-anggukan kepalanya

“Ambil air minum cepat. Air minum.” Pak Bisri memeragakan minum dengan tangannya.

Zubair cepat-cepat mencari air minum. Pak Bisri berusaha menolong anak Zubair yang juga tunaganda seperti bapaknya. Sayangnya sang anak lebih menderita karena juga tunagrahita. Makanya ia sering menangis berteriak-teriak jika mengingikan sesuatu. Padahal ayahnya tidak dapat mendengarnya sehingga suara anak itu lebih sering mengganggu warga sekolah dibandingkan didengar ayahnya. Zubair yang ditinggal mati istrinya itu juga sering mengamuk karena sering digoda ledekan  dan korban kejahilan anak-anak laki-laki yang badung. Mereka menganggap menggodanya menyenangkan. Padahal Zubair adalah orang baik. Tidak peduli hari libur atau tidak sekolah selalu rapi dan bersih karena jasanya.

Untunglah ada Pak Bisri yang membantu mengeluarkan permen yang nyangkut di tenggorokan anak Zubair.  Entah darimana bocah kecil itu mendapatkan permen, padahal lidahnya saja tidak memiliki motorik yang baik untuk mengulum, cuma bisa menelan.

“Lain kali jangan kau kasih permen. Apalagi permen karet.  Ya !” Kata Pak Bisri kepada Zubair. Matanya serius menatap bola mata lawan bicaranya.

 Zubair hanya bisa menggeleng-geleng dengan mulut berusaha mengatakan tidak.  Pak Bisri meminumkan air dan memijit-mijit anak yang kepayahan itu. Nafas anak itu terkuras karena mampet terganjal permen yang nyangkut di tenggorokannya.

Sebenarnya aku tahu siapa yang memberi permen  itu kepada si bocah. Ada  murid yang membagikan permen kepadanya. Hal itu dilakukan karena kasihan terus-terusan  bocah cilik itu melihat anak-anak asyik makan jajan pagi tadi sebelum masuk kelas. Bocah itu tidak punya uang jajan, terlihat dari tadi hanya menggigiti ujung bajunya . Akan tetapi, apa dayaku berusaha melarang sedangkan teriakanku tidak dapat mereka dengar. Karena aku hanya keset yang setia menemanimu dipel Zubair  setiap pagi dan sore.

 

Heri Setiyono, S.Pd

No. pokok anggota PGRI 10094000266

Tulisan ini diikutkan dalam Lomba Blog PGRI “Menulis di Blog Jadi Buku”

Tinggalkan Balasan

4 komentar