Bagaimana rasanya jika anda pernah dicap sebagai pengangguran? Sedih bukan. Saya pernah mengalaminya. Padahal meskipun tidak terlalu banyak, masa pengangguran itu saya sering mendapatkan honor dari kegiatan menulis. dari pembuka paragraf ini saya ingin bercerita tentang manfaat menulis.
Penulis dan Cap Pengangguran
Sebagai “penganggur” selepas dari kuliah di Yogyakarta, Orientasi pekerjaan belum jelas, lulusan pendidikan seni rupa tetapi malas mengajar dan melamar pekerjaan sebagai guru. Antusiasme saya adalah dunia menulis, kesenian dan artis. Kebetulan ketika kuliah pernah aktif di unit kegiatan Teater dan pernah sempat pentas di event yang cukup besar. Mengenal beberapa teman yang akhirnya menjadi seniman terkenal di Yogyakarta seperti Gareng Rakasiwi (almarhum)
Sayangnya saya dulu kurang punya daya juang kuat untuk mengejar impian. Semuanya setengah – setengah, tidak dilakukan dengan totalitas. Maka cap pengangguran lebih melekat meskipun pada waktu itu saya cukup aktif menulis dan menjadi penjual / marketing /loper majalah tersebut.
Pengalaman Mengelola Penerbitan Majalah Kecil
Sambil mencari narasumber sebagai bahan tulisan sosok inspiratif. Di saat yang sama dengan pro bono, pekerjaan tanpa bayaran mengelola semacam majalah gereja. Semua dikelola oleh orang- orang muda yang kebetulan mendapat cap penganggur. Majalah dibuat seminggu sekali, pengumpulan artikel deadline sekitar hari Selasa malam atau Rabu, setelah dilakukan layout oleh teman yang eksim (Eks seminari/calon pastor ) yang kebetulan cukup piawai dalam hal editing karena pernah bekerja cukup lama di Gramedia Jakarta.
Ia menangani artikel bahasa Inggris, layout dan editing, teman lain yang juga lebih sering mangkal sebagai preman. Sebetulnya ia sarjana ekonomi (tapi lebih nyaman sebagai preman) menjadi kontributor cerita fiksi atau cerpen bersama anggap saja bernama Agus yang pernah kuliah di Sastra Indonesia di UGM.
Teman lainnya yang lucu dan aneh tingkahnya dan status yang tidak jelas tetapi jago menggambar dan membuat karikatur didapuk menangani rubrik komik atau karikatur. Ia ditemani oleh satu orang lain yang jago musik dan menyanyi tapi tetap saja statusnya pengangguran.Sedangkan saya yang sok sibuk menjadi loper majalah dan aktif menjadi kontributor majalah di Yogya menjadi pemimpin redaksi. Wah semua pengangguran. Luar biasa hahaha…
Majalah cukup berkembang dan bertahan sekitar 2 tahun. Pas dengan masa pengangguran plus jomblo tanpa pacar dan rambut gondrong. Luar biasa sarjana pengangguran. Kami mencoba melakukan pekerjaan layaknya wartawan yang mengelola majalah walaupun oplahnya hanya terbatas dan keuntungan hanya bisa buat ngopi kala lembur menyelesaikan editorial majalah dan layout. Setelah editing dan layout selesai maka majalah segera dikirim ke percetakan agar bisa diedarkan Sabtu dan Minggu.
Pengalaman mengelola majalah kecil itu membekas sampai sekarang. Itu pengalaman berharga sebagai aktifis literasi. Meskipun tidak dibayar tapi ada kepuasan sendiri ketika majalah ludes dibeli. Dari koleksi buku yang sudah cukup banyak rasanya kami sudah merasa sebagai pekerja pers, meskipun hanya lingkup kecil. Honor menulis majalah ( dengan spesialis menulis reportase dan sosok ) membuat saya merasa mempunyai pengalaman berharga untuk diceritakan di masa yang akan datang.
Pengalaman dan Motivasi Menulis yang Terus Bertahan Sampai Sekarang
Dan benar. Ketika akhirnya saya hijrah dari desa saya di Magelang dengan segala kenangannya dan bekerja sebagai guru di kota besar seperti Jakarta saya masih punya hasrat untuk menulis. Meskipun tidak rutin saya tetap menulis. Ketika internet mulai naik daun, saya pernah mengelola semacam blog organisasi, menulis di warnet untuk dibagikan tulisan saya sebagai reportase dan refleksi.
Sayangnya saya tidak mendokumentasikannya sehingga kumpulan tulisan saya lenyap saja, entah apakah masih ada jejaknya sampai sekarang. Baru tahun 2010 mengenal Kompasiana dan jejak tulisan bisa dilacak di internet.
Sejak 2010 saya menulis di Kompasiana, sempat off sekitar tahun 2012 – 2015 dan lebih aktif menulis di Indonesiana.tempo.co. menghasilkan puluhan bahkan mungkin ratusan tulisan di platform milik Tempo. Di situ Pak Thamrin Dahlan juga aktif menulis bersama mbak Muthiah Alhasany.
Nama yang saya gunakan Pakde Joko. Di indonesiana.tempo.co beberapa kali tulisan bisa ditampilkan di koran tempo. Itu kebanggaan saya karena artikel blog saya masuk dan terpilih untuk ditampilkan di koran Tempo. Dulu sekitar tahun 1997 tulisan opini pernah masuk di rubrik opini koran Bernas.
Itu sekelumit pengalaman menulis yang bermula dari sarjana tetapi dengan status”pengangguran” karena profesi menulis rasanya belum diakui. Apalagi penulis blog. Dulu sekitar tahun 1990 an belum ada blog. Saya aktif mengirimkan tulisan sebagai surat pembaca seperti majalah tempo.(jejaknya ada di internet engan website dari majalah Tempo. Tulisan menyorot tentang perilaku elite politik)
Tahun 1998 sebetulnya saya aktif menulis dengan mesin ketik. Saya kirimkan ke tabloid Monitor, Detak yang kemudian dibreidel pemerintah orde baru. Detak yang diinisiasi oleh Erros Djarot adik dari aktor Slamet Rahardjo Jarot.
Manfaat menulis membuat saya merasa ada. Ingat peristiwa penting masa reformasi, menuliskan catatan ketika masa demontrasi mahasiswa. Waktu itu masih tinggal di Yogyakarta. Gerakan yang dimulai dari Sanata Dharma, terus berjalan menuju jalan Gejayan dan berkumpul di sana mendengarkan orasi dari para aktivis mahasiswa.
Di Jalan Gejayan dikepung pasukan dalmas, dan sempat akhirnya riuh selepas senja, antara kantor pos depan IKIP Yogya sampai ke gang Guru, Gang Narada, jalan menuju ke kampus Sanata Dharma. Para mahasiswa kucing- kucingan dengan aparat, lari keluar masuk gang, hingga muncul insiden terbunuhnya Mozes Gatotkaca.
Dari surat pembaca di Bernas misalnya dulu menulis tentang jalan rusak di dekat desa saya di magelang, mungkin dibaca pejabat, hingga dua hari setelah surat pembaca saya tayang di koran, jalan itu langsung diperbaiki. Rupanya itulah kekuatan kata- kata. Dengan menulis saya seperti bisa merunut sejarah. Tanpa menulis mungkin sudah lupa akan beberapa peristiwa bersejarah di masa lalu.
Manfaat menulis membuat runtutan sejarah masa lalu mudah diingat, sebab jika lupa tinggal membuka lembar kliping tulisan di mana dulu pernah ditulis. Itulah gunanya menulis. Kalau para pembaca ada yang antusias menjadi penulis, teguhkan saja sikap anda, karena jika dilakukan dengan totalitas bisa saja diandalkan untuk hidup dan menegakkan periuk nasi. Salam literasi.