“Pengecut terbesar adalah pria yang membangunkan cinta seorang wanita tanpa bermaksud untuk balas mencintainya“. Bob Marley
Sesekali perasaan di hati seperti kemarau. Ia butuh mata air untuk mengobati dahaga yang gersang. Aku menganggap cinta sebagai angin paling risau. Ia datang menembus sukma dan pergi dengan sayap-sayap kenangan.
Hikayat rasa berjejer di beranda hati. Mencintai tidaklah mudah, kita perlu belajar mengeja rindu yang terkadang berontak tanpa jemu. Masa muda merupakaan penciptaan paling elok dari sketsa cinta. Cinta bak matahari yang hinggap di orbit hati.
Semua punya kisah tentang rasa cinta. Mencintai yang saling berbalas adalah oase paling indah. Aku ingin menarik benang memori tentang cinta tak berbukit. Sebuah rasa yang menumpuk dalam hatiku, yang tak pernah senada denganya. Aku mengenal seorang lelaki yang kupikir saat itu ia adalah satu-satunya Adam di muka bumi. Rasa kagum, suka, dan cinta bertumpuk jadi satu. Semua anganku hanya tentang dia. Bayangan wajahnya membangunkan larik paling epik. Ya, itulah rasa pada cinta pertama.
Ia datang kepadaku dengan sebuah isarat rasa, yang kujabarkan sebagai rasa cinta. Segala pengorbanan aku lakukan sebagai pembuktian atas rasa cinta. 4 tahun mempertahakan makna agar rasa tetap asri. Sebuah kedekatan yang tanpa komitmen menghadirkan kegundahan yang tak pasti. Bersama tapi tak samar, saling cinta tapi tak berucap. Hingga sampai pada pucuk ratapan, sebuah pertemuan dengan orang ketiga.
Waktu itu kami berkumpul dalam suatu wadah ikatan mahasiswa. Organisasi kami mengadakan pertemuan di puncak Cigamea. Di situ aku seperti dipanah racun paling menusuk. Mendapati orang yang paling ku kagumi bersama sahabatku. Derai air mata bercucuran dari mega hitam kelopak mataku. Ingin marah tapi tak pasti, ingin teriak tapi tak berhasrat. Hingga aku berlari dari puncak dengan kepala paling nanar.
Sepanjang perjalanan di mobil, tak bisa ku seka air mata yang lupa cara mereda. Sesak dan sakit di hati adalah gelembung rasa paling koyak. Seminggu bahkan sebulan tak bisa lepas dari rasa cemburu paling buta. Hingga sampai pada waktu, takdir mempertemukanku dengan cinta sejati.
Sebuah pertemuan yang tanpa sengaja, tetapi menepi pada guratan takdir yang sempurna. Hari itu, aku menemui sang cinta sejati untuk urusan pekerjaan. Kami bertemu dengan awalan komunikasi yang sederhana. Tak ada rasa, semua normal dan biasa. Namun, di hari pertemuan itu tanpa sengaja ia mengantarku pulang yang kebetulan ia harus bertemu rekannya yang sekampung denganku. Dari pertemuan itu kami bertukar nomor Hp, dan kemudian saling bertukar cerita. Sebuah kedekatan yang mengundang rasa nyaman.
Sampai pada episode dimana ia memberikan ketegasan untuk sebuah keseriusan. Namun aku selalu belajar dari pengalaman. Belajar untuk tak terlalu memberi harapan agar tak larut pada kecewa yang dalam. Kali itu perjalanannya seperti roda di arena balapan. Semakin aku berlari cinta sejatiku semakin mengejar, semakin aku menjauh ia semakin mendekat hingga sampai pada pucuk waktu, ia meminangku dengan Syahadat. Itulah suamiku sebagai cinta sejati. Begitulah cinta sejati datang tanpa prediksi, meski berusaha berlari ia tetap datang menghampiri. Tak perlu mengukir kisah ribuan hari, tanpa ujung yang pasti. Cinta sejati pasti datang dengan cepat memberi kepastian yang hakiki.
Hidup itu sudah di atur oleh Sang Penulis Takdir. Tak perlu tergesa dan terlena untuk segala rasa. Karena berharap pada manusia adalah duri paling pahit. Berserah diri pada Ilahi adalah langkah pasti dari kecewa paling gulita. Belajarlah mencintai sewajarnya, karena Tuhan adalah yang paling berhak untuk cemburu. Ketika kita terlalu mencintai manusia, mencintai dunia, maka Tuhan akan menguji kita dengan menjauhkannya.
-Sekian-
#Karena Menulis Aku Ada (KMAA)
#Maydearly
Lebak, 6 September 2021