Penulis: Guido
Di dalam komunitas masyarakat Manggarai, ada sebuah tradisi—untuk menyebut aktivitas budaya masyarakat, yang dikenal dengan nama “Nakeng Sabi”.
“Nakeng Sabi” secara harfiah diterjemahkan sebagai “nakeng” yaitu daging hewan, dan “sabi” yaitu pemberian secara cuma-cuma dan/atau gratis. Dengan begitu, “nakeng sabi” adalah daging hewan yang diberikan secara gratis.
Sementara terkait daging hewan yang diberikan itu berupa daging hewan berukuran besar seperti babi, sapi, dan kerbau. Jumlah daging yang diberikan pun varian, tergantung si pemberi daging.
Ada dua jenis hewan yang akan disembelih, yakni hewan hasil tangkapan di hutan dan sebagian kecilnya hewan peliharaan. Sebelum hewan hasil tangkapan dan juga peliharaan itu disembelih, sang pemilik hewan memberitahukan terlebih dahulu ke “tu’a golo” atau tua adat di desa tersebut. Bahwasannya, akan ada penyembelihan hewan.
Hal ini harus diketahui oleh “tu’a golo”, lantaran dialah pemimpin di kampung itu. Selebihnya, karena daging penyembelihan yang dimaksud akan diberikan ke seluruh warga.
Lebih lanjut, setelah “tu’a golo” diberi tahu, selanjutnya sang pemilik hewan akan mengundang kaum bapak-bapak dari setiap rumah untuk “julu” atau menyembelih hewan secara bersama-sama. Lokasi penyembelihan biasanya dilangsungkan di kebun atau di pinggir bantaran sungai yang letaknya dekat desa.
Lebih lanjut, di setiap desa di Manggarai pasti memiliki tiga atau lebih orang yang memiliki keuletan dalam “julu”. Bisa dikatakan mereka adalah master chef dalam bidangnya.
Mereka juga memiliki parang dan pisau “julu” hewan. Pada saat proses penyembelihan itu, semua orang dilibatkan dan masing-masing diberi tugas.
Ada pihak yang bertugas mencari kayu bakar di hutan, menyembelih, membakar di atas perapian, mengiris daging hingga membersihkan kotoran dari usus hewan.
Selain itu, ada juga yang berperan sebagai tukang menuangkan tuak (minuman berjenis alkohol) ke dalam sloki. Tuak (OH) pada dasarnya selalu dihadirkan berkenaan dengan momen “julu nakeng sabi” ini.
Setelah urusan penyembelihan hewan sudah selesai dilakukan berikut adalah kegiatan pembagian daging. Masing-masing orang (kepala keluarga) akan mendapatkan bagiannya. Kami di Manggarai menyebutnya dengan “sa sako sa ata” (satu ikat setiap orang).
Pada galibnya, tradisi “nakeng sabi” adalah aktivitas budaya komunitas Manggarai. Tradisi ini juga dimaksudkan untuk mempererat tali persaudaraan di dalam komunitas. Selebihnya, mempertebal semangat gotong-royong dan solidaritas sosial antar sesama warga.
Tradisi nakeng sabi ini sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Yang dalam perjalanannya, aktivitas kebudayaan ini turut serta dalam membentuk pola pikir dan bertindak masyarakat Manggarai.
Tradisi Nakeng Sabi Mulai Hilang
Seiring berjalannya waktu, tradisi nakeng sabi di Manggarai mulai hilang. Penyebabnya antara lain:
Pertama, karena sekarang ini sudah semakin jarang orang di pedesaan yang pergi berburu ke hutan. Kedua, keberadaan hewan buruan di hutan tidak sebanyak seperti yang dulu lagi. Ketiga, setiap orang lebih memanfaatkan hewan hasil buruan damatau peliharaan untuk dijual agar menghasilkan uang. Hal ini tentu saja tidak terlepas dari motif ekonomi.
Meski orang di pedesaan Manggarai sudah jarang melakukan tradisi ini, tetapi pada konteks tertentu mereka akan membeli hewan secara berkelompok dan dagingnya akan dibagikan sama rata di antara kelompok itu.
Kebiasaan ini acap kali diadakan menjelang hari raya keagamaan, seperti misalnya pada saat Natal-Tahun Baru, Pentakosta, Paskah, maupun pada saat syukuran panen dan syukuran- syukuran keluarga lainnya.
***