Pernahkah melihat lukisan Djoko Pekik. Bagi pembaca yang senang berkunjung ke pameran seni lukis di Galeri Nasional Indonesia mungkin pernah melihatnya.Barangkali tidak banyak yang paham lukisannya yang cenderung ke warna warna oker, warna tanah, warna warna redup bukan warna benderang dengan ragam warna yang mencolok.
Kalau saya menuliskan narasi tentang seni rupa atau seni rupa berapa banyak pembaca yang senang membaca tulisan ini. Karena akan menjadi sebuah buku maka penulis harus berani menampilkan fenomena budaya yang akan selalu tercatat dari masa ke masa. Sebab menulis itu belajar untuk keabadian. Pengetahuannya akan tercatat sepanjang masa.
Keberanian Menulis Tentang Seni Rupa
Menulis seni perlu keberanian. Apalagi berhubungan dengan seni lukis yang tidak semua orang bisa memahaminya. Salah satu concern saya selain menulis juga memahami dunia seni rupa. Ada beberapa penulis yang terampil dan sangat ahli dalam menulis tentang kiprah seni rupa.
Barisan pertama sesuai masa adalah S Sudjojono yang menarasikan lukisan sebagai Jiwa Ketok, ada Sanento Yuliman, Jim Supangkat, Agus Dermawan T, M Dwi Marianto, Suwarno Wisetrotomo, Mikke Susanto, Aminnudin TH Siregar. Dan masih banyak penulis yang sering menuliskan kiprah seni rupa, kuratorial dan narasi di buku katalog seni rupa.
Selain suka menulis, tentu saja saya senang memperhatikan kegiatan pameran. Dulu ketika kuliah di Yogyakarta hampir setiap minggu ada pameran seni lukis. Hal ini menggugah rasa, menggugah minat untuk menuliskan pengamatan tentang aliran seni, jenis jenis lukisan dan makna dibalik lukisan atau karya seni rupa.
Djoko Pekik adalah seniman lulusan ASRI ( Akademi Seni Rupa Indonesia ) cikal bakalnya ISI (Institute Seni Rupa), berasal dari daerah Grobogan, Jawa Tengah, daerahnya dekat dengan Blora daerah kering dan terkenal dengan hutan Jati. Belajar di sekolah seni dengan guru – guru yang tercatat sejarah nasional seperti Trubus Sudarsono, Abbas Alibasyah, Suromo Abdul Salam.
Fenomena Lekra dan perkumpulan seniman yang dicap komunis dan akhirnya melekat stigma eks tapol membuat Djoko Pekik di zaman orde baru harus melewati penderitaan dan penderitaan karena tekanan sosial politik. Sampai akhirnya Orde Baru terguling dan Djoko Pekik lahir kembali sebagai pelukis yang independen.Bahkan ia pernah berprofesi menjadi penjahit.
Seni Budaya dan Perkembangan Sosial Politik
Lukisan- lukisan Djoko Pekik dengan dominasi warna coklat tanah dan oker adalah bahasa visual yang melihat fenomena sosial dalam masyarakat Indonesia baik orde lama, orde baru maupun era reformasi. Djoko Pekik bangkit lagi dan banyak lukisannya mengalami booming. Harga lukisan melambung dan menjadi beliau termasuk pelukis “tajir” namun dengan sikap hidup sederhana yang tetap dipegangnya.
Yang sering menakutkan dan begitu digembar- gemborkan orde baru dan selentingan muncul di era reformasi, adalah bahaya laten komunisme. Padahal banyak seniman yang tergabung Lekra tidak paham sesungguhnya ideologi komunis. Djoko termasuk salah satu korban yang sempat dimasukkan ke penjara karena gabungnya dengan Lekra yang menjadi underbow PKI.
Setelah Orde Baru tumbang Djoko Pekik merasakan aroma kebebasan. Karya – karya bermunculan. Lukisannya banyak yang laku dan lukisannya menjadi tonggak sejarah lukisan yang dengan lantang memvisualkan fenomena sosial politik tanah air.
Bicara tentang karya selalu banyak hal yang bisa dibahas, bicara tentang seni budaya ada visi yang hendak disampaikan yaitu penghargaan pada keragaman, Kisah – kisah masa terisolir penderitaan Djoko Pekik masa Orde Lama, Orde lama tergambarkan puisi G P Sindhunata:
Mengapa selalu kembali dalam kenanganku duka dan derita malam hidupku?
Mungkin, dulu derita kita terlalu hebat hingga harus meninggalkan bekas
Namun, mungkin juga di sana tersembunyi dengan amat indah cinta kita yang kini tak dapat lagi kita beli dengan segala harta yang kita miliki.
Djoko Pekik memetik perjuangan dan harapan begitu lama. Melewati derita demi derita dan meskipun harus melewati usia senja asanya untuk meraih cinta dan cita tidak pernah padam. Akhirnya Djoko Pekik sang seniman yang sering membantu kesusahan orang lain itu bisa merengkuh kesuksesan seni dan lukisannya menjadi salah satu tonggak sejarah penting perkembangan seni rupa Indonesia.
Setelah Djoko Pekik saya akan membahas tokoh seperti Affandi, Basuki Abdullah, Hendra Gunawan dan sejumlah pelukis terkenal lain. Semoga memberi asupan gizi seni dan budaya para pembaca. Saya juga akan terus belajar, baik menulis sosial budaya maupun artikel yang sesuai dengan passion saya dan jangkauan pengetahuan sesuai bacaan dan endapan permenungan ketika sedang menulis.
Karena menulis maka aku ada, karena apapun yang ditulis akan memberi keterbukaan pengetahuan baik pembaca maupun para pecinta literasi lainnya. Seperti halnya pelukis penulis pun bisa bisa berprinsip Sedumuk batuk, senyari bumi (peribahasa Jawa) arti dari peribahasa ini mempertahankan hak sampai tetes darah penghabisan. Ketegasan prinsip akan membawa kesuksesan seperti Djoko Pekik. Barangkali penulis disini yang kuat berprinsip akan menjadi penulis- penulis sukses. Amin.
Referensi: Katalog Joko Pekik “Zaman Edan Kesurupan