Menulis dan Prinsip Belajar Sepanjang Hayat

Gaya Hidup, Hobi145 Dilihat
lukisan drawing pad oleh Joko Dwiatmoko

Sebetulnya aku tidak yakin bisa menulis  berurutan sampai 40 hari berturut turut, sedikit pesimis juga apakah bisa, tapi belajar dari pengalaman menyelesaikan tiga novel untuk lomba tahun lalu dan mencapai target itu sesuatu. Keyakinan akan memberi semangat, begitulah setelah berpikir semalaman, oke terima saja tantangan menulis KMAA (Karena Menulis Aku Ada) Prinsip belajar sepanjang hayat beriring dengan rutin menelorkan kata.

Aku menyadari banyak penulis yang akan allout mengerahkan kemampuan untuk menulis sebagus mungkin. Aku tidak berhitung apakah tulisan  banyak dibaca dan populer. Harapanku bisa memenuhi target dan jadilah satu buku.Sebuah ujian bagi penulis. Sebagai bagian dari Kompasiana, dan hampir menulis setiap hari menulis 40 hari ini tidak terlalu sulit, yang penting konsisten dan terus belajar itu kuncinya. Setiap hari selalu ada ide datang. Apalagi dengan berita akhir- akhir ini yang membuat penulis menjadi banyak referensi.

Apakah aku penulis berpengalaman. Aku katakan tentu pengalaman dong,  sejak sekitar tahun 1989 menulis. Meskipun awal mulanya menulis skalanya hanya di kertas biasa atau katakanlah diari saja dan ketika mahasiswa pernah ikut UKM sastra dan teater.  Setelah ikut pelatihan jurnalistik dan fotografi, aku memberanikan diri menulis di surat pembaca.

Selanjutnya tulisan dikirim ke koran, pernah satu goal masuk opini di Bernas. Selanjutnya menulis masuk dalam list cita- cita. Padahal aku kuliah jurusan di seni rupa, kok aktivitas menulis. Ya bisa – bisa saja. Dulu pernah terbesit menulis kritik seni rupa, menulis tentang dunia seni. Ada beberapa tulisanku yang berhubungan dengan pendidikan dan seni rupa pernah nangkring di majalah atau koran.

Kalau mengaitkan dunia seni rupa dengan dunia tulis menulis apakah nyambung. Nyambung saja. Beberapa idola penulis seperti  S Sudjojono, Sanento Yuliman, Agus Dermawan T, Jim Supangkat, Mikke Susanto, M Dwi Marianto, Aminuddin TH Siregar. Mereka penulis yang berlatar pendidikan seni rupa.

Deretan penulis itu sukses dibidangnya bahkan ada yang menjadi kurator istana, biasa mengkurasi lukisan – lukisan di Galeri Nasional Indonesia dan membuat banyak tulisan mengenai seni rupa. Di Kompasiana tulisanku tentang seni rupa juga bisa dibilang tidak sedikit, kalau dikumpulkan bisa menjadi satu buku atau dua buku.  Maka apa salahnya senirupawan guru juga menjadi penulis. Lalu mana karya seni rupanya. Ada. Kebetulan meskipun tidak seeksis teman – teman yang menjadi pengajar dan seniman ada beberapa karya yang pernah aku ikut sertakan untuk pameran.

Namanya seni adalah gagasan imajinatif, sebuah representasi dari khayalan dan ingatan visual yang mewujud menjadi karya entah sekedar coretan di kertas, atau lukisan dengan media digital, semuanya tetap sebuah karya seni. Istimewanya diriku adalah mempunyai kemampuan menulis. Bukan karena bakat atau talenta tapi lebih dari proses belajar panjang.

Terus terang dengan menulis aku semakin eksis. Kalau teman – teman susah menemukan jejak di google, aku dengan menuliskan nama lengkap deretan karya dan foto serta video tentang aku bisa terlacak, semua berkat menulis, terutama sejak menulis di Kompasiana, Bahkan surat pembacaku yang ditulis di majalah Tempo bisa dilacak lewat internet.

Yang menarik, semakin sering menulis, rasanya semakin terlihat bodoh. Meskipun dalam hal pengalaman menulis boleh dikatakan sudah puluhan tahun, tapi masalah menulis orang yang lebih muda dan minim pengalaman bisa saja merangsek ke atas dan aku mesti banyak belajar dari dia terutama masalah aktualnya sebuah topik atau tema yang ia bahas.

Kadang mereka jauh lebih peka dalam menangkap fenomena sehingga tulisannya menjadi mentakjubkan dan sering menang lomba.Tapi apakah lantas minder dengan banyaknya penulis tersebut, justru seharusnya senang karena semakin banyak penulis, semakin banyak pembaca pula. Sebab mereka para penulis itu pasti rata- rata suka membaca, mereka membaca apa saja termasuk tulisanku yang masih receh ini.

Dulu aku sangat mengidolakan Gunawan Muhammad, dan kalau penulis seni rupa adalah Agus Dermawan T. Kalau Gunawan Muhammad yang sering menulis catatan pinggir banyak memberikan wawasan luas tentang filsafat, puisi, sudut pandang budayawan, meskipun untuk memahami tulisan catatan pinggirnya harus mengulang beberapa kali sampai paham.

Aku juga sangat suka membaca tajuk rencana ketika Jacob Oetama masih eksis di Kompas. Wartawan bola sekaligus budayawan yang sekaligus rohaniwan Romo  G P Sindhunata SJ. Untuk novel katakankah Romo Mangun ( Burung Manyar dan Ayu Utami dengan novelnya Saman)

Tapi kenyang dengan tulisan para pakar tidak berarti lantas pakar seperti mereka. Mereka adalah penulis kampium yang konsisten dibidangnya, total dan mampu memberikan bukti bahwa menulis bisa memberi mereka sebuah pengakuan akan keahlian mereka.

Saya sendiri dari hanya penikmat,  akhirnya menyukai dunia tulis menulis, meskipun masih tidak pede jika dikatakan penulis. Semoga dengan seringnya menulis aku semakin banyak belajar untuk menjadi seperti padi, semakin merunduk dan semakin rendah hati. Itu pasti tujuan semua penulis. Yang penting selagi masih diberi kesempatan gunakan waktu untuk menulis. Salam.

Tinggalkan Balasan