“Aku tidak peduli. Mau kau berwajah mengerikan di mata mereka, aku menganggap kau yang tercantik yang pernah kutemui.”
“Kamu nanti akan kecewa setelah mengenalku. Akan sering muncul persoalan datang dan kamu akan pusing memikirkannya.”
“Tidak peduli aku siap menanggung semua penderitaan demi kebahagiaan di hati.”
“Sepertinya kamu tidak realistis, harusnya berpikirlah yang jernih, aku rela jika kau memutuskan untuk melanjutkan niatmu itu.”
‘Sepertinya aku tidak akan menyerah atas pilihan yang sudah aku jatuhkan.”
“Kalau, begitu semoga bertemu di dunia nyata calon kekasihku.”
Bimo bangkit dari lamunannya. Arimbi selalu dalam pucuk khayalannya. Ada semacam jalinan cerita yang terus berlanjut yang selalu muncul dalam khayalan, imajinasi dan mimpi. Seperti sudah tergores sebagai takdir bahwa jodohnya nanti adalah Arimbi.
Menyusur jalan yang penuh onak, Bimo terus menempuh perjalanan berat. Ia harus berani menghadapi segala hambatan, tantangan dan rintangan, apapun yang terjadi. Seperti mimpi yang dibisikkan eyang kecilnya, dewa kehidupan, panutan dari klan Bayu yang membisikinya untuk menemui dia di ujung dunia. DI kedalaman samudera, pada seribu ular, seribu naga yang harus dikalahkannya.
Wahyu kebahagiaan yang harus dikejarnya dan cinta sederhana yang tidak perlu romantis, namun menjanjikan kesetiaan. Ia merasa tak perlu banyak berkata-kata, cukup dengan menyatukan rasa, budi dan pikiran dan tekad, karena bagaimanapun untuk sampai pada kesempurnaan cinta dan cita perlu usaha keras, kalau perlu siap bertaruh nyawa.
Tiada usaha yang mengkhianati hasil. Semua akan terasa manis, semanis perjuangan yang berat melewati rintangan.
Bimo benar-benar laki-laki yang luar biasa, tidak menyerah untuk sebuah tantangan. Ia akan selalu terdepan dalam hal menegakkan kebenaran. Begitupun dengan cinta yang benar-benar harus diperjuangkan sampai ia bisa menggenggam cinta itu.
Bimo tengah kasmaran dengan gadis yang baginya kecantikannya berbeda dengan yang lainnya. Wajahnya lembut, mata sedikit sipit, namun alisnya benar-benar membuat ia tidak bisa tidur. Baru kali ini ia tidak bisa berkutik, sebelumnya ia tidak pernah tertarik dengan gadis secantik apapun yang selalu mendekat dan mencoba membuatnya jatuh cinta. Hanya Arimbi yang membuat ia tergila-gila. Benar-benar perempuan sempurna yang pernah ia lihat.
Namun cibiran, ejekan datang dari teman-temannya. Mereka menganggap ia sudah gila, sebab yang terlihat Arimbi itu seperti perempuan jalang, dengan perawakan mengerikan. Dari gosip yang didengar Arimbi itu sebenarnya bukan bangsa manusia, ia adalah raksasa yang hidup dan menguasai hutan liar di Selatan Astina. Tapi wajah Arimbi tampak selalu menarik di mata Bimo.
“Kamu, sudah gila Bim, matamu buka lebar-lebar, sebelum mencintai seseorang.”
“Sudah benar pilihanku, tak sedikitpun aku surut, apapun pendapat kalian, masa bodoh buatku.”
“Ya, sudah kalau itu pilihanmu, tapi kami merasa kamu sudah kurang waras. Padahal kita tahu banyak perempuan cantik yang sebetulnya tergila-gila padamu. Kamu itu tampak, menarik tapi terlalu sering berkhayal hingga membuat mereka bingung, apa sih sebenarnya maumu?”
“Itulah, tidak setiap orang bisa memaksa seseorang untuk mempercayai kebenaran.”
“Apakah kebenaran menurutmu?”
“Kebenaran adalah kebeningan dari sebuah pikiran. Kamu harus bisa menihilkan pengaruh dari kanan kiri untuk meyakini kebenaran. Jangan mudah percaya pada bisikan, apalagi yang muncul dari gosip-gosip murahan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.”
“Kenapa harus memilih sosok perempuan mengerikan itu, kenapa tidak yang lainnya.”
“Karena aku meyakini kebenaran.Sejak awal aku yakin terhadap bisikan nuraniku, aku tidak percaya pada omongan pecundang-pecundang yang berusaha mempengaruhi pikiranku.”
Begitulah begitu susahnya merayu Bimo. Sekali punya kemauan tak ada yang bisa mempengaruhinya untuk mengganggu keputusannya.
bersambung