Sembilan Belas
Akhir Perjuangan Markonah
Markonah adalah seorang perempuan separuh baya yang telah ditinggalkan suaminya. Berupaya mencari pekerjaan meskipun tanpa berbekal ijazah. Pekerjaan serabutan akhirnya dia terima demi mencukupi kehidupan sehari-hari.
Markonah mulai mengawali hidup baru tanpa suami dengan mencari pekerjaan. Beribu kilo meter dia menapakkan kakinya tanpa berbekal makanan dan sepeser uang. Markonah mulai mendatangi satu tempat ke tempat lainnya. Tiba lah pada tempat terakhir dia datangi. Namun alhasil tak satupun yang mau menerima nya. Sambil berjalan di teriknya panas matahari diapun berkata,”Sudah beberapa tempat aku datangi, namun tak satupun ada yang mau menerimaku. Apa mungkin karena aku sudah paruh baya atau karena aku ini hanya lulusan SD?.”
Penuh rasa gundah gulana Markonah pun melanjutkan perjalanan. Hingga tanpa disadari senja pun mulai mengelilingi seisi alam. Markonah memutuskan untuk pulang ke rumah dan melanjutkan rencananya mencari kerja keesokan hari. Satu jam kemudian sampailah Markonah di kediamannya. Wajah yang lusuh menggambarkan betapa lelahnya dia.
Markonah menyandarkan dirinya pada sebuah kursi kayu sambil mengipas-ngipaskan secarik kertas pada wajahnya dan berkata. “Ya Rabb! Betapa sulit mencari pekerjaan sekarang. Seharian sudah aku menapakkan kaki, namun belum menghasilkan apapun. Bagaimana caranya aku harus menghidupi anakku yang masih sekolah?”. Markonah hanya bisa menarik napas panjang serta pasrah pada Illahi Rabbi.
Semasa hidup bersama suaminya Markonah dikaruniai seorang anak laki-laki bernama Doni. Doni merupakan anak semata wayang Markonah. Semenjak ditinggalkan oleh bapaknya dia mengalami perubahan perilaku. Semua gerak-geriknya semau sendiri. Pulang tengah malam dan hura-hura bersama temannya di café sepulang sekolah. Dia akan kembali ke rumah manakala lapar.
Belum lama beristirahat tiba-tiba terdengar suara dari luar. “ Mak! … mak! … maaak! Aku lapar. Mana makanan yang bisa ku makan?”. “ Maafkan emak, Nak, Emak belum bisa belikan kamu nasi rames sekarang. Emak belum mendapatkan uang hari ini”. Jawab emak sambil mengusap keringat di keningnya. Dengan penuh emosi Doni berkata “Ahh! dasar orang tua miskin bisanya hanya menangis”. “Astaghfirullah, alladzim, Nak istighfar, emak berjanji akan mencari uang untuk makan kita berdua” Markonah menjawab sambil mengelus rambut Doni.
Namun Doni bukannya merasa iba terhadap ibunya, eh dia malah pergi keluar bersama teman-temannya. Suatu ketikan mereka pergi melarikan diri dari sekolah dengan tujuan untuk berkumpul besama teman-temannya di sebuah café untuk berfoya-foya dan minum minuman keras. Kegiatan Doni bersama teman-teman akhirnya diketahui oleh pihak keamanan sekolah dan kepala sekolah. Pihak sekolah berencana memanggil orang tua Doni dan teman-temannya. Ke esokkan harinya Markonah kedatangan tamu, tamu tersebut ternyata tetangganya yang meminta bantuan untuk mencucikan pakaian keluarganya. Markonah pun setuju dan langsung berangkat kerja.
Sesampainya di tempat kerja Markonah langsung mengerjakan pekerjaanya seperti mencuci piring, menyapu, mengepel, dan mencuci pakaian. Tepat pukul 11.30 Markonah selesai mencuci pakaian. Dia pun lantas menjemur pakaian di halaman belakang. Setelah selesai menjemur pakaian Markonah melanjutkan pekerjaannya yaitu menyetrika pakaian. Pekerjaan terakhirpun selesai, Markonah berpamitan pada majikannya, setelah mendapatkan upah dari satu hari kerja.
Markonah lantas pulang ke rumah dengan penuh rasa senang. Dia langsung membeli dua bungkus nasi rames di warteg sebelah rumahnya, kemudian terus pulang ke rumah. Sambil membawa dua bungkus nasi rames dia membayangkan wajah ceria anaknya. Namun apa yang terjadi? Sesampainya di rumah tak sedikitpun muncul wajah anaknya. Dengan penuh rasa sedih, dia berkata dalam batinnya,”Nak, kamu di mana? Sudah selarut ini kamu belum pulang. Nak! pulanglah emak sudah bawakan makanan yang cukup untuk kita”. Waktu berputar cepat, namun Doni belum muncul juga.
Hingga waktu tepat pukul 04.10 pagi, saat itu Markonah sedang sholat subuh, tiba-tiba dia mendengar suara teriakan di depan rumah. “Maak … Maak … buka pintunya”. Dengan tergopoh-gopoh Markonah membukakan pintu untuk Doni dan berkata,”Dari mana saja kamu, Nak? Emak merasa khawatir terjadi sesuatu dengan kamu,” Ah! berisik Emak tidak usah ngurusi aku, urus saja kebutuhan Emak sendiri”. Kata Doni sambil berjalan sempoyongan. Sambil memapah badan Doni, Markonah berkata,”Sudah kamu istirahat saja nak jangan banyak bicara besok pagi kamu harus sekolah.”
Pagi pun tiba Markonah segera membangunkan Doni untuk berangkat sekolah. Sambil bermalas-malasan Doni akhirnya berangkat sekolah. Waktu menunjukan pukul 09.00 saatnya Markonah berangkat kerja. Ketika akan mengunci pintu rumah terdengar suara salam dari arah belakang Markonah. “Assalamualaikum wr wb, maaf apa benar ini rumahnya Doni?, tanya salah seorang guru. Dengan penuh kebingungan Markonah menjawah,”Wa’allaikum salam wr wb, benar bu. Maaf ibu siap ya?”. Oh, perkenalkan saya gurunya Doni.
Markonah semakin bingung dengan kedatangan gurunya Doni.
“Maaf bu mengganggu, kedatangan saya kemari mau menyampaikan surat panggilan dari sekolah dan kami mengharapkan kehadiran Ibu besok pagi,” kata bu guru. Tidak lama kemudian gurunya Doni berpamitan. Markonah kemudian melanjutakan aktivitas paginya dengan mengerjakan pekerjaan serabutan. Tanpa konsentrasi Markonah pun melakukan kesalahan kecil yaitu membuat bolong pakaian tetangganya ketika disetrika. Dia kaget dengan terbata-bata dia menyampaikan apa yang terjadi kepada pemiliknya.
Pemilik pakaian itu pun marah dan memecat Markonah. Semakin terpuruk Markonah menghadapi setiap ujian yang dialami. Keesokan hari Markonah berangkat ke sekolah untuk memenuhi panggilan dari Kepala Sekolah. Ketika sampai di sekolah Markonah mendapatkan penjelasan bahwa Doni telah melakukan pelanggaran. Di mana Doni mendapatkan point pelanggaran 200,” Doni dikeluarkan dari sekolah. Markonah seakan disambar petir di siang bolong mendengarnya. Sambil terurai air mata dia berkata dalam hati,”Ya Rabb ujian apa lagi yang Engkau berikan padaku.” Wali kelas Doni merasa iba dengan kondisi Markonah. Dia akhirnya menyarankan supaya Doni didaftarkan ke Pondok Pesantren yang dikelola beliau.
Setelah Doni dikeluarkan dari sekolah, dia merasa bersalah dan meminta maaf kepada ibunya. Doni akhirnya mau sekolah di Pondok Pesantren ditemani ibunya yang alhamdulillah diterima sebagai juru masak Pondok. Sampai di Pondok Pesantren Doni dikenalkan pada suami wali kelasnya yang tiada lain adalah pemimpin Pondok Pesantren itu. Selang beberapa bulan Doni bisa menyesuaikan diri dengan kondisi Pondok Pesantren. Hingga suatu ketika dia terpilih menjadi Da’i terbaik di Pondok Pesantren Az-zahra.
Suatu hari Doni diajak Ustadz untuk ceramah di Ibu Kota dan alhamdulillah banyak pendengar yang menyukainya. Akhirnya Doni menjadi terkenal dimana-mana dan menjadi Da’i tersohor di Nursantara ini. Markonah melihat Doni yang sekarang begitu bahagia. Dia bersyukur telah diberi hikmah yang luar biasa dari setiap perjalanan yang perih selama ini.
“Ya Rabb hamba bersujud dihadapan Mu sebagai ucapan rasa syukur hamba atas segala rezeki yang Engkau berikan padaku.
Keren cerpennya. Semangat berkarya bu..
mksh sing penting gawe