Di masa pandemi ini kegiatanku dibatasi situasi, apalagi di Ibu Kota Jakarta diberlakukan PSBB Pembatasan Skala Besar-besaran dan secara umum Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat ( PPKM) Jawa-Bali. Aku mengungsi di Bekasi, sekalian mengadakan kunjungan dan melihat dari dekat kehidupan para suster dan karyanya.
Kebiasaanku setiap pagi di sini jika tidak hujan adalah berkeliling lapangan, berjalan kaki, berolah raga yang murah meriah. Melihat hijaunya tanaman, memberi makan binatang piaraan: kambing dan ayam. Sesuatu yang memberi suasana lain dari biasa jika saya tinggal di ibu kota.
Di sini aku jauh dari keramaian kota, di komplek Sekolah Notre Dame II di Jln West Terrace Grand Ave Blok ND 001 Perumahan Grand Wisata Desa Lambang Sari Kecamatan Tambun Selatan, Bekasi. Angin bertiup semilir jika keadaan normal, tapi jika anginnya sedikit kencang suaranya mendengung seperti orang bersiul bersahutan.
Suasana yang hening tenang dan segar udaranya meningkatkan daya produktivitas bagiku. Di samping mengerjakan tugas pokok, banyak laporan dan administrasi yang kukerjakan, juga rapat dan zoominar.
Saya juga ada waktu untuk santai dan rekreasi bersama para suster. Yang namanya rekreasi di biara itu ya duduk santai sesudah kegiatan selesai di malam hari, sambil ngobrol, nonton TV, bikin pekerjaan tangan, dan tertawa riang. Murah meriah dan menyehatkan.
Kami juga panen ketela pohon alias singkong, serta ubi jalar, karena kami hanya berempat tidak mungkin mengonsumsi hasil panen itu. Sebagian kami bagikan ke karyawan dan tetangga se-lingkungan, dan sebagian kami olah dan keringkan untuk dibuat tepung. Dalam hal pekerjaan kami tak kekurangan ada saja yang bisa dikerjakan dengan gotong royong dan penuh kegembiraan.
Di waktu senggang kami juga membuat video untuk acara pesta kongregasi, kegembiraan perlu diciptakan dengan hal-hal yang sederhana, memanen hasil kebun, memberi makan ternak, memasak, membersihkan ruangan, rekreasi bersama.
Nah ada hal yang menarik bagiku, jika malam hari hujan dan paginya cerah, saya melihat beberapa wanita keluar masuk deretan rumpun bambu di depan komplek aekolah kami. Apa yang mereka lakukan? Ternyata mereka mencari tunas bambu muda atau biasanya disebut “Rebung”.
Kegiatan mereka sungguh menarik perhatianku. Suatu pagi saya mendekati mereka ada satu wanita yang setengah baya, dua sudah tua dan kami bercakap-cakap.
“ Selamat pagi Bu, sedang apa?”
“Selamat pagi Neng, panggil saja kami, Mpok “
“Oh ya baiklah,” jawabku. “Ini Mpok cari Rebung tunas bambu”
“ Memangnya selalu ada, ya Mpok?”
“Ya ada saja, Neng kan bambunya banyak tuh, kalau musim hujan begini tunas bambu mudah tumbuh, bermunculan, ya lumayan bagi kami dari pada nganggur dirumah”
“Dapatnya berapa Mpok?” tanyaku. “Ya hari ini lumayan ada 15 kilo.”
“Apa Mpok jual rebung ini ?” tanyaku. “Ya, dong , Neng!”
“Berapa, Mpok, sekilonya?” Ia menjawab, “Sepuluh ribu, Neng.”
“ Apa mesti habis Mpok?” “ Kadang habis, kadang kagak Neng, kalau kagak habis ntar iris tipis kami rebus dan kami jual ke pasar. Pasti habisnya Neng, apalagi kalau menjelang Imlek, banyak yang cari rebung. nih”
“Semoga laris ya, Mpok.” “ Terima kasih Neng, doain ya.
Kemudian aku ajak si Mpok berfoto bersama. Mpok itu nggak ketulungan senangnya, ”Kayak bintang film aja, Neng kami difoto”
“Memangnya hanya bintang kelem saja yang boleh foto, eeeeh bintang film,” candaku. Ketiga Mpok itu makin terkekeh-kekeh.
Saya memanggil satpam sekolah untuk memotret kami, apa adanya. Dengan melanjutkan mengupas rebung dari kulitnya Mpok itu senang bukan main.
Orang-orang sederhana senantiasa gembira, mudah bersyukur dari hal-hal yang sederhana dimaknai sebagai anugerah dan berkah Tuhan. Juga jika hujan tiba, mungkin bagi banyak orang saat ini hujan adalah musibah yang mendatangkan banjir, tanah longsor, dan bencana lainya.
Namun di tempat lain, khususnya di tempat rumpun bambu ini hujan mendatangkan berkah rejeki bagi mereka karena rumpun bamboo semakin banyak bertunas dimusim hujan seperti ini.
Dari perjumpaan itu, saya tahu bahwa tiga Mpok Ijah, Mpok Irah, Mpok Ipah bertetangga, saling kompak mencari tunas bambu, dan membagi hasil secara adil. Mereka saling bekerjasama dan percaya dalam mengais rejeki.
“Sebentar ya Mpok, tunggu ya. Saya masuk dulu, ambil uang mau beli rebung.“
“Oh, Neng juga doyan sayur rebung?”tanyanya.
“ Ya doyan Mpok kan enak dioseng sama petai, atau disayur dengan santan, juga bisa dibuat untuk isi lumpia”
“Oh bisa dibuat macam-macam ya Neng, Neng dari Jawa ya?
“Nggak Mpok saya dari Betawi, kan termasuk Jawa juga, emangnya Jawa itu bukan di sini?”
Kembali ketiga Mpok itu terkekeh.
Saya ambil uang dan dapatlah rebung lumayan banyak, meskipun tidak ada timbangan, Mpok itu tahu sepuluh ribu itu dapat seberapa? Adil dah dan begitu senangnya uang itu dikibas-kibaskan di rebung yang lain dengan berkata : “ Laris…laris…laris, ini penglaris dari Neng Suster”.
“Loh Mpok kog tahu nyebut saya suster?”, Abis anak-anak sekolah sering nyebut gitu, kan?
Rupanya Mpok itu sudah lama mencari rebung di sekitar sini, sebelum pandemi, ketika anak-anak sekolah ada.
“Sekarang sepi ya Neng Suster, anak-anak pada belajar di rumah?”
“Ya Mpok,” jawabku.
“Dulu jika sekolah ada, Mpok juga ikutan mengais rejeki. Banyak orang tua murid yang beli rebung, tanpa harus ke pasar.”
“Tapi ya disyukuri saja, Neng. Semoga si Covid cepat pergi ya,” kataku.
“Mpok itu tidak bisa menyebut Covit tapi copit,“ tukasnya.
“Ya Mpok yang penting kita terus berdoa dan berusaha, jangan sampai putus asa ya.”
Percakapan kami berhenti dengan anggukan dan senyum yang tulus dari tiga Mpok yang rajin mencari rebung, sebagai berkah dari Tuhan untuk hidup mereka.
Sr. Maria Monika SND untuk Inspirasiana
Luar biasa dalam berkah.