Menghadiri Undangan Teman Membuat Terkenang Seribu Taman (3)

TENTANG istilah ‘moro sulit’ yang sangat populer di era awal saya berada di Moro –tahun 90-an—itu memang benar adanya. Kosa kata (frase) ‘moro sulit’ (Moro Sulit) memang selalu diucapkan oleh siapa saja saat menyebut nama Moro atau Kecamatan Moro tahun-tahun itu. Sebagai sebuah kecamatan yang setara dengan Kecamatan Karimun (di Pulau Karimun) dan Kecamatan Kundur (di Pulau Kundur) sesungguhnya Kecamatan Moro sudah selayaknya sama dengan dua kecamatan lainnya itu yang menjadi bagian dari Kabupaten Kepulauan Riau (Kepri) waktu itu. Kenyataannya Kecamatan Moro saat itu memang dianggap kecamatan yang paling tertinggal diantara tiga kecamatan yang bertetangga itu.

Moro sulit maksudnya adalah keadaan transportasi dan komunikasi yang tergolong sulit dari dan ke Moro. Ditambah kehidupan masyarakat yang juga tidak sekuat di dua kecamatan lainnya itu maka lengkaplah makna sulit yang digabungkan dalam frase ‘moro sulit’ itu. Masyarakat Moro waktu itu pada umumnya adalah nelayan. Justeru Moro terkenal dengan ikan-ikannya yang segar. Sayangnya ikan-ikan hasil tangkapan di Moro lebih banyak dikirim ke Singapura dari pada yang dikonsumsi oleh masyarakat Moro sendiri. Bahkan penjualan ikan-ikan Moro lebih banyak dijual ke Negeri Seberang itu berbanding di dalam negeri sendiri.

Saya mendengar dan saya juga menyaksikan tentang pejabat-pejabat yang berdinas di Moro tidak sebetah pejabat di Karimun atau di Kundur untuk berlama-lama di tempat berdinas. Para pejabat di Moro tidak selalu berada di Moro. Kantornya ditunggu oleh pegawai-pegawai di bawah ‘bos’ saja. Tidak selalu ada Kepala atau pucuk pimpinannya. Itu sudah biasa karena untuk transportasi dari dan ke Moro memang tidak selancar di Karimun atau di Kundur pada tahun-tahun itu. Jika Pak Camat tak ada di tempat, misalnya, itu sudah lumroh. Begitu pejabat lainnya.

Saat dibukanya SMA yang pada awalnya oleh Yayasan Pendidikan Moro pada tahun 1993-1994, itulah sekolah SLTA pertama di Kecamatan Moro yang mencakup Pulau Durai dan pulau-pulau lainnya. Sebelum SMA ini hanya ada sebuah SMP Negeri 1 di Moro dan satunya lagi di Durai. Ada juga satu MTs Swasta yang didirikan untuk pendukung berdirinya SMA Moro. Memang menjadi syarat, sebuah SLTA harus didukung minimal tiga SLTP.

Menjelang penegeriannya SMA Moro dibina oleh SMA Negeri Tanjungbatu dengan pengelola YPM itu. Oleh Kepala Sekolah –SMA Negeri Tanjungbatu– diambil kebijakan dengan menugaskan salah seorang guru SMA Negeri Tanjungbatu ke SMA Moro. Sayalah yang diamanahkan sebagai Wakil Kepala Sekolah induk di SMA Moro. Kedatangan saya pertama kali ke Moro diantar langsung oleh Kepala SMA Negeri Tanjungbatu, Pak Supardjo Suk bersama Kepala Kantor Depdikbud Kabupaten Kepri, Pak. Abd. Rahman. Pak Rahman datang langsung dari Tanjungpinang ke Moro untuk mengantarkan saya sebagai Wakil Kepala Sekolah SMA Negeri Tanjungbatu (sekolah pembina).di SMA Moro. Kebijakan ini pun bagian dari rencana untuk menegerikan sekolah baru di Moro itu.

Kurang lebih tujuh bulan saya bolak-balik Tanjungbatu- Moro setiap pekannya, akhirnya saya dipanggil oleh pejabat Kanwil Depdikbud Provinsi Riau ke Pekanbaru. Ditanya, apakah saya bersedia menjadi Kepala Sekolah di Moro? Tentu saja saya katakan ‘bersedia’ dengan menyatakan bahwa saya sudah tujuh bulan mengelola SMA Moro sebagai Wakil Kepala Sekolah Pembina (SMA Negeri Tanjungbatu) waktu itu. Saya katakan kalau isteri dan anak-anak saya begitu lama  tetap di Tanjungbatu sementara saya hidup sendiri di Moro karena ditugaskan sebagai Wakil Kepala Sekolah Pembina.

Akhirnya saya ditunjuk menjadi Pejabat Kepala SMA Moro yang dalam waktu yang sama berubah status menjadi sekolah negeri. Namanya SMA Negeri 1 Moro dengan guru-gurunya masih guru-guru SMP Negeri 1 Moro serta para guru honorer MTs Al-Hidayah Moro (sebagai guru honorer). Beberapa bulan berikutnya barulah dikirimkan para guru dari Pekanbaru dan beberapa daerah lainnya menjadi guru tetap. Mereka diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri (Capeg) di sekolah baru. Ada sebanyak 13 orang guru pada angkatan pertama itu. Dengan itu pula beberapa guru honor yang bertugas di SMP Negeri 1 Moro dan MTs minta berhenti di SMA Negeri 1 Moro.

Waduh, saya terbawa perasaan ketika masa-masa ini kembali saya dan Pak Pai bicarakan ketika kami berjumpa itu. Baik saya maupun Pak Pai, sama-sama masih ingat dengan baik semua kejadian yang kami alami sebagai pengelola SMA Moro. Suka-senang kembali terbayang. Tapi kenangan yang menyenangkan lebih terasa di kenangan saya. Tidak salah saya menyebut bagai merasakan dan menyaksikan taman-taman indah.***

Tinggalkan Balasan

4 komentar