Rasulan, Tradisi Tasyakuran Masyarakat Gunungkidul

Penulis: Samsudi

Warga negara Indonesia adalah masyarakat yang religius. Dalam kesehariannya semua tingkah laku dan ucapannya senantiasa dituntun oleh norma-norma dan syariat agama.

Rasa syukur selalu menyelimuti hati masyarakat. Tatkala mendapatkan anugerah dari Tuhan. Seraya mengharapkan keberkahan dari yang didapatkannya.

Bentuk syukur masyarakat di tiap-tiap wilayah berbeda-beda. Menyesuaikan dengan adat dan kearifan lokal. Tak terkecuali masyarakat Gunungkidul, Yogyakarta.

 

Rasulan Rasa Syukur Masyarakat Gunungkidul

Rasulan merupakan wujud rasa syukur atau tasyakuran masyarakat Gunungkidul. Tradisi rasulan biasanya dilaksanakan setelah musim panen.

Tiap-tiap daerah di Gunungkidul mempunyai hari tertentu untuk pelaksanaan rasulan. Penentuan kapan hari pelaksanaan rasulan sudah berlangsung turun-temurun. Biasanya dengan perhitungan hari dan pasaran.

Seperti diketahui masyarakat Jawa di samping mengenal nama-nama hari secara nasional (Senin sampai Minggu). Di masyarakat masih menggunakan nama pasaran ( Pon, Pahing, Wage, Kliwon dan Legi).

Misalnya masyarakat dusun Sambirejo, Kelurahan Semanu, Kecamatan Semanu-Gunungkidul. Mengadakan rasulan pada hari Senin Wage. Waktunya antara bulan Mei sampai Juli setiap tahunnya.

Patokannya  setelah masyarakat memanen hasil ladangnya. Biasanya juga disesuaikan dengan waktu senggang misalnya musim liburan. Hanya saja waktunya dicari yang pas hari Senin Wage.

Ada suatu daerah yang unik dalam menentukan hari pelaksanaan rasulan. Bukan berdasarkan hari dan pasaran. Tetapi dari tanda-tanda alam.

Daerah tersebut akan melaksanakan rasulan. Manakala penduduk melihat adanya kijang yang mencari makan di daerah tersebut. Kapanpun kijang terlihat. Hari berikutnya seluruh masyarakat akan menyiapkan ubarampe rasulan.

 

Kemeriahan Rasulan

Acara rasulan dilaksanakan dua hari dua malam. Minggu sore selepas Ashar sesepuh dusun akan memimpin upacara sesaji. Tempatnya di bawah pohon asem di lereng kali Donggora.

Selesai upacara sesaji dilanjutkan dengan persembahan tari ledhek. Dibawakan oleh seorang penari perempuan.

Uniknya kadang anak-anak pada berebut sesajen. Berupa nasi tumpeng dan ayam ingkung serta buah-buahan.

Malam harinya di balai dusun diselenggarakan pementasan seni tradisional ketoprak. Maka bisa dipastikan seluruh warga tumplek blek. Menonton pementasan ketoprak. Sambil jajan makanan tradisional seperti puli tempe.

Esoknya semua warga membuat masakan yang akan disajikan dalam acara kenduri. Masakan wajibnya adalah nasi wudu’ dengan lauk ayam ingkung (ayam utuh dimasak santan).

Semua makanan dimasukan ke dalam tenong (dari anyaman bambu). Dikumpulkan di balai dusun dan didoakan oleh mbah kaum (sebutan untuk pemuka agama Islam).

Gendutenan ini dilaksanakan setelah waktu Dhuhur. Sehabis gendurenan masyarakat makan bareng makanan yang sudah didoakan. Sambil menyantap makanan. Masyarakat dihibur dengan penampilan seni reog dan jathilan sampai waktu Ashar tiba.

Malam harinya seluruh masyarakat akan kembali ke balai dusun. Menyaksikan pementasan wayang kulit semalam suntuk.

Dalang yang boleh mementaskan wayang kulit syaratnya adalah dalang sepuh. Harus mementaskan lakon Ramayana yang pakem. Bukan carangan.

Begitulah tradisi rasulan masyarakat Gunungkidul sebagai wujud rasa syukur atas limpahan rizki dari Tuhan. Panen yang melimpah. Harapannya dapat panenan dapat membawa berkah bagi seluruh warga masyarakat.

 Jkt, 150921

 ***

 

Tinggalkan Balasan